Senin, 29 September 2008

Why don't you see me?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan
 

Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Seruni. Seruni adalah seorang business woman yang sukses, seorang istri dan seorang ibu dari dua orang anak. Kira-kira tiga tahun yang lalu, ia mengalami gangguan kecemasan yang cukup berat, disertai fase-fase depresi. Bila serangan kecemasan menerpanya, ia dipenuhi rasa panik. Tubuhnya menegang disertai keringat dingin, jantung berdebar-debar, nafas menjadi sesak dan Seruni merasa dunianya seolah hendak runtuh. Beberapa psikiater ternama telah dikunjunginya, dan pengobatan psikiatris terbaik sudah dikonsumsinya. Kondisinya tidak kunjung membaik. Salah seorang psikiater senior yang dikunjunginya, dengan bijak mengatakan bahwa ia tidak akan mengalami kemajuan bilamana ia belum menghadapi kenyataan pahit yang coba dihindarinya.

Kenyataan pahit apakah yang tak mau dihadapi perempuan cantik, cerdas dan sukses seperti Seruni? Yaitu kenyataan bahwa di mata suaminya, ia seolah tiada. Sekalipun mereka berduaan di rumah, suaminya jarang menegurnya ataupun menyentuhnya. Seruni merasa dirinya seolah tembus pandang dan suaminya dapat memandang melaluinya. Komunikasi di antara mereka terasa tawar dan mekanis. Seruni seringkali harus memancing pertengkaran dengan suaminya, hanya agar merasa ada masih kontak di antara mereka.

Text Box: The Invisible WomanSeruni akhirnya menyerah dan tidak lagi berupaya untuk menghangatkan kembali relasi di antara mereka. Maka ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas yang seabreg untuk mengisi kehampaan yang dirasakannya. Seruni pada dasarnya memang menyukai pekerjaannya, sehingga dengan mencurahkan diri sepenuhnya di pekerjaan, ia pun mencapai sukses melebihi yang diharapkannya. Namun sukses dan pencapaian yang hebat tidak dapat memenuhi rongga kosong dalam jiwanya. Eksistensinya terus menciut dan mencapai titik terendah ketika ia mulai diserang rasa panik. Panik yang sesungguhnya mencerminkan ancaman ketiadaan pada keberadaan dirinya.

Pengobatan medis ternyata tidak banyak meringankan derita Seruni. Ia baru merasa dirinya ada dan hilang gejala-gejala kecemasannya ketika ia menjalin suatu relasi ekstramarital dengan lelaki lain. Menurut Seruni, lelaki itu sebenarnya tidak dapat dikatakan lebih tampan, atau lebih hebat daripada suaminya. Tetapi lelaki itu dapat merespon keberadaan dirinya, dan bersamanya Seruni merasa dirinya ada. Seruni tahu bahwa relasi ekstramarital yang dijalinnya itu adalah keliru dan tak dapat diteruskan untuk selamanya, namun ia pun ragu untuk menghentikannya karena ia takut ia akan terlempar kembali pada ketiadaan seperti dahulu. Seruni datang konseling untuk memecahkan konflik tersebut.

 

Keberadaan manusia bersama manusia lain

Dalam analisisnya tentang keberadaan manusia, filsuf Martin Heidegger mengajukan dua postulat. Salah satunya mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan bersama manusia lain. Manusia tidak dapat mengada seorang diri, melainkan ia hanya dapat mengada dengan melangsungkan dialog dalam suatu kebersamaan dengan orang lain. Keberadaan manusia dapat diibaratkan tarian tango yang hanya akan tetap ada selama kedua penarinya berinteraksi secara harmonis dalam alunan musik. Kalau salah satu saja dari penari tersebut menghentikan tariannya, maka lenyap pula tarian tango yang indah itu.

Seseorang tidak dapat merasakan bahwa dirinya ada dan mengenal dirinya sendiri bila tidak melalui orang lain. Sebagaimana seseorang tidak dapat memandang wajahnya sendiri kecuali bila ia melihat pantulan dirinya dari kaca cermin, demikian pula seseorang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan merasakan keberadaannya kecuali bila ia mendapat respon dan cerminan dari orang lain. Respon dan cerminan tentang diri kita yang kita peroleh dari orang lain, memiliki pengaruh yang besar pada penghayatan kita tentang keberadaan diri dan bagaimana kita memandang diri sendiri. Misalnya: seorang anak akan memandang dirinya sendiri sebagaimana pantulan yang didapatkan dari ibunya. Sang bunda yang memandang wajah sang anak sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih seolah memantulkan pada anak itu suatu konfirmasi bahwa dirinya berharga dan dicintai. Dengan demikian terbentuklah citra diri yang positif dalam diri anak tersebut. Anak merasa dirinya ada dan berharga. Bila pantulan yang dilihat anak tentang dirinya dari ibunya adalah pantulan yang negatif, maka anak pun akan memandang dirinya negatif. Bila sang ibu tidak merespon kehadiran anak dan menganggapnya seolah tiada, maka penghayatan anak bahwa dirinya ada pun akan terancam.

 

Tatapan yang meneguhkan atau membekukan

Text Box: MedusaTatapan orang lain pada kita dapat meneguhkan keberadaan kita, dan sebaliknya dapat pula membekukannya. Saat seseorang memandang kita sebagai pribadi sebagaimana kita adanya, keberadaan kita diteguhkan. Kita merasa dimengerti dan diterima. Tatapan orang lain itu menghidupkan dan menumbuhkan. Namun, saat orang lain memandang kita bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai suatu objek, maka pandangannya tersebut membekukan keberadaan diri kita, bagaikan pandangan Medusa. Saat melakukan public speaking, mungkin kita semua pernah merasakan momen di mana kita berdiri dengan gemetar di muka banyak orang yang menatap kita. Tatapan mata mereka serasa menembus diri kita dan kita menjadi kecil di mata mereka. Saya pernah mendapatkan seorang klien yang selalu merasa lumpuh dan menjadi bodoh setiap kali ia berjumpa dan berinteraksi dengan ibunya; padahal klien itu sejatinya adalah seorang yang sangat cerdas dan berprestasi. Ibunya tak pernah memandang dan memperlakukannya sebagai pribadi sebagaimana adanya. Maka orang itu merasa dirinya adalah benda di mata ibunya dan pandangan ibunya itu membekukan kemungkinannya untuk mengada.

Dinamika yang sama terjadi dalam interaksi Seruni dan suaminya. Seruni merasa putus asa karena tidak pernah dapat melihat pantulan dirinya di mata suaminya. Keberadaan dirinya tidak direspon oleh suaminya. Tanpa respon dan pantulan dari suaminya, Seruni merasa dirinya tiada. Ia bagaikan hantu yang tembus pandang dan tidak memiliki bayangan di cermin. Kalaupun suami sesekali dapat memandang dirinya, tatapan mata suami tidak pernah memandang Seruni sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai objek. Tatapan mata yang mengobjektivikasi tersebut membekukan keberadaan dan kemungkinan Seruni untuk mengada.

Pelarian Seruni pada kesibukan di pekerjaan tidak dapat menyelamatkannya. Ia ingin mempertahankan eksistensi dirinya dengan berbagai pencapaian yang diperolehnya. Namun tidak pernah ada prestasi sebesar apapun yang dapat menatap balik padanya dan membuatnya merasa ada. Yang dicarinya adalah mata yang dapat melihat dirinya dan memantulkan siapa dirinya sebagaimana adanya.

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta

Tidak ada komentar: