Kamis, 15 Oktober 2009

Nyalakanlah daku...

Hari-hari ini, masyarakat Indonesia tidak hanya dihebohkan oleh berita gempa di Padang, pemberantasan terorisme di Ciputat atau pemilihan menteri-menteri di kabinet SBY yang akan segera dilantik. Suatu berita "kecil" tapi menohok, juga sedang hangat dibicarakan orang. Yang saya maksud tidak lain daripada rencana kedatangan Maria Ozawa – alias Miyabi, seorang aktris film porno Jepang ke Indonesia. Kedatangan Miyabi dalam suatu rencana dagang pragmatis, untuk main di film produksi Indonesia ternyata mengundang kontroversi yang sangat besar. Produser film yang mengundang Miyabi tentunya tidak mengundangnya karena talenta acting yang menonjol, namun dikarenakan daya jualnya yang tidak diragukan. Saya khawatir bahwa apapun hasil akhir dari kontroversi ini, pihak-pihak yang saling bertentangan dalam kontroversi ini tanpa sadar telah menguntungkan dan mempromosikan film Miyabi tersebut.


 

Salah satu aspek kehidupan yang selalu menimbulkan kontroversi dari jaman ke jaman, adalah kehidupan seksual. Tidak hanya bagi kita, orang Timur – meskipun sekarang dikotomi Barat/Timur tak sekaku dulu lagi – namun juga bagi orang Barat yang – katanya – jauh lebih liberal dan "tercerahkan". Bahkan di jaman ultra modern seperti hari ini, sebagian besar orang masih merasakan pertentangan dalam diri ketika bersikap tentang area kehidupan yang satu ini.

Di satu sisi, kalau kita mau mengakui, seks selalu merupakan salah satu obsesi kita. Kapan terakhir kali anda menata penampilan anda – atau bahkan berjuang menguruskan, mengencangkan atau memperbesar otot-otot badan – agar menarik dipandang oleh lawan jenis? Itu adalah isu seksual. Pernahkah anda – mungkin secara diam-diam – membandingkan diri anda dengan orang-orang yang dalam anggapan anda memiliki "performance" seksual mengesankan? Bukankan sampai beberapa waktu yang lalu almh. Mak Erot adalah salah seorang "therapist" yang paling phenomenal, yang bagi sebagian pria dianggap "penyelamat"? Berapa banyak perempuan yang iri dan merindukan untuk punya bibir seperti Angelina Jollie atau bokong seperti Jennifer Lopez? Disadari atau tidak, obsesi kita tentang seks sangat mendarah daging. Dan seperti kita lihat pada contoh-contoh di atas, seks terkait erat dengan rasa keberhargaan diri kita. Bila kita sedang down dan merasa terpuruk, serta meragukan diri sendiri, proyeksinya seringkali berupa semakin meningkatnya obsesi seksual ini.

Di sisi lain seks adalah salah satu topik yang paling dirasakan mengancam. Kita tidak nyaman bicara tentang seks. Ketidaknyamanan yang dengan mudah disamarkan berupa lelucon-lelucon seks yang "garing", atau bualan tentang seks yang mengesankan kepercayaan diri dan menyembunyikan adanya kegelisahan. Kita merasa berdosa karena terus menerus berpikir tentang seks, sehingga mendorong kita untuk bereaksi defensif dan bersikap ultra konservatif.

Mengapa kita begitu konflik dan gagap ketika kita berpikir, merasa dan berperilaku seksual? Hal ini merupakan bukti bahwa seks adalah perkara penting dalam hidup kita, meskipun begitu sering disalahpahami. Seks bukan hanya membantu kita untuk beroleh keturunan, tetapi menyangkut fondasi dasar rasa keberhargaan dan keberadaan diri kita. Kita coba telaah mengenai hal ini lebih lanjut.


 

Pertama-tama, seks bukan sekedar perilaku untuk memperoleh kesenangan, tetapi lebih daripada itu, seks adalah mengenai passion atau gairah hidup itu sendiri. Pandangan yang pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud lebih dari 100 tahun yang lalu ini, ternyata didukung oleh temuan-temuan terbaru Neuroscience modern. Seksualitas berkaitan sangat erat dengan emosi manusia; dan emosi ternyata memiliki fungsi dasar bagi keberadaan manusia. Seorang neuroscientist terkemuka yang bernama Antonio Damasio, dari the Brain and Creativity Institute, University of Southern California mengemukakan bahwa emosi adalah elemen kunci yang memungkinkan manusia memiliki kesadaran, sense of self dan kehendak bebas – tidak seperti mesin atau supercomputer secanggih apapun yang tidak akan pernah memiliki kehendaknya sendiri dan pilihan-pilihannya sendiri. Tahukah anda bahwa para ilmuwan telah lama bermimpi untuk dapat menciptakan mesin, komputer dan robot yang memiliki artificial intelligence, dan lebih dari itu, sadar serta memiliki kehendak sendiri. Hambatan mereka untuk dapat melakukan itu bukan dalam hal penciptaan kecerdasan buatan – karena kita tahu bahwa mereka telah berhasil menciptakan supercomputer yang dapat mengalahkan grandmaster catur terbaik dunia. Hambatan mereka tidak lain terletak pada ketidakmampuan untuk menciptakan mesin yang dapat merasa, alias yang memiliki emosi.

Menurut neuroscientist Jaak Panksepp dari university of Washington, ada empat sistem emosi dasar yang berpusat di area Periaqueductal gray (PAG), di pusat otak kita. Keempatnya adalah the seeking system, the rage system, the fear system, dan the panic system. Keempat sistem ini relevan dengan pembicaraan kita tentang seksualitas, khususnya the seeking system (di area ventral tegmental). Sistem ini merupakan mekanisme biologis yang mengatur munculnya selera kita untuk mencari pemenuhan berbagai kebutuhan kita, seperti makanan, perlindungan, dan seks. Secara sederhana, katakanlah ini merupakan motor penggerak atau api gairah kehidupan individu untuk melanjutkan kehidupannya. Seseorang yang mengalami kerusakan di area otak ini, tidak akan memiliki semangat untuk melakukan dan mencari apapun, sekalipun hidupnya terancam, karena kelaparan atau kehausan. Sebaliknya, seseorang yang mengalami hiperaktivitas di area ini, akan menunjukkan perilaku yang lustful, tamak akan makanan, kenikmatan dan seks. Kontrol akan aktivitas area ini terletak di area prefrontal cortex (namun diskusi tentang ini harus ditunda di lain kesempatan karena keterbatasan ruang).

Temuan neuroscience modern ini memberi pencerahan akan peranan seksualitas, emosi dan gairah kehidupan. Seksualitas (passion) dan emosi dapat diibaratkan api yang menyalakan, memberi energi sekaligus ekspresi hidup itu sendiri. Tiada kehidupan tanpa api yang menyalakannya, meskipun tentu saja api yang dibiarkan menyala tanpa kontrol akan menghanguskan hidup itu sendiri. Antonio Damasio menyadari benar hal itu, sehingga fokus penelitiannya sekarang di the Brain and Creativity Institute adalah untuk menyingkapkan peranan emosi dan passion tersebut bagi dimungkinkannya kemunculan kreativitas dan penciptaan karya seni. Damasio bekerja dengan sebagian artist terbaik dunia, meneliti proses kreatif mereka dan mekanisme neurologis yang mendasarinya. Passion, seksualitas, emosi dan tentu saja kontrol atasnya, merupakan elemen-elemen dasar terciptanya karya-karya terbaik manusia dan pengaktualisasian potensi-potensi besar manusia. Tidak heran bila seksualitas memiliki kaitan erat dengan rasa keberhargaan dan kepercayaan diri manusia.

Bagi kita, dapatlah ditarik pelajaran untuk menjaga dan menggunakan api gairah kehidupan itu dengan bijaksana. Bukan dengan menekannya sedemikian rupa sehingga hilang pula semangat dan daya cipta yang dikandungnya, bukan pula dengan mengumbarnya dan merendahkan martabatnya sehingga memerosotkan kemanusiaan kita setara dengan hewan. Melainkan dengan menjadikannya sumber daya cipta yang subur, menyalakannya sebagai pembakar semangat dan memuliakannya dengan karya dan pencapaian kesadaran yang lebih tinggi tentang hakikat kemanusiaan kita. Tulisan ini diakhiri dengan kutipan dari The Doors: Come on baby light my fire..


 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

Jakarta

Kamis, 06 Agustus 2009

Jacko: The Wounded Pan

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari

Sehari sebelum pilpres di Indonesia, atau sekitar tengah malam menjelang detik-detik pencontrengan di seluruh Nusantara, seorang maha bintang – bahkan seorang raja – memperoleh penghormatan terakhir dari seluruh kerabat dan sahabatnya. Setelah menjalani kehidupan yang sedemikian extraordinary – dengan berbagai kemenangan dan kekalahan, kegemilangan dan kekelaman – ia beroleh istirahat abadi di pelukan Bunda Bumi; mengembalikan cahaya yang selama ini ditebarkannya ke seantero penjuru dunia kepada Sang Maha Cahaya, yaitu yang empunya dan pencipta dirinya. Kematian Jacko tidak menghentikan kontroversi yang seolah terpatri pada jalan hidupnya; sebaliknya hingga hari-hari ke depan tampaknya kita masih akan mendengar kelanjutan kisah misteri seputar kematian, pemakaman dan perebutan (!) warisan dan hak asuh anak-anaknya.

Hidup Jacko sendiri mungkin merupakan salah satu contoh sempurna untuk menggambarkan eksistensi manusia yang rapuh, dalam pergulatan untuk memberi makna pada sekecap kehidupan yang dijalani, menorehkan warna – sekaligus noda – di wajah yang fana. Dilahirkan sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara the Jackson, Jacko adalah yang terkaya beroleh talenta. Sang ayah – Joe, dan sang ibu – Katherine, tentunya tidak pernah bermimpi bahwa salah seorang anak mereka akan menjadi maha bintang, bahkan disebut the greatest entertainer ever lived oleh khalayak. Menyadari bakat musik anak-anaknya sejak dini, Joe tak ragu-ragu menerapkan disiplin besi pada mereka, tak terkecuali Michael. Banyak kisah yang beredar tentang cara-cara Joe mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya untuk mencapai kesempurnaan dalam menjadi entertainer. Mulai dari tamparan, pukulan, sabetan gesper ikat pinggang, hingga terror mental di malam hari. Bahkan sebagian kisah – yang tak dapat dibuktikan – mengatakan bahwa Joe melakukan sexual abuse pada anak-anak perempuannya. Dalam wawancaranya dengan Oprah Winfrey pada tahun 1993, Jacko sendiri mengatakan bahwa ia seringkali bermimpi buruk tentang kekerasan yang dialaminya di masa kecil. Saat anak-anak lain bermain dengan puasnya, anak-anak the Jackson harus berlatih keras tiap hari; dan mereka jadi bahan tertawaan anak-anak lain. Seringkali Jacko menangis karena kesepian yang menusuk; dan melihat bayangan ayahnya saja kadang membuatnya muntah karena ketakutan yang sangat. Namun Jacko pun mengakui bahwa kerasnya disiplin sang ayah memiliki peranan pada kesuksesan yang diraihnya di kemudian hari.

Masa kecil Jacko dan khususnya perilaku sang ayah bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi pedang itu menancapkan luka yang amat dalam di relung batin Jacko – luka yang tak pernah sembuh seumur hidupnya dan menjadi akar bagi berbagai masalah emosional dan perilaku Jacko yang ganjil; namun di sisi lain pendidikan yang (terlalu) keras tersebut membantu Jacko menemukan sumber kebahagiaan satu-satunya dalam kehidupannya dan jalan pembebasan baginya, yaitu pengaktualisasian talenta musiknya.

Dengan akar luka batin tersebut dalam diri Jacko telah tertanam suatu kecemasan mendasar (basic anxiety) dan suatu cedera pada rasa keberhargaan dirinya (narcissistic injury), yang akan menghantui seumur hidupnya. Bilamana seseorang dilukai oleh seseorang yang sangat bermakna bagi dirinya (selfobject1) maka sang aggressor akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri, sehingga selama ia hidup dan ke mana pun ia pergi, ia akan selalu membawa sang aggressor dalam dirinya. Trauma sesungguhnya tidak hanya dialami satu kali ketika peristiwa traumatik itu terjadi, tetapi di level ketidaksadaran akan diulang-ulang terus menerus. Hal ini akan menggerus keutuhan ego atau karakter yang bersangkutan.

Ego yang telah mengalami cedera mengalami pelemahan, perpecahan dan keterasingan. Beberapa gejala yang dapat kita saksikan sebagai konfirmasi akan hal tersebut antara lain adalah bagaimana Jacko selalu tercekam kesepian yang mendalam dan keterasingan baik dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Sebagai seorang yang menyimpan luka, ada sensitivitas yang berlebih dalam dirinya. Ia tidak pernah merasa nyaman ketika bersama orang lain – terlebih dalam konteks relasi intim. Hal ini diperburuk oleh perlakuan orang lain kepadanya, yang tak dapat melihat diri Jacko yang sejati, yang masih berupa kanak-kanak yang terluka, melainkan lebih senang memandang topeng Jacko, yaitu Jacko sang Mega Bintang. Kita tahu bahwa Jacko memiliki relasi intim dengan beberapa wanita tercantik di dunia. Sebut saja Tatum O’Neal yang merupakan cinta pertamanya, Brooke Shields – bintang tercantik era 80’an; bahkan Jacko pernah menikah dua kali; pertama dengan Lisa Marie Presley dan kedua dengan Debby Rowe yang memberinya seorang putera dan seorang puteri. Namun dalam semua relasi tersebut, Jacko tak pernah sungguh-sungguh merasa nyaman dan dapat menjadi dirinya sendiri, bahkan mengalami kesulitan untuk menjadi intim secara seksual. Menurut kata-kata Jacko sendiri, satu-satunya tempat di mana ia sepenuhnya merasa nyaman adalah bilamana ia berada di panggung, menghipnotis para pemujanya dengan tarian dan nyanyiannya. Di dunia panggung yang maya, Jacko merasa bahagia dan bebas, sementara di dunia nyata ia sangat menderita, kesepian, ketakutan dan merasa terbelenggu.

Dampak lain dari cedera batin Jacko adalah keterpakuannya secara emosional pada masa kanak-kanak. Dalam dunia psikologi hal ini dikenal dengan istilah fiksasi atau arrested development. Jacko bagaikan Peter Pan yang menolak untuk tumbuh dewasa dan meninggalkan dunia fantasi kanak-kanak menuju realitas dunia orang dewasa dengan segala tanggung jawab dan permasalahannya. Jacko ingin tinggal di fantasi kanak-kanaknya. Dengan kemampuan finansialnya yang seolah tanpa batas, Jacko mewujudkan fantasi tersebut dengan membangun Neverland – dunia di mana anak-anak menikmati masa kanak-kanak abadi, dan segala kesenangan kanak-kanak yang dapat dibayangkan tersedia. Keterpakuan pada masa kanak-kanak dan gejala ketidakmatangan ini oleh Dan Kiley disebut sebagai the Peter Pan syndrome. Kita pun kelak mengetahui bahwa keterpakuan dan kecintaan Jacko pada kanak-kanak, adalah tumit Achilles atau kerentanan yang akan menggusur kejayaannya, dengan munculnya berbagai tuduhan pelecehan seksual pada kanak-kanak yang ditujukan padanya.

Menurut Carl Gustav Jung – seorang pakar tentang ketidaksadaran yang tak kalah mumpuni daripada Sigmund Freud – sesungguhnya keterpakuan pada masa kanak-kanak seperti yang dialami Jacko, memiliki dua sisi – positif dan negatif; bukan hanya menjadi akar bagi berbagai ketidakmatangan dan gangguan emosional seperti misalnya kecenderungan pedophile (ketertarikan seksual pada kanak-kanak) yang dituduhkan kepada Jacko; namun juga memiliki sisi positif karena merupakan pertanda bekerjanya suatu Archetype2 yang disebut Puer Aeternus, yang terjemahannya berarti bocah abadi. Puer Aeternus – yang merupakan inspirasi bagi tokoh Peter Pan – merupakan dewa kanak-kanak yang tak pernah menjadi tua, yang sekalipun mati akan dilahirkan kembali; yang mana merupakan symbol potensi dan kerinduan terdalam manusia akan kekekalan dan kelahiran kembali. Jung mengatakan bahwa Puer Aeternus menyimbolkan perkembangan psikologi paripurna dalam diri manusia. Bila di masa kini manusia hidup dalam batasan egonya yang sempit, maka Puer Aeternus merupakan pertanda transendensi di mana bila manusia mau mencapai pencerahan, meraih pembebasan dari penderitaan (mokhsa) maka ia harus dilahirkan kembali dan menjadi seperti anak kecil. Jung bahkan mengatakan bahwa kata-kata Yesus yang berbunyi,”Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya", merupakan salah satu ajaran yang senada dengan falsafah Puer Aeternus ini.

Archetype Puer Aeternus yang kuat dalam diri Jacko, menandakan adanya suatu potensi dalam dirinya akan pembaharuan, pertumbuhan dan harapan akan masa depan. Memang Jacko selalu rindu akan dunia yang lebih baik daripada dunia yang dikenalnya saat ini. Ia selalu rindu untuk menyembuhkan dunia – khususnya dunia batinnya sendiri. Ia rindu untuk masuk ke dalam Neverland abadi, bukan Neverland fana yang diciptakannya sendiri. Kerinduan ini membuatnya selalu mencari pembaharuan dalam musiknya, dalam seninya, dalam dirinya. Seperti Puer Aeternus yang selalu dilahirkan kembali, ia selalu bangkit saat badai menderanya; ia selalu menciptakan kembali dirinya sendiri, melalui musik yang menghibur dunia dari dekade ke dekade. Kalau ada orang yang mengubah penderitaan dan trauma masa lalu menjadi sumber kreativitas yang tiada habisnya, Jacko-lah orangnya. Menjelang wafatnya, Jacko sedang menyiapkan suatu karya terakhir yang akan menjadi warisannya bagi dunia seni popular, yang akan diwujudkan berupa konser terakhir di London, ketika sang takdir menjemputnya.

Jacko belum mencapai pembebasan itu. Ia masih terluka dan masih merasa dirinya terbelenggu dan didera oleh berbagai derita, baik fisik, emosional dan sorotan publik yang kejam. Kerinduan, kehausan dan kegelisahan yang tanpa henti mendera dirinya tidak dapat dipenuhinya di dunia ini. Namun saya percaya, bahwa Jacko mati bahagia, karena ia mati ketika sedang mencipta maha karya, ia mati saat hendak memberikan sehabis-habisnya yang terbaik dalam dirinya, bagi dunia. Dan saya percaya bahwa pada akhirnya pembebasan itu tiba, penantian itu berakhir, Puer Aeternus telah mengantarnya ke Neverland baka; dan sang Peter Pan yang terluka itu akhirnya disembuhkan dan terbang kembali ke rumahnya yang sejati. Selamat jalan Jacko, terima kasih atas perjuanganmu menyembuhkan dunia. Dunia telah menjadi lebih baik karenamu.

1 Tulisan “selfobject” memang sengaja tidak dipisah, tanpa spasi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa antara self (diri) dengan orang lain yang sangat berarti bagi diri (object), telah menjadi suatu kesatuan. Object telah menjadi bagian dari diri, sehingga tiada lagi diri tanpa object. Bilamana suatu peristiwa memisahkan object dan diri tersebut, maka sang diri akan merasa seolah dirinya diamputasi sehingga kehilangan itu akan meninggalkan rongga yang besar dalam sang diri.

2 Dalam bahasa sederhana, archetype dapat diartikan sebagai makna dasar dan potensi dalam jiwa yang bersumber dari pengalaman umat manusia selama berabad-abad.


Sudah matangkah saya?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


You are only young once, but you can be immature forever (Germaine Greer)

Dalam sebuah diskusi dengan para remaja di sebuah gereja, terlontar satu pertanyaan yang menggelitik: “Pak, bagaimana kalau saya mengalami konflik dengan orangtua saya, namun orangtua saya yang ngambek berkepanjangan?” Pertanyaan yang lebih menyerupai curhat dari remaja ini menyentuh hati saya karena peristiwa ini memang seringkali terjadi.

Dalam praktek saya sebagai psikolog, satu isu seringkali mengemuka: ketidakmatangan – atau bahkan kekanak-kanakan, ditinjau dari karakter dan emosi. Tidak pandang berapa pun usia klien, isu ini seringkali muncul; bahkan seringkali menjadi isu sentral atau akar permasalahan yang membuat klien terbentur dengan berbagai masalah lain dalam kehidupan kerja dan keluarganya. Kutipan dari Germaine Greer di atas mengatakan dengan lugas: bertambahnya umur tidak identik dengan bertambahnya kematangan. Kalau usia dan berbagai gejala fisik yang menyertainya akan bertambah terus tanpa dapat dihindari, sebaliknya kematangan karakter dan emosi hanya akan berkembang bilamana diusahakan dan diperjuangkan.

Ketidakmatangan terjadi karena secara emosional seseorang terpaku alias berhenti berkembang (arrested development) pada tahapan perkembangan tertentu. Penyebabnya dapat dikarenakan beberapa hal, antara lain trauma, yaitu ketika seseorang mengalami peristiwa yang begitu menggugah secara emosional, baik itu negatif (emosi yang menakutkan, mengerikan, menyedihkan) ataupun positif (emosi yang menyenangkan, membangkitkan kenikmatan); di mana seseorang tak mampu menyeimbangkan kembali gugahan atau guncangan emosi yang diakibatkan oleh peristiwa traumatik tersebut. Contoh: seseorang yang mendapatkan perlakuan abusive (kekerasan) saat berusia tiga tahun, mungkin secara emosional akan terpaku pada pola emosional anak usia tiga tahun; sehingga sekalipun secara fisik dan intelektualitas ia berkembang terus, secara emosional ia macet di usia tiga tahun. Namun tidak hanya peristiwa negatif, peristiwa yang menyenangkan sekalipun, bilamana berlebihan akan membuat seseorang terpaku secara emosional di masa-masa ia mengalami kesenangan tersebut. Misalnya: seseorang yang mengalami cinta pertama yang begitu menggetarkan mungkin akan terpaku dan jadi sulit menjalin cinta yang baru ketika cinta pertama itu berakhir.

Penyebab lain ketidakmatangan adalah kurangnya pendidikan dan teladan yang dapat dijadikan model. Hal ini seringkali kita jumpai di keluarga-keluarga, di mana orangtua yang tidak matang seringkali tanpa sengaja membuat anaknya berkembang menjadi tidak matang pula. Hal ini bukan karena faktor genetik, melainkan karena faktor pembelajaran dan peneladanan (modeling) negatif yang diperoleh anak ketika mengamati perilaku orangtua dari hari ke hari.
Ketidakmatangan sekalipun menimbulkan banyak kesusahan bagi pribadi yang bersangkutan, namun seringkali juga jadi selimut nyaman yang membuatnya enggan untuk terjaga dan menghadapi realitas apa adanya. Bukankah orang seringkali “menikmati” permasalahan yang mereka gumuli, mengasihani diri sendiri dan enggan beranjak daripadanya? Terutama bila masalah yang mereka hadapi tersebut membangkitkan banyak simpati dan belas kasihan dari banyak orang.

Maka kematangan harus diperjuangkan dan mesti ada dukungan dan lingkungan aman yang memungkinkan pertumbuhan emosional dapat terjadi. D. W. Winnicott mengatakan bahwa tugas seorang konselor atau psikoterapis esensinya adalah menjadi “ibu yang baik” bagi para kliennya. Ibu yang baik adalah metaphor tentang konselor yang mau mendengarkan dan mengerti permasalahan kliennya, membangkitkan kapasitas klien untuk trust – baik trust terhadap orang lain dan dunia, tetapi terlebih-lebih trust pada diri sendiri. “Ibu yang baik” menjadi model bagi pembelajaran ulang klien agar tidak hanya reaktif secara emosional setiap kali mengalami gugahan emosi, melainkan secara proaktif melakukan tindakan-tindakan konstruktif untuk memecahkan masalahnya. Last but not least, “ibu yang baik” juga akan terus membangunkan si anak, bilamana si anak ingin terus tidur dan tidak mau menghadapi kenyataan hidup yang memanggilnya.

Bilamana perjuangan untuk menjadi matang itu telah mulai membuahkan hasil, maka beberapa tanda akan dapat dijumpai; pertama – keterbukaan dan kesediaan menerima realitas, apapun jua. Kepribadian yang matang menyambut dan merangkul setiap realitas yang menyongsongnya, entah itu manis ataupun pahit; karena ia tahu hanya bila ia berpijak pada realitas maka eksistensinya menjadi nyata. Tanda kedua pribadi yang matang adalah terus berkembangnya pengenalan diri dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan identitas yang mantap. Seseorang dengan identitas yang kuat tidak mudah diombang-ambingkan macam-macam godaan dan dorongan; sebaliknya ia mengakar dengan setia pada pengetahuan akan siapa dirinya. Tanda ketiga pribadi yang matang adalah munculnya kemampuan mengendalikan diri dan mengatasi masalah dan kecemasan tanpa harus bersikap defensif. Banyak orang terbentur pada masalah karena kurangnya kemampuan mengendalikan diri, yang membuatnya melakukan berbagai hal yang kelak akan disesalinya. Pribadi yang matang tidak akan menunjukkan impulsivitas semacam itu, melainkan tahu kapan harus menahan diri dan kapan dapat melepaskan hasrat secara baik dan memuaskan. Ia pun dapat mentolelir frustrasi ataupun kecemasan, sebagai bagian yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Dengan sikap positif tersebut, ia selalu dapat bangkit kembali setiap mengalami kekecewaan dan kecemasan. Tanda keempat pribadi yang matang adalah hidupnya ditandai dengan adanya tujuan (purpose) yang membuatnya menjalani hidupnya dengan bermakna, serta membantunya terus mengalami pertumbuhan baik dari segi karakter maupun spiritual.

Meskipun apa yang saya paparkan di atas mungkin terkesan ideal dan sulit digapai, namun dalam hemat saja, juga bukan sesuatu yang mustahil. Karena yang penting bukanlah mencapai suatu titik perkembangan tertentu yang kita anggap sudah matang dan kemudian berpuas diri; melainkan untuk terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan sepanjang hidup kita. Yang penting adalah dari waktu ke waktu kita menjadi semakin matang dan bijaksana. Perjalanan, proses dan pertumbuhan itu sendiri yang paling utama, bukan sekedar hasilnya. Maka, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan itu bagi kita semua. Semoga saya dan anda meskipun mungkin perlahan-lahan, menjadi semakin matang dan beroleh secercah kebijaksanaan…

Iman Setiadi Arif
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jakarta

Senin, 29 Juni 2009

Yang terancam punah: Kebaikan Hati

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Salah seorang sahabat saya telah memberikan sebuah buku sederhana berjudul “The Power of Kindness” karya Piero Ferrucci. Bagi saya buku tersebut bagaikan secangkir teh hangat di tengah cuaca yang dingin. Ditulis dengan sederhana, tanpa upaya kosmetik untuk mempercantik diri, tetapi tak urung keindahannya memancar jua. Mungkin keindahan tersebut berasal dari ketulusan dan kejujuran dalam mengangkat suatu topik yang begitu sederhana, begitu “sepele”, begitu sering kita take it for granted; namun menggemakan pusat keberadaan diri kita sebagai manusia, yaitu kebermaknaan kita. Tulisan berikut ini bukan merupakan resensi atas buku tersebut, tetapi merupakan respon (pribadi) saya setelah membaca buku tersebut.

Dalam masyarakat yang semakin cosmopolitan ini, tidak hanya terjadi global warming yang mengancam keberadaan kehidupan di planet kita, tetapi juga (social) global colding – yaitu semakin mendinginnya hubungan antar manusia. Dalam bukunya yang berjudul “Social Intelligence”, Daniel Goleman mengatakan bahwa sedang terjadi korosi sosial yang menggerogoti kesalingterjalinan antar manusia. Tanpa disadari, orang-orang semakin terpisah satu sama lain, termiskinkan dalam hal relasi sosial dan makin kesepian. Di tengah maraknya Facebook dan Black Berry, yang sepintas tampak memudahkan kita menjalin kontak dengan orang lain, kualitas hubungan manusia tidak otomatis menjadi lebih baik. Saya sendiri harus dengan malu mengakui bahwa tidak semua kontak saya di Facebook, saya kenal dengan baik; apalagi sempat bertegur sapa yang hangat tentang keadaan masing-masing. Barangkali Facebook diciptakan memang bukan untuk memperhangat relasi antar manusia, melainkan sekedar memudahkan menjalin kontak dengan orang lain.

Bila dalam global warming, banyak species yang terancam kepunahan karena keserakahan manusia, maka dalam social global colding banyak kebajikan dasar (virtues) manusia yang juga terancam dan menjadi semakin langka. Belaian kasih seorang ibu pada bayinya yang baru dilahirkan – bukan lagi menjadi sesuatu yang niscaya; melainkan menjadi suatu kemewahan bagi para perempuan karir yang dikejar jadwal kerja yang padat. Percakapan sederhana yang hangat dengan sahabat atau keluarga, digantikan oleh pesan singkat, chatting dan percakapan di telepon yang terburu-buru. Dan cinta? Cinta adalah kebajikan yang pertama menjadi korban dan telah dijadikan komoditi. Seperti kata Ferrucci dalam bukunya; karena banyak sekali orang yang haus akan cinta yang tulus – tetapi mereka telah kehilangan makna akan hal tersebut – maka cinta adalah salah satu komoditi paling laku untuk dijual. Anda tidak memperoleh cinta? Lihat saja film-film romantic atau sinetron-sinetron di televisi yang menjanjikan memenuhi dahaga anda dengan fantasi.

Hal lain yang terancam kepunahan adalah kebaikan hati. Kebaikan hati adalah lentera jiwa manusia yang merupakan bukti bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Namun hari-hari ini kebaikan hati akan dipandang sebagai sesuatu yang naïf dan kontra survival. Di tengah dunia yang ganas ini, hukum rimba adalah “kebajikan” yang diagungkan. Para ilmuwan pun kadang seperti tanpa kritik merangkul penuh interpretasi tunggal tentang evolusi (yang disempitkan oleh materialisme), bahwa pada akhirnya yang paling penting adalah sekedar survival of the fittest. Dalam dunia semacam itu, tidak ada tempat bagi kebaikan hati. Lebih buruk lagi, orang yang baik hati adalah sarapan pagi bagi predator-predator semacam tokoh yang bernama Bento.

Apakah benar kebaikan hati itu kontra survival, dan merupakan semacam kenaifan yang harus secepatnya dienyahkan? Apakah benar orang-orang yang baik hati akan dilindas oleh kehidupan dan ditelan mentah-mentah oleh orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan? Sepintas tampaknya demikian. Namun berbagai penelitian selama bertahun-tahun secara konsisten menunjukkan hal yang berbeda. Efek melakukan kebaikan pada kesehatan, baik kesehatan mental maupun fisik telah banyak dibuktikan. Allan Luks dan Peggy Payne telah mendokumentasikan berbagai penelitian yang dilakukan sejak 1988, dalam buku mereka yang berjudul “The healing power of doing good”. Beberapa manfaat yang terkait dengan kebiasaan melakukan kebaikan antara lain: menjadi lebih optimis dan sejahtera, lebih sering merasa gembira dan penuh semangat, lebih sedikit merasa kesepian dan depresi, lebih jarang mengalami insomnia, berat badan cenderung lebih terkontrol, tekanan darah cenderung stabil dan kesehatan jantung lebih terjaga, sistem kekebalan tubuh lebih kuat, lebih panjang umur, dan lain-lain. Singkatnya, tidak hanya kebiasaan melakukan kebaikan cenderung membuat orang lebih sehat dan lebih panjang umur, tetapi juga meningkatkan kualitas kehidupan.

Sedikit catatan tentang efek buruk dari melakukan kebaikan adalah: bilamana melakukan kebaikan dirasakan sebagai suatu beban dan kewajiban, maka efek-efek positif tadi mungkin tidak akan terjadi, melainkan menjadi sumber stress yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Salah satu tanda bahwa anda sedang melakukan kebaikan adalah rasa bahagia yang tulus menyala dalam diri anda. Kalau anda memaksakan diri, maka anda sedang berbuat tidak baik pada diri anda sendiri.

Kebaikan juga tidak kontra rational. Artinya seseorang yang sungguh berbuat baik tidak mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan rasional dalam memutuskan untuk berbuat baik. Berbuat baik, tidaklah dilakukan dengan membuta; dan berbuat baik, sangatlah berbeda dengan kebodohan. Kebaikan yang sejati dilandasi oleh kebijaksanaan untuk mampu membedakan mana yang paling tepat untuk dilakukan. Kalau anda sudah tahu bahwa seseorang akan menipu anda, maka anda tidaklah berbuat baik bilamana membiarkannya melakukan niatnya. Kita pun tidak dapat melepaskan begitu saja seorang koruptor, atas nama kebaikan hati dan rasa kasihan. Kebaikan hati tidak sama dengan kelemahan.

Penelitian-penelitian yang membuktikan tentang efek positif kebaikan hati terus bertambah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pesannya jelas: rupanya alam nan bijak ini tidak semata-mata digerakkan oleh hukum survival of the fittest yang sempit. Kebaikan, rupanya adalah elemen kunci – yang sekalipun sepintas tampak tak sesuai dengan elemen-elemen survival lainnya – untuk bukan hanya survive, melainkan menemukan makna dan alasan mengapa manusia ingin survive. Apakah ada gunanya bila seseorang menjadi yang paling tangguh dan berkuasa dan dapat bertahan hidup; bilamana ia menemukan bahwa hidup itu sendiri sudah tak bermakna. Kebaikan tampaknya adalah bukti bahwa manusia itu lebih dari sekedar hewan ekonomi yang memperebutkan berbagai sumberdaya yang terbatas. Dengan kebaikan, seseorang melampaui batas-batas keberadaan dirinya yang sempit dan menemukan kebahagiaan yang sejati.

Kamis, 16 April 2009

Spiritual Brain

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Terselubungi oleh gegap gempita Pemilu Legislatif yang baru saja berlalu 9 April yang lalu, hari Minggu yang lalu tanggal 12 April 2009 bagi umat Kristiani adalah hari yang terpenting dan paling bermakna sepanjang tahun, yaitu hari raya Paskah. Kebangkitan Yesus Kristus (Isa Almasih) yang dihayati kembali (relived dalam kekinian - bukan sekedar “diperingati/ remembered” sebagai suatu peristiwa di masa lalu) setiap hari raya Paskah merupakan dasar iman dan pengharapan Kristiani.

Makna hidup seorang Kristen (Protestant dan Katolik) terletak pada iman dan pengharapan ini, bahwa kematian dan ketiadaan dikalahkan, dan hidup kekal dengan segala kepenuhannya dapat diperoleh dalam persekutuan dengan Kristus. Dalam sejarahnya yang panjang, terbukti bahwa iman dan pengharapan ini memampukan orang-orang Kristen menghadapi tantangan, kesulitan dan penindasan apapun sesuai dengan gerak zaman.

Semua agama merupakan sumber makna bagi para penganutnya. Dengan makna tersebut, seseorang dapat menjalani hidupnya dengan mantap, apapun yang terjadi dalam hidupnya tersebut. Saya mengutip dari Nietzsche yang mengatakan bahwa “Anyone who know the ‘why’ can bear any ‘how’.”  Dalam hal ini bangsa Indonesia memiliki kekayaan dan modal dasar yang sangat berharga, yaitu keberakaran yang kuat pada tradisi-tradisi spiritualitas disertai dengan pluralitas dan sikap toleransi yang tinggi. Kekayaan kultural dan spiritual ini menghasilkan ketahanan yang luar biasa atas berbagai kesulitan yang menimpa bangsa kita sepanjang sejarah. Kita dapat melihat contoh mutakhir ketahanan dan kelentingan ini dalam bencana Tsunami yang menimpa saudara-saudari kita di Aceh pada tahun 2004. Para psikolog yang datang ke Aceh untuk memberikan bantuan psikologis dibuat takjub dan kagum karena relatif  hanya sedikit warga Aceh – termasuk perempuan dan anak-anak – yang mengalami trauma psikologis yang berat. Saya percaya bahwa ketahanan yang luar biasa ini bersumber dari kekayaan spiritual yang mendarahdaging pada warga Aceh, yang memampukan mereka memaknai dan menerima peristiwa apapun, serta bangkit kembali dari keterpurukan yang terberat sekalipun. Secara umum saya berani mengatakan bahwa bagi kebanyakan bangsa Indonesia – terutama terlihat jelas justru pada orang-orang sederhana yang anonym – spiritualitas dan makna hidup masih merupakan bagian yang hakiki dari keberadaan mereka. Tidak demikian halnya dengan saudara-saudari kita di Barat.

 

Karat materialisme yang menggerogoti

Di masyarakat Barat yang sangat ilmiah dan rasional, terjadi krisis spiritualitas yang parah – setidaknya sebagaimana tercermin dalam wacana-wacana mainstream yang berkembang di berbagai publikasi Ilmiah dan berbagai media. Semakin sulit tampaknya bagi masyarakat Barat yang modern dan postmodern ini untuk mempercayai sesuatu yang tak tampak dan tak dapat dibuktikan.

Kemajuan yang begitu pesat dalam dunia ilmu – disadari ataupun tidak – telah menjadikan sains sebagai pegangan satu-satunya dan sumber kebenaran tertinggi. Bila sesuatu dapat dibuktikan secara scientific, maka sesuatu itu nyata dan ada; sebaliknya bila tidak, maka ia tidak nyata dan tidak ada. Dan sayang sekali bahwa pengertian scientific telah disempitkan dan diidentikkan dengan materialisme. Dalam pandangan materialisme, yang sungguh-sungguh nyata dan ada adalah materi – yaitu apa yang bisa dilihat, diraba, dicium, dikecap, didengar, terikat pada ruang dan waktu. Apapun yang bukan materi, dianggap hanyalah ilusi atau bersifat sekunder sebagai akibat dari berbagai aktivitas materi.

Contoh yang paling jelas tentang hal ini tampak pada perkembangan mutakhir dalam neuroscience yang berparadigma materialistic (tidak semua neuroscience dan neuroscientist berparadigma seperti ini). Neuroscience merambah ke berbagai bidang seperti behavioral science, cognitive science, affective science, anthropology, philosophy dan bahkan akhir-akhir ini Theology. Neuroscience adalah bidang ilmu yang kajiannya adalah the brain, sementara berbagai ilmu lain yang saya sebut setelahnya bidang kajiannya adalah the mind. Yang dimaksud dengan the mind adalah segala inner experience sebagaimana secara dialami secara subjektif oleh individu, menggunakan sudut pandang orang pertama (1st person perspective); misalnya: perasaan, pikiran, keyakinan ataupun kehendak bebas individu. Sedangkan the brain adalah materi, yaitu organ biologis berupa otak dan seluruh sistem sarafnya, yang dapat diamati dan diperiksa secara objektif, menggunakan sudut pandang orang ketiga (3rd person perspective). Sekalipun jelas sekali bahwa ada hubungan erat antara the mind dan the brain, namun keduanya tak dapat diidentikkan. Masalahnya adalah materialisme mengidentikkan keduanya, dan mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh real dan exist adalah the brain. The mind (pikiran, perasaan, kehendak, keyakinan, dll) hanyalah produk dari aktivitas the brain, sehingga mereka hanyalah ilusi, tidak sungguh-sungguh nyata dan ada.

Termasuk yang dinihilkan oleh pandangan sempit materialisme ini adalah berbagai pengalaman spiritual yang merupakan sumber makna bagi seseorang sebagai seorang pribadi ataupun suatu kelompok secara kolektif. Pengalaman-pengalaman spiritual (RSME = Religious, Spiritual, Mystical Experience) yang secara historis telah terbukti menjadi fondasi dan benteng terakhir individu dalam menghadapi deru kehidupan ini telah dinafikan dengan berbagai cara, dan orang-orang yang memperoleh pengalaman tersebut dilecehkan sebagai orang-orang yang mengalami semacam epilepsy, tumor otak, atau bahkan gangguan jiwa. Sebaik-baiknya, materialistic neuroscience hanya memandang spiritualitas sebagai semacam penyimpangan otak dan gangguan kejiwaan yang “diperlukan” demi survive-nya umat manusia.

Kalangan penganut agama dan spiritualitas tentu saja memberikan argumen perlawanan atas klaim-klaim kaum materialist. Namun, argumen-argumen mereka yang lebih sering didasarkan pada dogma dan falsafah serta kurang memiliki data-data ilmiah sebagai pendukungnya, jadi tampak lemah dan tertelan oleh argumentasi kaum materialist yang mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah sebagai dasar pandangan mereka.

 

Titik-titik cahaya di kegelapan

Tidak semua scientist berparadigma materialistic. Bahkan di dunia Fisika yang dianggap paling eksak sekalipun, kalangan arus utamanya tidak lagi berparadigma materialistic, terutama setelah ditemukannya Fisika Quantum dan asas ketidakpastian Heisenberg. Sekalipun tergolong pada kalangan minoritas, terdapat banyak neuroscientist yang berparadigma non-materialistic, dan penelitian-penelitian mereka mulai menjadi dasar argumentasi yang kuat bahwa hal-hal yang non-materi tidak dapat direduksi menjadi sekedar materi.

Andrew Newberg, M.D. dari University of Pennsylvania adalah salah seorang contohnya. Dia adalah salah seorang pelopor yang meneliti korelasi antara pengalaman spiritual (the mind, 1st person perspective) dengan mekanisme di otak orang yang mengalaminya (the brain, 3rd person perspective). Ia melakukan penelitian pada orang-orang yang telah lama berlatih meditasi menurut cara Buddhism, serta para suster Franciscan yang telah bertahun-tahun menekuni hidup doa. Hasil penelitiannya cukup mengesankan: ia menemukan bahwa disiplin dalam meditasi ataupun doa menghasilkan perubahan yang signifikan dalam aktivitas otak, bahkan perubahan yang permanen. Dengan menekuni meditasi ataupun doa, seseorang dapat menjadikan dirinya sendiri menjadi lebih sabar dan lebih empatis pada orang lain. Dengan kata lain, the mind mengubah the brain! Seseorang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh desain genetic yang menentukan mekanisme otaknya, melainkan dapat mengubahnya dengan kehendak bebasnya dan ketekunan mendisiplinkan dan melatih otaknya.

Penelitian yang lebih ekstensif dilakukan oleh Mario Beauregard, Ph.D. dari université de Montreal (Canada) dengan meneliti sample yang lebih besar dan metode pengukuran yang lebih teliti. Ia menggunakan sample dari para suster Carmelite yang telah mendedikasikan hidup mereka pada doa dan kehidupan kontemplatif, terutama mereka yang mengalami pengalaman-pengalaman mystic, yaitu mengalami relasi dan keintiman dengan Allah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami para suster tersebut sungguh-sungguh nyata, dan bukan hasil rekayasa ataupun akibat sampingan dari gangguan otak, epilepsy ataupun halusinasi. Bahkan ada perbedaan yang sangat nyata antara pengalaman-pengalaman epilepsy dan halusinasi, dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang sejati. Penelitiannya juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang telah mengalami pengalaman spiritual yang sejati, mengalami transformasi dalam kehidupan mereka. Mereka bukan lagi pribadi yang sama, melainkan telah menemukan lapisan yang lebih dalam dari kepribadian mereka sehingga pandangan mereka tentang kehidupan menjadi jauh lebih bermakna. Penelitian-penelitian lain membuktikan pula bahwa orang-orang yang telah mengalami transformasi ini menjadi jauh lebih sehat mental, terhindar dari berbagai kecemasan dan ketakutan, lebih kebal pada depresi, lebih tangguh dalam menjalani kehidupan, lebih empatis dan lebih bersedia untuk menolong orang lain, bahkan kesehatan fisik mereka pun biasanya lebih baik.

Penelitian-penelitian Newberg dan Beauregard di atas adalah titik-titik cahaya di tengah dominasi materialisme yang menjadi arus utama saat ini. Suatu oase yang menyegarkan yang menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual adalah sungguh nyata dan memiliki efek tranformatif dalam pribadi yang mengalaminya. Ditegaskan pula bahwa kehidupan seseorang tidak tergantung pada warisan genetic dan susunan syaraf yang dimilikinya, melainkan juga pada kehendak bebas dan pendisiplinan diri untuk berpaling pada Sumber yang lebih besar dari pribadinya sendiri, yaitu Sang Pencipta itu sendiri.

 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta

 

Jumat, 13 Februari 2009

Apa sih hebatnya cinta?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Hari ini adalah hari Minggu Cinta, apakah anda menyadarinya? Yup, karena kemarin adalah 14 Februari, yang dirayakan oleh kaum muda sedunia (khususnya yang sudah terimbas budaya Barat) sebagai hari Cinta. Kalau anda adalah seorang remaja, apalagi ABG, mestinya saat ini anda masih sedang tersenyum-senyum sendiri (gila dong??) membayangkan romantic dinner tadi malam dengan si dia, lengkap dengan candle light dan alunan musik yang syahdu. Atau kalau anda adalah seorang jomblo kronis, dengan berbagai komplikasi stadium 4 seperti bokek, dan jerawatan, mungkin kemarin adalah hari siksaan dari neraka yang  membuat anda ingin melompat dari gedung tertinggi di Jakarta (tapi kalau anda benar seorang ABG, mestinya anda tidak akan membaca tulisan di koran ini yang kebanyakan pembacanya sudah (jauh..) melampaui usia ABG.. J). Well, karena saya yakin kebanyakan pembaca koran ini bukan Anak Baru Gede melainkan Angkatan Babe Gue, maka kita bisa melewati bagian-bagian yang romantis, konyol namun menggemaskan tentang cinta – bukan karena orang tua tidak lagi peduli ataupun membutuhkan cinta romantis, bahkan beberapa orang tua masih sangat romantis dan itu sangat baik – melainkan karena orang tua mestinya sudah melihat sisi lain dari cinta, bukan sekedar romantisme, dan karenanya mencari makna yang lebih dalam dari cinta. Tulisan ini tidak berambisi menjawab apa makna yang terdalam dari cinta (terlalu dalem man… J) melainkan sekedar mencoba merenung dengan sederhana, karena bagaimana pun juga it’s simply the truth that nobody can truly live without love

Sebagai psikolog, ijinkan saya kembali menggunakan teori-teori psikologi andalan saya (habis modalnya cuman itu sehJ). Tetapi saya tidak akan menggunakan teori-teori standard tentang cinta, seperti dari Sternberg ataupun Fromm, melainkan dari tokoh yang mungkin kurang terkenal bagi kebanyakan psikolog sekalipun, yang bernama Ronald Fairbairn. Ia adalah seorang psychoanalyst jadul dari Inggris yang bersusah payah mencoba menggambarkan kehidupan subjektif individu, terutama yang tidak sadar, dan the deep structure of personality yang terkait erat dengan relasi interpersonal antar manusia. Fairbairn adalah seorang pemikir kelas berat yang karya-karyanya njlimet dan tidak gampang untuk dibaca, sehingga juga tidak populer. Nah, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh bapak yang serius ini tentang cinta? Ijinkan saya mencoba menafsirkan dan menyajikannya dengan sederhana.

Sebenarnya Fairbairn tidak pernah menulis langsung tentang cinta, suatu topik yang kesannya remaja banget, namun dalam pergumulannya untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman kepribadian, ia tidak bisa tidak menyinggung-nyinggung tentang cinta. Dalam pandangan Fairbairn, cinta itu sangat sederhana dan sangat mendasar. Cinta tidak lain adalah daya gravitasi yang menggerakkan semesta relasi interpersonal – dan kemudian juga intrapsikis. Seperti halnya daya gravitasi yang menurut Newton sangat krusial dalam pergerakan alam semesta ini, cinta adalah gaya tarik yang menggerakkan seseorang untuk mendekat dan menyatu dengan objek cintanya. That’s it, itulah cinta menurut Fairbairn. Meskipun kelihatannya sangat sederhana, namun dampaknya sangat mendasar dan menentukan dalam kelangsungan eksistensi seseorang dan kesehatan mentalnya. Fairbairn tidak bicara pertama-tama tentang cinta romantis antar kekasih, melainkan tentang relasi interpersonal yang paling dasar dan yang paling pertama dijalani oleh semua manusia, yaitu relasi antara seorang anak dan ibunya, yang menjadi dasar bagi seluruh relasi lain yang akan dibinanya di kemudian hari, dan juga dasar bagi relasi antara seseorang dengan dirinya sendiri – yaitu apakah ia akan mampu menerima dan mencintai dirinya sendiri.

Dalam literatur psikoanalisa, tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta antara seorang anak dan ibunya. Kalau anda pernah menonton film karya Steven Spielberg yang berjudul Artificial Intelligence (2001), di sana digambarkan dengan sangat baik bagaimana seorang anak akan jatuh cinta pada manusia pertama yang ditemuinya, yaitu ibunya; dan seluruh hidupnya dan tindakannya selanjutnya digerakkan oleh keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh ibunya. Kita ingat bahwa salah satu fondasi dasar teori Sigmund Freud adalah tentang Oedipus Complex, yaitu cinta yang kekanak-kanakan dan membuta dari seorang anak pada ibunya, yang membuatnya ingin menyingkirkan ayahnya. Teori Fairbairn berbeda dari teori Freud yang dasarnya adalah psikoseksual. Fairbairn dan rekan-rekannya dari aliran Object relations memandang bahwa insting yang paling dasar dalam diri manusia, yang menjadi motivator dan penggerak utama segala perilakunya, bukanlah seksualitas seperti dikatakan oleh Freud, melainkan kebutuhan untuk terhubung dan menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini nampak sekali pada relasi pertama yang dijalin manusia antara dirinya dan ibunya.

Apa fungsi cinta ini? Cinta adalah salah satu dari dua emosi dasar manusia yang mengikat dirinya dengan orang lain (Emosi dasar lain adalah takut (anxiety), yaitu takut ditolak, yang kemudian biasanya berwujud kemarahan, kebencian dan agresivitas, serta menggerakkan seseorang menjauh dari objek cintanya).  Love and hate/fear yang terjalin antara dua pribadi mengikat keduanya menjadi satu, menggerakkan mereka dalam tarian abadi mendekat-menjauh dari waktu ke waktu, bagaikan dua penari tango. Dan dampak penting dari “tarian” ini adalah: drama relasi ini tidak hanya dihidupkan di luar, melainkan akan diinternalisasikan ke dalam diri menjadi kepribadian kita. Kepribadian kita tidak lain adalah jejak langkah dan cermin dari relasi-relasi yang kita jalani sepanjang hidup kita.

Kalau seseorang banyak mengalami luka batin dan penolakan dalam relasi-relasi yang dijalaninya, terutama relasi-relasi primer dengan orangtuanya, tidak hanya hal ini akan melukai rasa keberhargaan dirinya, namun yang paling penting hal ini akan membuatnya tak mampu mencintai dirinya sendiri dan jadi terasing dengan dirinya yang sejati. Jadi…apa hebatnya cinta? Tanpa cinta – baik itu kemampuan mencintai diri sendiri, ataupun mencintai orang lain – maka tali pengikat yang menyatukan dirinya untuk tetap utuh, dan yang mengikatnya dengan orang lain akan terputus, dan seseorang akan melayang-layang dalam ruang hampa tanpa makna. Maka hidup tidak akan lagi punya rasa dan tanpa disadari seseorang sudah mati meskipun masih bernafas.

Saya akhiri tulisan singkat ini dengan suatu kutipan puisi dari Derek Walcott yang berjudul Love after love. Puisi ini akan mengatakan jauh lebih banyak daripada semua yang dapat saya tulis. Happy Valentine everyone…

The time will come 
when, with elation 
you will greet yourself arriving 
at your own door, in your own mirror 
and each will smile at the other's welcome, 

and say, sit here. Eat. 
You will love again the stranger who was your self.
Give wine. Give bread. Give back your heart 
to itself, to the stranger who has loved you 

all your life, whom you ignored 
for another, who knows you by heart. 
Take down the love letters from the bookshelf, 

the photographs, the desperate notes, 
peel your own image from the mirror. 
Sit. Feast on your life.