Senin, 29 September 2008

Mengapa kau tak bahagia?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan 

Kebahagiaan adalah tujuan akhir semua orang. Apapun ideologinya, agamanya, sukunya, status ekonominya; tujuan hidup semua orang sama, yaitu untuk berbahagia. Namun dalam perjalanan hidup ini, sebagian orang “kesasar” sehingga tidak dapat menemukan tujuan aslinya tersebut. Orang menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan sehingga menghabiskan energinya untuk mengejar kesenangan. Tentu saja ia akan kecewa. Orang pun kemudian mengeluh bahwa hidup ini tidak adil dan menyalahkan orang lain, atau dirinya sendiri atau bahkan menyalahkan Tuhan atas ketidakbahagiaannya.

 

Perangkap ketidakbahagiaan

Ketidakbahagiaan bersumber dari pandangan-pandangan keliru yang kita pegang, sehingga mengaburkan arah tujuan kita dan membuat kita terjerembab dalam ketidakbahagiaan. Berikut adalah beberapa pandangan keliru yang seringkali menyebabkan ketidakbahagiaan.

1.      Kebahagiaan sama dengan kesenangan. Ini adalah perangkap paling umum yang menyesatkan perjalanan kita menuju kebahagiaan. Kesenangan dapat diibaratkan anggur yang nikmat, yang membuat kita semakin haus dalam tiap regukannya. Setiap keinginan yang terpenuhi akan membangkitkan keinginan-keinginan lain yang tiada hentinya. Kebahagiaan justru ditandai oleh semakin meredanya keinginan dan semakin mensyukuri apa yang ada.

2.      Kebahagiaan ada di masa depan. Daniel Gilbert dalam bukunya yang terkenal, yaitu “Stumbling on Happiness” mengungkapkan bahwa orang rela untuk melakukan apa saja, untuk menjamin bahwa di masa yang akan datang ia akan menikmati investasi dan pengorbanannya saat ini. Orang seringkali membayangkan betapa senangnya dirinya di masa yang akan datang bila dapat menikmati kesenangan-kesenangan yang ditundanya saat ini. Hal ini dilakukan karena manusia adalah mahluk satu-satunya yang memikirkan masa depan. Namun melalui penelitiannya, Gilbert membuktikan bahwa antisipasi orang akan masa depan ternyata tidak dapat diandalkan. Diri kita di masa yang akan datang seringkali kecewa pada apa yang dilakukan diri kita di masa lalu. Oleh karena itu, terpaku pada masa yang akan datang adalah salah satu perangkap ketidakbahagiaan yang sangat kuat.

3.      Tidak mengenal talenta dan kekuatan diri. Martin Seligman, psikolog yang mempelopori psikologi positif, mengungkapkan bahwa sumber kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup adalah bilamana seseorang dapat menggunakan talenta dan kekuatan unik yang dimilikinya secara konsisten. Namun, tidak semua orang cukup mengenal apa sesungguhnya kekuatan unik yang dimilikinya, sehingga mereka merasa hampa dalam menjalani hidupnya. Bila seseorang tidak mengenal harta terpendam yang dimilikinya, seringkali ia terjebak pada iri hati akan talenta dan kekuatan unik yang dimiliki orang lain.

 

Delapan langkah menuju hidup yang lebih berbahagia.

Sonja Lyubomirsky, psikolog dari University of California, bersama rekan-rekannya telah meneliti tentang cara-cara yang terbukti efektif meningkatkan kebahagiaan. Ia merekomendasikan delapan langkah ini.

1.      Hitunglah berkat-berkat yang kau terima. Sesungguhnya banyak berkat yang kita terima tiap hari, tetapi seringkali kita mengecilkan artinya dan melupakannya. Latihan pertama yang dianjurkan Sonja ini dilakukan dengan cara melatih diri untuk lebih menyadari dan mengingat berkat-berkat yang kita alami setiap hari. Setelah melatih ini sebentar saja, orang biasanya akan takjub pada betapa banyak berkat yang sudah diterimanya.

2.      Melatih diri berbuat baik. Saran ini bukan datang dari pendeta, pastor ataupun pemuka agama lainnya; melainkan dari hasil penelitian psikologi. Telah dibuktikan dalam penelitian bahwa berbuat baik dan menolong orang lain membangkitkan kebahagiaan dalam pelakunya. Berbeda dari pandangan keliru yang dipegang orang pada umumnya bahwa menerima dan mendapatkan akan lebih membahagiakan daripada memberi dan membagi; Sonja dan kawan-kawan membuktikan kebalikannya. Memberi dan membagi sesungguhnya memang lebih membahagiakan daripada menerima dan mendapatkan.

3.      Hidup pada saat ini dan nikmati tiap saat yang ada. Seringkali orang terlalu berfokus pada masa depan dan menanti-nantikan yang tidak ada. Atau orang tercekam oleh masa lalu sehingga melewatkan kebaikan yang ada saat ini. Dari penelitiannya, Sonja menyarankan untuk melatih diri untuk lebih fokus ke saat ini dan menghayati kenyataan yang ada.

4.      Berterimakasih pada orang yang membimbing kita. Dalam kehidupan tiap orang, pastinya ada orang-orang tertentu yang pernah menyentuh dan mengangkat kita hingga dapat sukses atau melewati saat-saat yang sulit. Ternyata, meluangkan waktu untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita dan menyatakannya langsung kepada orang tersebut, adalah salah satu pengalaman paling membahagiakan bagi kedua belah pihak.

5.      Belajar memaafkan. Kepahitan dan sakit hati yang pernah kita alami seringkali merupakan belenggu yang menghambat kita untuk melanjutkan kehidupan. Kadang kita lebih suka terus menyiksa diri dan mengunyah-ngunyah kepahitan masa lalu. Tetapi kebahagiaan hanya akan datang bila kita mau melepaskan keterpakuan kita pada kepahitan masa lalu.

6.      Menginvestasikan waktu dan tenaga pada keluarga dan sahabat. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa seseorang yang memiliki relasi yang erat dan bermakna dengan orang lain akan lebih tahan terhadap stres dan lebih sering merasakan kebahagiaan. Adanya dukungan sosial dari orang lain membuat kita tetap merasa berharga, diterima dan dikasihi, sekalipun sedang menghadapi permasalahan yang sukar.

7.      Merawat kesehatan dan kebugaran tubuh. Bila kita bicara soal kebahagiaan, seringkali konotasinya adalah pada kebahagiaan psikologis semata. Padahal, keberadaan manusia yang utuh mengindikasikan bahwa ada relasi yang erat antara tubuh dan jiwa. Kalau tubuh kita sakit, bukankah pikiran dan perasaan kita juga ikut sakit? Sebaliknya kalau kita tidur cukup, makan nutrisi yang berimbang, berolahraga teratur dan seimbang antara aktivitas dan relaksasi, maka pikiran dan perasaan kita akan menjadi lebih seimbang dan sejahtera.

8.      Mengembangkan strategi untuk mengatasi stres dan menghadapi kesulitan. Kebahagiaan bukan berarti tidak mengalami kesukaran. Melainkan suatu sikap berani menghadapi kenyataan dan kesukaran apapun yang ada dan secara rasional mencari pemecahan masalah. Ternyata, orang yang memiliki banyak sumberdaya dan alternatif dalam menghadapi situasi yang stressful, akan lebih berani menjalani kehidupan, mengambil resiko yang masuk akal, sehingga memperoleh lebih banyak kepuasan dalam hidupnya.

 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida 

Why don't you see me?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan
 

Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Seruni. Seruni adalah seorang business woman yang sukses, seorang istri dan seorang ibu dari dua orang anak. Kira-kira tiga tahun yang lalu, ia mengalami gangguan kecemasan yang cukup berat, disertai fase-fase depresi. Bila serangan kecemasan menerpanya, ia dipenuhi rasa panik. Tubuhnya menegang disertai keringat dingin, jantung berdebar-debar, nafas menjadi sesak dan Seruni merasa dunianya seolah hendak runtuh. Beberapa psikiater ternama telah dikunjunginya, dan pengobatan psikiatris terbaik sudah dikonsumsinya. Kondisinya tidak kunjung membaik. Salah seorang psikiater senior yang dikunjunginya, dengan bijak mengatakan bahwa ia tidak akan mengalami kemajuan bilamana ia belum menghadapi kenyataan pahit yang coba dihindarinya.

Kenyataan pahit apakah yang tak mau dihadapi perempuan cantik, cerdas dan sukses seperti Seruni? Yaitu kenyataan bahwa di mata suaminya, ia seolah tiada. Sekalipun mereka berduaan di rumah, suaminya jarang menegurnya ataupun menyentuhnya. Seruni merasa dirinya seolah tembus pandang dan suaminya dapat memandang melaluinya. Komunikasi di antara mereka terasa tawar dan mekanis. Seruni seringkali harus memancing pertengkaran dengan suaminya, hanya agar merasa ada masih kontak di antara mereka.

Text Box: The Invisible WomanSeruni akhirnya menyerah dan tidak lagi berupaya untuk menghangatkan kembali relasi di antara mereka. Maka ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas yang seabreg untuk mengisi kehampaan yang dirasakannya. Seruni pada dasarnya memang menyukai pekerjaannya, sehingga dengan mencurahkan diri sepenuhnya di pekerjaan, ia pun mencapai sukses melebihi yang diharapkannya. Namun sukses dan pencapaian yang hebat tidak dapat memenuhi rongga kosong dalam jiwanya. Eksistensinya terus menciut dan mencapai titik terendah ketika ia mulai diserang rasa panik. Panik yang sesungguhnya mencerminkan ancaman ketiadaan pada keberadaan dirinya.

Pengobatan medis ternyata tidak banyak meringankan derita Seruni. Ia baru merasa dirinya ada dan hilang gejala-gejala kecemasannya ketika ia menjalin suatu relasi ekstramarital dengan lelaki lain. Menurut Seruni, lelaki itu sebenarnya tidak dapat dikatakan lebih tampan, atau lebih hebat daripada suaminya. Tetapi lelaki itu dapat merespon keberadaan dirinya, dan bersamanya Seruni merasa dirinya ada. Seruni tahu bahwa relasi ekstramarital yang dijalinnya itu adalah keliru dan tak dapat diteruskan untuk selamanya, namun ia pun ragu untuk menghentikannya karena ia takut ia akan terlempar kembali pada ketiadaan seperti dahulu. Seruni datang konseling untuk memecahkan konflik tersebut.

 

Keberadaan manusia bersama manusia lain

Dalam analisisnya tentang keberadaan manusia, filsuf Martin Heidegger mengajukan dua postulat. Salah satunya mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan bersama manusia lain. Manusia tidak dapat mengada seorang diri, melainkan ia hanya dapat mengada dengan melangsungkan dialog dalam suatu kebersamaan dengan orang lain. Keberadaan manusia dapat diibaratkan tarian tango yang hanya akan tetap ada selama kedua penarinya berinteraksi secara harmonis dalam alunan musik. Kalau salah satu saja dari penari tersebut menghentikan tariannya, maka lenyap pula tarian tango yang indah itu.

Seseorang tidak dapat merasakan bahwa dirinya ada dan mengenal dirinya sendiri bila tidak melalui orang lain. Sebagaimana seseorang tidak dapat memandang wajahnya sendiri kecuali bila ia melihat pantulan dirinya dari kaca cermin, demikian pula seseorang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan merasakan keberadaannya kecuali bila ia mendapat respon dan cerminan dari orang lain. Respon dan cerminan tentang diri kita yang kita peroleh dari orang lain, memiliki pengaruh yang besar pada penghayatan kita tentang keberadaan diri dan bagaimana kita memandang diri sendiri. Misalnya: seorang anak akan memandang dirinya sendiri sebagaimana pantulan yang didapatkan dari ibunya. Sang bunda yang memandang wajah sang anak sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih seolah memantulkan pada anak itu suatu konfirmasi bahwa dirinya berharga dan dicintai. Dengan demikian terbentuklah citra diri yang positif dalam diri anak tersebut. Anak merasa dirinya ada dan berharga. Bila pantulan yang dilihat anak tentang dirinya dari ibunya adalah pantulan yang negatif, maka anak pun akan memandang dirinya negatif. Bila sang ibu tidak merespon kehadiran anak dan menganggapnya seolah tiada, maka penghayatan anak bahwa dirinya ada pun akan terancam.

 

Tatapan yang meneguhkan atau membekukan

Text Box: MedusaTatapan orang lain pada kita dapat meneguhkan keberadaan kita, dan sebaliknya dapat pula membekukannya. Saat seseorang memandang kita sebagai pribadi sebagaimana kita adanya, keberadaan kita diteguhkan. Kita merasa dimengerti dan diterima. Tatapan orang lain itu menghidupkan dan menumbuhkan. Namun, saat orang lain memandang kita bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai suatu objek, maka pandangannya tersebut membekukan keberadaan diri kita, bagaikan pandangan Medusa. Saat melakukan public speaking, mungkin kita semua pernah merasakan momen di mana kita berdiri dengan gemetar di muka banyak orang yang menatap kita. Tatapan mata mereka serasa menembus diri kita dan kita menjadi kecil di mata mereka. Saya pernah mendapatkan seorang klien yang selalu merasa lumpuh dan menjadi bodoh setiap kali ia berjumpa dan berinteraksi dengan ibunya; padahal klien itu sejatinya adalah seorang yang sangat cerdas dan berprestasi. Ibunya tak pernah memandang dan memperlakukannya sebagai pribadi sebagaimana adanya. Maka orang itu merasa dirinya adalah benda di mata ibunya dan pandangan ibunya itu membekukan kemungkinannya untuk mengada.

Dinamika yang sama terjadi dalam interaksi Seruni dan suaminya. Seruni merasa putus asa karena tidak pernah dapat melihat pantulan dirinya di mata suaminya. Keberadaan dirinya tidak direspon oleh suaminya. Tanpa respon dan pantulan dari suaminya, Seruni merasa dirinya tiada. Ia bagaikan hantu yang tembus pandang dan tidak memiliki bayangan di cermin. Kalaupun suami sesekali dapat memandang dirinya, tatapan mata suami tidak pernah memandang Seruni sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai objek. Tatapan mata yang mengobjektivikasi tersebut membekukan keberadaan dan kemungkinan Seruni untuk mengada.

Pelarian Seruni pada kesibukan di pekerjaan tidak dapat menyelamatkannya. Ia ingin mempertahankan eksistensi dirinya dengan berbagai pencapaian yang diperolehnya. Namun tidak pernah ada prestasi sebesar apapun yang dapat menatap balik padanya dan membuatnya merasa ada. Yang dicarinya adalah mata yang dapat melihat dirinya dan memantulkan siapa dirinya sebagaimana adanya.

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta

Remembrance

Jika semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalam mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya?

Suatu hari di tepi pantai, riak-riak air saling berbicara satu sama lain. Salah satu riak kecil berkata, "Oh, betapa hebatnya gelombang besar itu! Ia sangat dahsyat, dapat mengangkat kapal yang paling besar, dapat pula mengempaskannya ke karang. Betapa tak berartinya aku dibandingkan dengannya".

Riak air yang lain menyetujui pandangan riak yang pertama tadi dan mereka semua tertunduk lesu, merasa diri begitu kecil dan tak berarti. Salah satu riak air yang bijaksana berkata, "Saudaraku... engkau keliru.. Engkau tidak berbeda daripadanya... Sesungguhnya, kita (riak kecil) dan dia (gelombang besar) sama saja.. kita adalah air..".

Ketika riak kecil tadi mendengar perkataan temannya, hatinya yang murung seketika menjadi cerah. Ia menyadari bahwa sekalipun kelihatannya begitu berbeda antara dirinya yang hanya riak kecil dan gelombang besar nan dahsyat; sesungguhnya mereka sama: mereka adalah air...

Beberapa waktu yang lalu penulis menerima sepucuk surat dari orang yang tak dikenal. Ternyata yang menulis surat tersebut adalah seorang pasien skizofrenia yang sedang berobat jalan. Sebut saja pasien tersebut bernama Yanto (bukan nama sesungguhnya). Yanto rupanya membaca salah satu buku karya penulis dan terkesan oleh isinya. Ia terdorong untuk menulis surat, memuji buku karya penulis dan kemudian banyak bercerita tentang riwayat hidupnya.

Penulis yang bersimpati pada perjalanan hidup Yanto dan perjuangannya untuk memulihkan diri, membalas surat tersebut sehingga terjadi korespondensi untuk beberapa waktu. Salah satu hal yang menarik perhatian dari surat-surat Yanto adalah: Di dalam surat-suratnya, Yanto selalu merendahkan diri secara berlebihan (self-devaluating) dan menyebut diri orang yang hina dan tak berarti. Sebaliknya ia selalu meninggikan dan memuji (idealizing) penulis.

Di dalam literatur Psikoanalisis, perilaku yang ditunjukkan oleh Yanto merupakan salah satu defense mechanism yang disebut idealization, yaitu upaya mengatasi rasa rendah diri yang ekstrem dengan cara mengidealisasikan orang lain dan memiliki fantasi menyatu dengan/diterima oleh orang tersebut.

Di dalam defense mechanism ini, pasien mendistorsikan pandangan tentang dirinya sendiri berupa devaluasi diri yang ekstrem, dan juga mendistorsikan pandangan tentang orang lain berupa penghargaan yang berlebihan. Pasien yang melakukan ideali- zation akan tergantung secara emosional pada objek idealisasinya.

Bila objek (orang) tersebut menerimanya, ia akan bahagia; namun bila objek tersebut menolaknya, ia akan merasa sangat terpuruk dan terluka. Maka, akan selalu jadi kekhawatiran besar bagi pasien, apakah ia cukup baik untuk diterima dan dikasihi oleh objek idealisasinya ataukah tidak. Keraguan diri yang amat besar akan selalu membuatnya terombang-ambing antara emosi positif dan emosi negatif. Hal ini menjadi sumber penderitaan baginya.

Devaluasi Diri

Cerita di atas adalah contoh ekstrem tentang seseorang yang melakukan devaluasi diri, dan sangat menderita karenanya. Namun, devaluasi diri tidak hanya ditemui pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa berat, melainkan dalam berbagai tingkatan sangat mudah dijumpai pada banyak orang, dari berbagai tingkatan sosial-ekonomi dan beragam latar belakang budaya. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan kekurangan dalam diri sendiri ataupun dalam diri orang lain; sebaliknya tidak mudah melihat dan mengakui suatu kebaikan dalam diri.

Devaluasi diri adalah salah satu sumber utama penderitaan bagi manusia. Devaluasi diri bukanlah sesuatu yang alami, melainkan merupakan suatu penyimpangan karena bertentangan dengan hasrat dasar yang ada pada semua manusia, yaitu hasrat agar dirinya dipandang baik, diterima, dimengerti, dicintai. Dan tahukah anda? Hasrat tersebut sepenuhnya sah! Semua orang memang berhak dipandang baik, diterima, dimengerti dan dicintai, karena manusia pada dasarnya adalah baik. Pada mulanya semua orang adalah baik, dan tidak ada keinginan lain dalam dirinya selain untuk menjadi baik dan mewujudkan potensi kebaikan yang dimilikinya.

Dapatkah anda menerima itu? Bahwa anda sesungguhnya adalah baik, dan keinginan anda yang terdalam adalah untuk menjadi baik. Kalau anda sungguh percaya bahwa anda diciptakan oleh Yang Maha Baik, maka mestinya anda yakin bahwa anda pasti baik. Dan kalau saja anda sungguh mengerti bahwa anda (sudah selalu) baik, maka secara alami kebaikan dalam diri anda akan bertumbuh, sehingga anda tidak perlu mati-matian berusaha untuk menjadi lebih baik.

Usaha yang (terlalu) keras untuk menjadi lebih baik adalah suatu pengakuan bahwa anda masih menyimpan keraguan dan merasa diri tidak baik. Semakin anda berusaha untuk menjadi lebih baik, bukankah semakin buruk jadinya?

Kalau semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalamnya adalah mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya? Mengapa banyak sekali orang yang dalam perjalanan hidupnya akhirnya menyangkal dan menolak kebaikan dalam diri mereka dan menjadi "buruk?" Abraham Maslow menyebut gejala penolakan akan kebaikan diri itu the Jonah's Syndrome (sindrom Yunus). Kita mengetahui cerita Nabi Yunus, yang memilih lari dari perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan. Yunus adalah contoh ekstrem seorang manusia yang enggan dan menolak panggilan Tuhan. Ia bukan satu-satunya Nabi yang melakukan hal tersebut.

Nabi Musa pada mulanya mencoba berkelit dari panggilan Tuhan untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir karena merasa dirinya tidak pandai bicara. Nabi Yeremia, ketika dipanggil Tuhan juga merasa dirinya tidak pantas dan masih terlalu muda; dan masih banyak contoh lain. Yunus mungkin adalah contoh yang paling ekstrem. Ketika Tuhan mendekatinya, ia lari daripadanya, meskipun sebenarnya hal tersebut adalah absurd.

Seseorang tidak dapat lari dari Tuhan, karena Tuhan senantiasa ada di dalam kita dan kita senantiasa ada di dalamNya. Maka, lari dari Tuhan seperti yang dilakukan Yunus hanyalah ilusi. Yang sebenarnya dilakukannya adalah lari dari dirinya sendiri. Bukan Tuhan yang menolaknya, tapi dirinya sendirilah yang menolak diri.

Kesejatian Diri

Dan apakah sumber penolakan diri tersebut? Tidak lain daripada keabaian/ ketidaksadaran akan kesejatian diri (ignorance of the true self). Sejatinya manusia adalah kudus dan Fitri, putih bersih dan kaya akan cinta Allah. Orang Kristen menyebut bahwa manusia adalah anak Allah yang ditempatkan di Eden (Nirvana). Tidak ada penderitaan di Eden, karena di Eden manusia mengenal identitasnya yang terdalam, yaitu anak Allah.

Para pembaca yang budiman, anda ingat cerita tentang anak yang hilang? Anak bungsu yang meminta warisan dari Bapanya, pergi dan berfoya-foya menikmati segala kesenangan dunia, sampai akhirnya ia jatuh miskin dan menjadi penjaga ternak babi. Anak bungsu itu adalah simbol manusia yang melupakan identitasnya sebagai anak Allah dan memisahkan diri dari Allah.

Tidak ada kemiskinan yang lebih parah daripada kehilangan identitas diri. Dan saat si anak bungsu melupakan identitasnya yang sejati, ia menjadi yang termiskin di dunia, padahal sebenarnya ia kaya raya. Saat itu ia berpindah dari Surga ke Neraka. Neraka bukanlah suatu tempat penyiksaan yang nanti akan ditempati orang berdosa setelah mati. Neraka adalah kondisi penderitaan yang terdalam karena abai/tak sadar/lupa akan identitas sejati.

Remembrance

Maka solusi untuk mengatasi akar penderitaan manusia adalah dengan penyadaran untuk mengingat kembali identitasnya yang sejati. Ken Wilber, seorang tokoh Integral Psychology, menyebut proses penyadaran ini dengan istilah remembrance, yaitu mengingat kembali.

Yang dimaksudkannya adalah: Nirvana, Eden, pencerahan, transendensi atau apapun istilahnya, bukanlah sesuatu yang semula tiada yang kemudian ditambahkan pada diri kita, Ia sudah selalu ada sejak semula!

Pada mulanya manusia tidak miskin papa akan segala sesuatu yang paling dibutuhkannya untuk mengalami kebahagiaan sejati; sebaliknya, pada mulanya manusia sudah kaya raya dan memiliki utuh kebahagiaan sejati tersebut.

Maka Ken Wilber mengatakan proses transendensi adalah proses remembrance. Seperti anak bungsu di dalam cerita, yang di puncak penderitaannya ingat kembali pada rumah Bapanya, pada siapa dirinya sesungguhnya dan mulai berjalan pulang, maka proses "penyembuhan" akan penderitaan jiwa kita yang terdalam adalah proses penyadaran untuk mengingat kembali siapa diri kita yang sesungguhnya.

Dan saat kita memandang kembali pantulan diri kita dalam tatapan penuh kasih sang Bapa, kita akan tertegun menatap kembali wajah kita yang sesungguhnya, wajah yang sudah selalu ada sebelum segala penderitaan hidup ini dimulai. Wajah anak yang terkasih.

Iman Setiadi Arif, Dekan Fakultas Psikologi Ukrida 

Hoki

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

 

Apakah anda percaya pada nasib/peruntungan? Apakah anda masih termasuk orang yang diam-diam percaya pada ramalan nasib, feng shui, hari baik/sial? Apakah masih menghindar berkantor di lantai 13? Apakah anda masih enggan menempati rumah no 4 atau yang tusuk sate? Tidak usah khawatir atau merasa diri anda buruk, anda tidak sendiri…

Di jaman modern (bahkan postmodern!) seperti ini, memang kesannya naïf bila masih mempercayai nasib yang telah ditentukan sebelumnya. Cara berpikir seperti itu dengan mudah dituduh sebagai “ketinggalan jaman”, “tahyul”, “irasional” dan masih terperangkap dalam jaman animisme.

Buku-buku dan para peneliti psikologi modern berusaha meyakinkan kita bahwa nasib manusia berada dalam tangannya sendiri. Manusia bebas! Manusia bukan budak nasib ataupun berbagai kekuatan di luar dirinya! Manusia sendiri yang menciptakan masa depan dan peruntungan kita. Manusia sendiri yang menentukan kebahagiaan/penderitaannya di dunia. Oleh karena itu, manusia memikul sendiri tanggung jawab atas “nasib”nya. Beberapa pihak dari kubu rasional ini bahkan sampai pada titik ekstrim yang merupakan konsekuensi logis dari posisinya: Tidak ada yang lain selain manusia itu sendiri. Jangan berharap pada kekuatan di luar anda untuk menolong anda keluar dari kubangan hidup anda. Salahkan diri sendiri kalau anda gagal dan tidak bahagia dalam hidup ini…

 

Depressing freedom

Tidakkah para psikolog dan ilumuwan modern itu membuat anda tertekan? Tidakkah begitu berat tanggung jawab yang harus kita pikul menyangkut keberadaan diri kita? Dan apa anda yakin anda akan mampu membuat hidup anda bahagia? Bagaimana kalau tidak mampu? Are you sure?

Nyatanya para psikolog dan ilmuwan itu tidak terlalu berhasil dalam membuat manusia modern menjadi “lebih rasional” dan percaya diri dalam menatap masa depan. Rupanya dalam benak begitu banyak orang masih timbul penolakan akan rasionalitas dan tanggung jawab besar yang menyertainya. Terlalu mengerikan bahwa saya harus bertanggungjawab sepenuhnya akan hidup saya. Maka, bagi banyak manusia modern, ada sikap mendua dalam menyambut “pembebasan” yang dijanjikan oleh rasionalitas dan modernitas. Di satu sisi, pencarian mereka akan kesenangan  narcissistic membuat mereka merangkul berbagai kemudahan dan kebebasan yang diberikan modernitas; di sisi lain kurangnya keberanian memikul tanggung jawab membuat mereka mudah sekali mencari pelarian pada berbagai janji-janji manis tentang masa depan yang indah yang dapat diperoleh dengan mudah, untuk memuaskan segala keinginan mereka.

 

The Secret

Buku dan DVD “The Secret” adalah salah satu fenomena marketing yang luar biasa. Di Amerika sendiri buku dan DVD ini menempati posisi best seller dalam daftar buku New York Times. Buku ini dibahas oleh berbagai media dan pengarang bukunya bolak-balik diwawancarai dalam berbagai talk show ngetop seperti Larry King, Oprah Winfrey dan Ellen DeGeneres. Masyarakat Indonesia tidak kalah hot menyambutnya.

Rahasia sukses The Secret adalah dengan menggunakan (dan membelokkan) pemikiran klasik, bahwa pikiran dan hasrat manusia memiliki kuasa dan daya magnet yang sangat powerful sehingga alam semesta akan terpikat memenuhi keinginan anda – apapun itu. “The law of attraction” yang aslinya memiliki muatan spiritual, sengaja dikemas dengan fokus pada peningkatan kekayaan. Salah seorang pendukung film The Secret mengatakan bahwa mereka memang mengincar sambutan luas dari massa, dan yang menjadi nomor satu dalam benak massa adalah uang. Jadi nafas dasarnya adalah pemenuhan hasrat-hasrat pribadi dengan bungkus spiritual yang telah dibajak untuk kepentingan lain. Berbaju Roh, tetapi dalamnya Daging.

Tidak semua orang yang menyambut buku ini motivasinya adalah kekayaan. Sebagian rupanya menyambut buku ini karena adanya nuansa spiritual di dalamnya dan persamaan-persamaan dengan berbagai tradisi besar keagamaan. Sebagaimana kita ketahui berbagai tradisi keagamaan mengajarkan manusia untuk berharap, memohon dan percaya bahwa permohonannya akan dikabulkan. Persamaan itu kentara sekali dalam “The Secret” (sekalipun telah dimanipulasi dengan semangat kapitalisme). Oleh karena itu, kelompok ini menyambut gembira kehadiran buku ini karena dianggap dapat menggairahkan kembali kepercayaan orang pada kuasa doa dan permohonan. Kelompok ini prihatin pada modernitas dan rasionalitas yang sangat menekankan kebebasan, free will dan individualitas, namun tidak sungguh-sungguh memberikan solusi pada berbagai masalah konkrit manusia, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Modernitas dan rasionalitas dianggap terlalu menjadikan manusia sebagai pusat, dan mengeringkan pengharapan bagi manusia. Dalam kerinduan akan alternatif lain daripada modernitas, mereka merasa mendapatkan angin segar dalam “The Secret”.

 

Prepersonal vs. Transpersonal

Salah seorang tokoh Integral Psychology, yaitu Ken Wilber telah mengemukakan gagasan tentang perkembangan manusia. Ia mengatakan bahwa manusia berkembang dari fase Prepersonal – di mana fokusnya adalah pada Body – dengan ciri berbagai hasrat kedagingan, sifat narcissistic dan pemikiran irasional atau prerasional. Ini adalah fase immature dalam perkembangan manusia. Di fase selanjutnya manusia beralih ke fase Personal – dimana fokusnya adalah Mind  - yang dicirikan oleh rasionalitas dan individualitas seperti tampak pada gerakan modernisme. Ini adalah fase mature perkembangan manusia. Puncak perkembangan manusia adalah fase Transpersonal yang fokusnya adalah Spirit, di mana rasionalitas telah mengalami transendensi (trans/post rational) dan kebersamaan dengan sesama manusia dan alam semesta dipulihkan. Ini adalah fase “real” mature perkembangan manusia.

Dalam pandangan Ken Wilber, berbagai tradisi besar keagamaan sebenarnya mengajak manusia meninggalkan irasionalitas dan narsisisme Body (Prepersonal), dan tidak berhenti pada rasionalitas dan individualisme Mind (Personal). Keduanya tidak akan memuaskan manusia dan tidak dapat melenyapkan ketakutan dalam hati manusia. Maka di dalam hati setiap manusia selalu tersimpan kerinduan pada Spirit (Transpersonal). Namun, tentu tidak mudah meninggalkan ikatan kenyamanan dan rasa aman semu dari fase Mind yang bebas-individualistis, apalagi fase Body yang mengejar kenikmatan. Dibutuhan keberanian dan “Iman” yang besar untuk tidak terfiksasi dan meninggalkan semua itu memasuki fase Spirit.

Dalam pembahasan kita tentang fenomena terpenuhinya berbagai keinginan seperti dipopulerkan oleh The Secret; tingkat kematangan kepribadian pemohonnya sangat berperan. Bila pemohonnya berada di fase Prepersonal – dengan ciri kedagingan (Body) dan narcissism yang menonjol, maka permohonan yang dibuatnya sangat diwarnai oleh upaya memuaskan hasrat-hasrat yang sifatnya egosentris. Hal ini bersesuaian sekali seperti dikatakan oleh Sigmund Freud tentang pleasure principle. Sekalipun mungkin upaya pemenuhan hasrat itu terselubung oleh bungkus spiritual, dalam wujud doa yang khusuk, tetapi tujuan aslinya sebenarnya adalah kenikmatan daging yang egosentris. Terpenuhinya “doa-doa” semacam ini tidak membawa manfaat bagi pemohonnya, bahkan membuatnya semakin sulit melepaskan diri dari fiksasi di fase Prepersonal. Setiap terpenuhinya suatu keinginan akan membuatnya semakin haus dan menginginkan hal yang lain.

Bagi pribadi yang sudah sungguh matang – yang telah berada di fase Transpersonal – doa dan permohonannya tidak lagi dimotivasi oleh upaya pemuasan hasrat-hasrat egosentris. Individu yang sudah mengenal kesejatian diri dan mengenal Penciptanya, memilih untuk tidak lagi mengejar keinginan-keinginan pribadinya yang sempit, melainkan berupaya agar kehendak yang lebih besar, yaitu kehendak Allah yang terlaksana. Doa permohonan semacam inilah yang sungguh memiliki kuasa yang besar; yang memiliki “law of attraction” yang luar biasa. Bagi pribadi semacam ini, memang benar bahwa doa dan harapannya memiliki kuasa yang besar, bahkan mampu memindahkan gunung sekalipun; namun paradoksnya adalah ia tidak lagi menggunakannya untuk memuaskan hasrat-hasrat pribadinya, melainkan berupaya agar kehendak Allah yang terlaksana. Terpenuhinya doa permohonan semacam ini akan membawa kebaikan bagi pemohonnya dan semakin menumbuhkan kepribadiannya.

Jadi, siapakah yang sungguh-sungguh “hoki” dan berbahagia? Apakah dia yang hasrat-hasrat pribadinya terpenuhi, ataukah dia yang memohon dan melaksanakan kehendak Allah? Pembaca yang budiman, semoga kita semua mencari hal-hal yang sungguh asasi dan tidak menyibukkan diri dengan ranting dan dedaunan saja..

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta)

Diri yang tercabik


Suatu ketika, ada seorang bapak menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Yoseph (bukan nama sesungguhnya). Yoseph seorang pria berusia 30an, sudah menikah dan memiliki seorang anak. Ia sudah lama memendam masalah dalam dirinya, dan sekarang ia mencari bantuan karena merasa sudah tidak tahan akan siksaan dalam dirinya. Yoseph merasa dirinya sangat cepat marah, dan bila sedang marah ia butuh untuk menghancurkan sesuatu. Apa saja yang ada di dekatnya akan dihancurkannya sebagai pelampiasan kemarahannya. Sebenarnya ia sangat ingin untuk tidak marah, tapi bila kemarahan datang sangat sulit baginya untuk menahan diri. Ia seringkali menyesali perbuatannya bilamana kemarahan telah mereda. Yang paling disesalinya adalah seringkali ia memukul istri dan anak, saat sedang terbakar amarah. Setiap kali itu terjadi, ia akan sangat menyesal (namun tak dapat menahan diri untuk melakukan lagi). Ia beralasan bahwa seharusnya istrinya tahu apa keinginannya, tapi ternyata tidak. Yoseph juga merasa dirinya cepat lelah dan sering merasakan ketegangan di sekitar kepala dan leher.

Yoseph berasal dari keluarga broken home. Di keluarga asalnya, ibunya adalah pribadi yang jauh lebih dominan daripada ayahnya. Ibu sangat pemarah. Ibu seringkali memukuli suami dan anak-anak. Kalau sedang marah ia akan melempari suami dan anak-anaknya dengan berbagai benda, bahkan pernah suatu ketika melempari anak dengan pisau – untungnya luput. Salah satu kenangan yang diingat Yoseph adalah ketika ibunya mengamuk ia diseret di jalan berkerikil oleh ibunya, sampai badannya penuh luka. Ayah tidak pernah dapat melindungi keluarga. Bila istrinya sedang mengamuk, ia akan lari dari rumah, membiarkan anak-anak yang menjadi bulan-bulanan istrinya. Mereka akhirnya bercerai saat usia Yoseph 10 tahun. Sejak itu Yoseph dan adik-adiknya dipelihara nenek.

Bila kita menyimak cerita pak Yoseph tentang masa kecilnya, sekalipun hanya sekilas, cukup nyata bahwa masa kecilnya penuh dengan terror dan trauma kekerasan dalam keluarga. Di keluarga Yoseph, ibu yang terutama melakukan kekerasan pada anggota keluarga lain. Ayah kalah oleh ibu, dan bersama anak-anak, turut menjadi pihak yang dipukuli dan dilempari oleh ibu, bilamana ibu sedang meledak kemarahannya. Sangat jelas bahwa pengalaman akan kekerasan dan ditinggalkan, akan menimbulkan trauma bagi anak-anak. Pengalaman traumatik di masa kecil ini memiliki pengaruh yang besar pada kepribadian dan perilaku Yoseph saat ini.

 

Kekerasan yang mencabik diri

Setiap kekerasan berat pada anak dapat merusak perkembangan kepribadiannya. Kekerasan yang dialami Yoseph menjadi lebih berat dampaknya karena ibu yang melakukannya, sementara ayah tak berdaya dan tak cukup dapat melindungi. Ibu yang biasanya adalah figur loving dan nurturance, sekarang justru menjadi figur yang melakukan terror. Dalam peristilahan object relations theory, ibu adalah persecutory object. Ia adalah bad object yang menakutkan.

Saat seorang anak menghadapi kekerasan seperti ini, ia melakukan defense mechanism yang disebut identification with the aggressor. Yaitu sebagai suatu desperate effort untuk melindungi diri, anak mengubah sebagian dirinya menjadi serupa dengan sang aggressor. Yoseph menginternalisasi ibunya ke dalam dirinya. Pada saat terror terjadi, mekanisme ini berguna menjaga untuk sedapat-dapatnya menjaga keutuhan kepribadiannya; namun setelah menjadi bagian dari dirinya, efeknya menjadi lebih buruk. Sebagian ego Yoseph telah mengalami pemisahan dan menjadi serupa dengan persecutory object, yaitu ibu. Ibu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam dirinya. Maka, di dalam diri Yoseph, terror sebagaimana yang dilakukan ibu padanya di masa lalu, terus berlangsung. Hingga hari ini. Dengan kata lain, di dalam diri Yoseph terus berlangsung penyiksaan dan abuse oleh sebagian dirinya (yang serupa dengan ibu) kepada sebagian dirinya yang lain (yang serupa dengan Yoseph kecil). Dari pemeriksaan dengan teknik proyektif terlihat bahwa trauma berat di masa kecil, ternyata telah mencabik-cabik kepribadian Yoseph, sehingga saling berkonflik satu sama lain.

Ayah yang lemah dan tak dapat melindungi anak-anak – malah tampaknya cenderung menyelamatkan diri sendiri – juga memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak-anak, khususnya Yoseph sebagai anak laki-laki. Sebagai anak laki-laki, Yoseph mempunyai kebutuhan agar dapat secara alami menghormati dan mengagumi ayah. Ayah mesti tampil sebagai pribadi yang berwibawa, kuat dan menimbulkan rasa aman dan terlindungi bagi anak-anak. Ayah Yoseph gagal memberikan itu. Bukan cuma kekecewaan yang dialami oleh Yoseph melihat kelemahan ayahnya; tapi juga kegagalan dalam membentuk soothing object; yaitu kapasitas untuk menenangkan diri dan membangun rasa aman saat menghadapi kecemasan dan kesulitan dalam kehidupan. Yoseph tumbuh dewasa tanpa mampu mengembangkan kapasitas tersebut.

Oleh karena itu, kita dapat mengerti, bilamana Yoseph tersengat emosinya oleh sesuatu, kemampuannya untuk self soothing (menenangkan diri) sangat terbatas. Karena sakit hati dan trauma yang begitu besar, Yoseph berkembang menjadi pribadi yang mudah terbakar oleh kemarahan dan tidak dapat mengendalikan diri. Bila sudah terbakar kemarahan, ironisnya adalah Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, yaitu melakukan kekerasan pada istri dan anak-anaknya.

 

Akibat kekerasan pada identitas seksual

Yoseph sebagai seorang anak laki-laki, seharusnya mengidentifikasikan diri kepada ayah, sehingga menjadi laki-laki sejati. Namun, karena ayah lemah dan ibu jauh lebih “perkasa”, identifikasi ini tampaknya telah gagal terjadi dalam kepribadian Yoseph. Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, bukan hanya dalam kekerasan, tapi juga dalam hal identitas seksual. Di dalam ketidaksadarannya, jauh di dalam inti dirinya, tampaknya Yoseph tidak merasa bahwa dirinya cukup lelaki dan cukup jantan, melainkan justru merasa diri perempuan.

Sekarang kita dapat lebih mengerti lapisan lain dari perilaku kekerasan yang dilakukan Yoseph, mengapa Yoseph menjadi sangat pemarah dan agresif sehingga memukuli istri dan anaknya. Ia menjadi demikian karena sebagian dirinya serupa dengan ibunya yang juga agresif. Namun kita juga mengerti bahwa setiap kali Yoseph gelap mata saat dibakar kemarahan, bukan cuma kekerasan terhadap orang lain yang ia lakukan, melainkan di saat yang sama sebenarnya ia juga mencabik (lagi) dirinya sendiri. Setiap kali melakukan pemukulan terhadap istri atau anak, ia merasa dirinya serasa mau pecah, dan keseimbangan kepribadiannya terancam  runtuh.

Identitas laten sebagai perempuan tentunya akan memicu konflik lebih jauh lagi. Yoseph yang deep inside tidak merasa jantan, akan merasa lemah dan terus meragukan kejantanan dirinya. Ia merasa perlu membuktikan kejantanannya. Yoseph mungkin akan dapat berbuat nekad dan menantang bahaya agar dapat membungkam tuduhan dari dirinya sendiri bahwa ia kurang jantan. Ini juga adalah salah satu penyebab kenapa ia memukuli istri. Pemukulan terhadap istri adalah upaya tak sadar untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa ia lelaki.

Pembuktian kelelakian diri ini menjadi urgent bagi Yoseph, bahkan cenderung menjadi obsesi, karena ia takut sisi perempuan dalam dirinya yang lebih kuat, akan benar-benar menelan sisi lelakinya, sehingga ia sepenuhnya menjadi perempuan seperti ibunya. Inilah ketakutannya yang terbesar.

Yoseph sangat menderita karena ia berperang dengan dirinya sendiri. Ia memiliki norma-norma agama yang cukup kuat, sehingga ia tahu bahwa pemukulan terhadap istri dan anak adalah salah. Namun ia tidak dapat menahan diri dan terus melakukannya kembali. Maka Yoseph dihukum oleh rasa bersalah. Konflik terberat yang dialaminya adalah ia benci dan tidak mau menjadi seperti ibunya, tapi ia mendapati bahwa ia dalam banyak hal serupa dengan ibunya, bahkan dalam identitas seksual. Kenyataan ini yang paling mengerikan baginya.

Yoseph membutuhkan terapi mendalam dan jangka panjang untuk menyatukan lagi kepribadiannya yang tercerai berai, membangun kembali identitas – termasuk identitas seksual – yang lebih adekuat.

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta

Narsis…

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

 

Kata “Narsis” telah menjadi kosakata umum di masyarakat, khususnya kaum muda. Biasanya kata ini digunakan untuk saling ngeledek teman yang terlalu percaya diri dan terkesan cinta diri. Dalam khasanah pergaulan, tampaknya kata “Narsis” ini konotasinya tidak terlalu negatif, karena kadang-kadang seseorang menyebut dirinya sendiri “Narsis” – dengan nada sedikit bangga – untuk mengungkapkan bahwa ia seorang yang sangat percaya diri dan happy dengan dirinya sendiri. Jadi, dalam khasanah pergaulan, kata “Narsis” lebih bernada lucu daripada suatu gangguan yang benar-benar serius.

Sebagian orang yang biasa disebut “Narsis” oleh masyarakat adalah orang-orang yang sangat sukses dalam bidangnya masing-masing. Bisa saja ia seorang politisi, artist, penyanyi atau tokoh masyarakat lain. Sebagian dari mereka memang menunjukkan talenta dan prestasi yang luar biasa dalam bidang masing-masing; sehingga ada salah kaprah dalam masyarakat yang menganggap bahwa perilaku “Narsis” adalah wajar bagi orang-orang “hebat” tersebut dan bahkan mendukung atau merupakan suatu prasyarat bagi munculnya kreativitas dan prestasi yang menonjol. Sesungguhnya pandangan tersebut tidak tepat.

Dalam terminologi psikologi abnormal atau psikiatri, “Narsis” – atau lebih tepatnya: Narcissistic –adalah salah satu suatu gangguan kepribadian (personality disorder) yang berat dan tidak mudah untuk disembuhkan. Beberapa gejalanya antara lain: seseorang memandang dirinya “super” penting dan unggul; merasa sangat layak diperlakukan secara istimewa oleh orang lain; selalu membutuhkan pujian dan kekaguman orang lain; sangat berpusat pada diri sendiri dan sangat terpaku pada fantasi tentang kecantikan/kegantengan dan kehebatan diri; kurang mampu berempati pada orang lain; cenderung mengeksploitasi orang lain untuk mencapai tujuan diri; seringkali iri pada orang lain atau yakin bahwa orang lain iri padanya; bersikap arogan pada orang-orang di sekitarnya.

Seseorang dengan gangguan kepribadian Narcissistic akan mengalami gangguan yang serius dalam penyesuaian dirinya dengan orang lain, meskipun yang bersangkutan akan selalu berkelit dan mengatakan bahwa kalaupun ada relasi yang tidak harmonis dengan orang lain, itu dikarenakan orang lain iri padanya. Namun, sekalipun mereka tidak mau mengakui, sebenarnya mereka seringkali dihantui kesepian yang sangat mendalam dan perasaan depresi. Di saat-saat seperti itu mereka membutuhkan “obat mujarab” berupa sanjungan dan pengakuan orang lain akan kehebatan mereka. Harga diri mereka yang kelihatannya sangat tinggi, sesungguhnya sangat rapuh; dan mereka sebenarnya sangat sensitif dan sangat mudah terluka bilamana tidak diacuhkan ataupun sedikit saja ditolak orang lain.

 

Ilustrasi kasus

Suatu hari, seorang bapak – kita sebut saja “Gunawan” (bukan nama sesungguhnya) – menelepon saya (penulis) dan dengan halus memaksa saya untuk menerimanya konseling (pada saat itu jadwal saya sedang padat). Akhirnya kami membuat janji konseling pada waktu tertentu. Pada hari H saya menantikan kedatangannya di tempat konseling. Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya mendekati satu jam. Saya memutuskan untuk pergi karena toleransi keterlambatan sudah jauh terlewati, tanpa kabar yang jelas. Sepeninggal saya, pak Gunawan datang. Ia menjadi sangat marah ketika diberitahu oleh receptionist, bahwa konselornya sudah pergi. Ia tidak terima bahwa dirinya yang merupakan seorang pengusaha yang sukses, ditinggal pergi oleh konselor yang “tidak tahu diri”. Pak Gunawan kemudian menyuruh asistennya untuk kembali ke mobil dan mengambilkan berkas-berkas yang menunjukkan kesuksesan dan prestasi yang pernah diraihnya selama ini. Ia memaksa receptionist yang malang itu untuk mendengarkan “presentasi” nya tentang kehebatan dirinya dan betapa “tak tahu diuntung” nya konselor yang meninggalkannya. Setelah puas menunjukkan semua bukti-bukti kehebatan dirinya, barulah ia pergi meninggalkan receptionist yang kelelahan ter-terror olehnya.

 

Penyebab gangguan kepribadian Narcissistic

Dalam contoh di atas kita dapat melihat berbagai gejala gangguan kepribadian Narcissistic dengan jelas. Tampak bahwa penderita sebenarnya memiliki harga diri yang rapuh dan sangat mudah terluka atas perlakuan orang lain yang dipersepsikannya sebagai penolakan. Dan bila dianalisis lebih jauh kita akan mendapati bahwa perilaku defensif yang kerap ditunjukkannya bukan hanya merupakan perilaku yang sesekali muncul bilamana merasakan ancaman tertentu. Bilamana kita berempati pada mereka dan mencoba memahami dunia mereka, kita akan mendapati bahwa mereka selalu memandang dunia penuh ancaman, yaitu ancaman penolakan dan penghinaan pada harga dirinya. Oleh karena itu, mereka telah membentuk seluruh sistem kepribadian mereka sebagai defense (mekanisme pertahanan diri) atas ancaman-ancaman tersebut. Namun biaya yang harus ditanggung menjadi sangat mahal. Dalam proses pembentukannya, mereka telah turut mengubur dalam-dalam sebagian diri mereka yang sejati. Itulah sebabnya sesungguhnya mereka terasing dengan dirinya sendiri dan merasa sangat hampa serta kesepian.

Apa penyebab berkembangnya kepribadian Narcissistic ini? Seorang psychoanalyst bernama Heinz Kohut telah membuat suatu teori yang komprehensif tentang gangguan kepribadian ini. Menurut Kohut, sebenarnya semua orang membutuhkan suatu narcissism yang sehat. Artinya, salah satu fondasi kepribadian yang sehat dan kokoh adalah menerima dan mencintai diri sendiri secara wajar, apa adanya. Mencintai diri sendiri sering kali terlupakan karena banyak orang berpendapat bahwa hal tersebut sudah niscaya dan otomatis terjadi. Dan banyak pula yang tidak dapat membedakan mencintai diri sendiri secara wajar dan mencintai diri sendiri dengan berlebih. Sesungguhnya mencintai diri sendiri secara utuh tidak semudah yang dibayangkan. Kohut menemukan bahwa kebanyakan orang kurang sekali mencintai diri sendiri, atau hanya dapat mencintai diri sendiri secara parsial dan menolak sebagian diri yang lain. Oleh karena itu, mereka pun menjadi sulit untuk dapat menerima dan mencintai orang lain dengan utuh tanpa syarat.

Seseorang menjadi tidak dapat mencintai diri sendiri dikarenakan pernah mengalami cedera/luka pada rasa keberhargaan dirinya. Ini yang oleh Kohut disebut sebagai Narcissistic Injury. Narcissistic Injury dapat berupa penolakan atau kurangnya pengertian dan penerimaan dari orang-orang terpenting di masa kecil, yaitu orangtua. Ayah dan ibu sebenarnya memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kepribadian anak. Ibu diharapkan dapat melakukan mirroring pada anak. Mirroring adalah suatu tanggapan empatis dari ibu atas suatu kebaikan, kehebatan atau keindahan anak, sekecil apapun itu. Ibu yang tulus mengasihi anaknya akan dapat melihat kebaikan dalam diri anak dan mencerminkannya kembali pada anak. Tanpa pantulan dari ibu, anak tak akan pernah dapat menyadari bahwa ia memiliki kebaikan atau potensi tertentu. Mirroring akan membantu anak melihat dan mengenal potensi dan kebaikan dalam dirinya sendiri, sehingga membuatnya mampu mencintai diri sendiri dan mengembangkan ambisi yang sehat untuk mengembangkan diri.

Peran ayah tak kalah pentingnya. Ayah berperan penting dalam proses Idealizing oleh anaknya. Dalam proses Idealizing, anak akan mengidealisasikan ayahnya, memandang ayahnya paling hebat dibandingkan semua manusia lain, dan anak akan sangat senang kalau ia diterima dan diajak berperan serta dalam kehebatan ayahnya. Ayah yang mengasihi anaknya akan membiarkan dirinya diidealisasikan oleh anaknya, dan membiarkan anaknya mengambil bagian di dalamnya. Hal ini akan menjadi dasar pembentukan Ideals and Values dalam diri anak yang akan jadi pedoman baginya menempuh hidup kelak di masa dewasa.

Gangguan kepribadian Narcissistic adalah akibat luka berat pada rasa keberhargaan diri seseorang yang dialaminya di masa kecil. Akibat luka itu, ia tidak mengenal kebaikan dan keindahan dalam dirinya. Ia tidak dapat mencintai dirinya sendiri dan harus melindungi dirinya yang rapuh dengan membentuk kepribadian palsu yang serba grandiose. Dalam kepribadian palsu itu, ia mengembangkan ambisi yang berlebihan, gambaran diri yang fantastis dan tiada arah dan nilai-nilai yang jelas dalam menjalani hidupnya. Pribadi narcissistic yang sangat arogan dan sombong sebenarnya adalah topeng untuk menutupi kanak-kanak dalam diri yang terluka karena kurang dikasihi.

 

I believe that children are our future

Teach them well and let them lead the way

Show them all the beauties they possessed inside

Give them a sense of pride to make it easier

Let the children laughter remind us how we use to be

(The Greatest love of all, sung by Whitney Houston)

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

(Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta)

Rebel With(out) A Cause

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Bagi para penggemar film klasik, judul di atas tidaklah asing. “Rebel without a cause” adalah judul film tahun 1955 tentang krisis yang dialami oleh seorang remaja bernama Jim Stark (diperankan oleh James Dean). Peran dalam film kedua (dari hanya tiga film) yang dimainkannya ini mengukuhkan James Dean sebagai immortal cultural icon sebagai remaja pemberontak yang kesepian, dan film itu sendiri mengabadikan pandangan banyak orang bahwa masa remaja adalah masa yang bergejolak. Judul film itu mengekspresikan ketidakmengertian orang dewasa akan berbagai perubahan revolusioner yang dialami remaja.

Siapapun mungkin akan setuju bahwa masa remaja dapat menjadi masa yang paling menyenangkan dan membahagiakan sepanjang hidup. Saat orang memandang kembali masa remajanya, biasanya yang terkenang adalah kegairahan murni, persahabatan yang karib, kisah cinta termanis dan berbagai “kegilaan”/”kebodohan” yang terlalu lucu dan indah untuk dilupakan. Manusia memang cenderung untuk mengingat hal-hal yang manis dari masa lalu dan melupakan berbagai kepahitan yang ada.

Namun, bila anda kini telah menjadi orangtua yang memiliki anak remaja, maka saya meragukan bahwa anda selalu dapat turut merasakan kegembiraan dan kegairahan yang sedang mereka rasakan ataupun pergolakan yang sedang mereka gumuli (Aneh bukan? Padahal anda pun dahulu remaja, yang mungkin lebih “gila” daripada mereka). Kecenderungan orangtua sepanjang masa adalah memandang dengan hati kebat-kebit perilaku anak remaja mereka dan heran mengapa anak mereka dapat berperilaku “sebodoh” itu. Nah.. Neuroscience modern dapat memberi petunjuk darimana “kebodohan/kegilaan” itu berasal. It’s not happened without a cause..

 

Otak remaja

Bea Luna, seorang neuroscientist dari University of Pittsburgh Medical Center di Pennsylvania mengatakan bahwa sekalipun seorang remaja kelihatannya dapat berperilaku seperti orang dewasa, sebenarnya secara kognitif mereka belum mencapai kematangan itu. Di usia sekitar 12 tahun, otak seorang anak telah memiliki ukuran dan berat seperti orang dewasa, tetapi studi yang lebih cermat dengan menggunakan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa ada perbedaan besar di antara keduanya. Pada otak remaja, beberapa area penting berikut ini masih berada di awal perkembangannya; yaitu area Prefrontal Cortex dan Basal Ganglia yang penting untuk mengorganisir informasi, meletakkan situasi dalam konteks, menetapkan prioritas, menyusun strategi dan mengendalikan dorongan. Fungsi-fungsi otak untuk berempati dan beradaptasi dengan lingkungan sosial juga masih akan terus berkembang sampai mencapai kematangannya di usia 20an.

Neuroscientist seperti Bea Luna sekarang terus makin memahami bahwa otak remaja sedang mengalami suatu perubahan besar yang mungkin menyebabkan mereka rentan untuk berperilaku yang beresiko, haus akan berbagai pengalaman baru dan kurang dapat menahan dorongan sehingga seringkali melakukan hal yang akan mereka sesali kemudian.

Perilaku senang berdebat dan ngotot, berpusat pada diri sendiri, selalu menemukan kesalahan dalam diri orangtua dan cenderung mendramatisir segala sesuatu adalah beberapa fenomena perilaku yang kerap ditemui pada seorang remaja; dan hal-hal itu pun terkait dengan perubahan dramatis yang sedang terjadi pada otak mereka. Di usia sekitar 10-19 tahun, seorang remaja baru saja memperoleh kemampuan untuk berpikir abstrak yang membuatnya dapat mengambil jarak dengan berbagai situasi dan juga dengan dirinya sendiri. Sementara itu kemampuannya untuk menganalisa situasi dengan logis, kemampuan untuk berpikir realistik masih sedang berkembang dan tidak selalu berfungsi dengan sempurna. Hal itu membuatnya dapat memikirkan tidak hanya hal aktual yang sedang terjadi, melainkan berbagai kemungkinan lain – baik itu realistis ataupun tidak – yang mungkin terjadi. Hal ini mengakibatkan anak remaja dapat dipenuhi oleh berbagai pemikiran yang menggairahkannya dan sekaligus menakutkannya.

 

Use it or loose it

Fenomena lain yang tak kalah menariknya yang ditemukan oleh neuroscience adalah bahwa masa remaja adalah masa kritis dalam perkembangan talenta dan kompetensi yang akan menetap sepanjang hidup. Masa remaja adalah masa di mana terjadi synaptic pruning – yaitu proses penghapusan koneksi saraf yang berlebihan dan tak diperlukan.

Sebagaimana kita ketahui, di usia awal kanak-kanak otak berkembang dengan sangat pesat dan di masa itu otak dapat menyerap sangat banyak informasi – tanpa disaring terlebih dahulu. Seorang anak dapat mempelajari banyak hal yang diajarkan kepadanya tanpa mengerti apa manfaatnya. Ia melakukannya hanya karena senang dapat melakukannya atau karena senang dapat menyenangkan orangtuanya. Setiap informasi dan keterampilan yang dipelajari di masa kanak-kanak membekas dalam otak berupa koneksi saraf yang berlimpah.

Di masa remaja terjadi seleksi alam atas berbagai koneksi saraf tersebut. Prinsipnya adalah use it or loose it; yang berarti sesuatu yang kau gunakan dengan teratur akan kau pertahankan, tapi sesuatu yang tak kau gunakan akan hilang. Contoh: seseorang yang di masa kanak-kanak menunjukkan bakat yang sangat menonjol dalam menggambar, dapat kehilangan bakat tersebut bilamana di masa remaja ia tak pernah mendapat kesempatan untuk mengasah bakat tersebut. Sebaliknya seorang remaja yang terus mendapatkan bimbingan dan kesempatan bereksplorasi dalam mengejar bakatnya akan mempertahankan dan mengembangkan bakat tersebut. Dengan pemahaman baru dari neuroscience ini, masa remaja dipandang sebagai jendela kedua dalam perkembangan otak dan perkembangan talenta seseorang. Saat jendela ini terbuka, pengaruh dari lingkungan, orangtua, guru, teman sebaya dan media akan sangat mempengaruhi hal-hal apa yang akan tertanam – atau yang akan hilang – dari remaja itu. Kalau jendela ini sudah tertutup, maka mengubahnya mungkin dapat dikatakan mustahil atau setidaknya tidak lagi terlalu berhasil.

Penemuan di atas memiliki konsekuensi yang besar dalam pandangan kita akan pentingnya pendidikan dan pemekaran bakat-bakat remaja. Tidak hanya masa kanak-kanak yang sangat penting, melainkan juga masa remaja. Percuma kalau orangtua hanya memberikan stimulasi yang kaya pada masa kanak-kanak, karena tanpa pengembangan lebih lanjut di masa remaja berbagai hal yang dengan susah payah ditanamkan tersebut akan hilang. Orangtua, guru dan semua pihak yang memiliki kepedulian pada perkembangan remaja sudah seharusnya membantu remaja menemukan diri mereka sendiri, dan bukan menjadikan mereka seperti gambaran yang kita inginkan. Remaja perlu menemukan berbagai kekuatan yang tersimpan dalam diri mereka, mengasahnya dan dengan demikian memberikan sumbangsih pada dunia. Maka masa remaja akan menjadi masa yang sungguh-sungguh membahagiakan.

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta