Senin, 22 Februari 2010

Mencegah kembalinya sang Nestapa

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Depresi bukanlah istilah yang asing bagi masyarakat kita, sekalipun rupanya bagi kaum awam, pengertian depresi itu sendiri masih simpang siur. Istilah “depresi”seringkali campur baur dengan istilan “stress” dan keduanya dijadikan istilah generik untuk menyebut semua gangguan mental yang biasanya diakibatkan suatu peristiwa negatif besar dalam kehidupan seseorang. Misalnya, bila kita melihat tetangga kita bunuh diri karena mengalami kebangkrutan, maka tetangga tersebut akan disebut mengalami depresi. Begitu pun bila kita mendengar seorang artis yang mengamuk dan menyerang orang lain karena persoalan berat yang sedang menimpanya, kita juga menyebutnya depresi. Seseorang yang bicara dan tertawa-tawa sendiri serta menunjukkan perilaku ganjil, tak jarang pula disebut depresi oleh kalangan awam.

Mengingat kesimpangsiuran tersebut, pertama-tama penulis ingin sedikit meluruskan pengertian depresi. Depresi (atau istilah resminya adalah Major Depression Disorder) adalah suatu gangguan mental berat yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: merasakan suasana hati yang sangat sedih, perasaan tak berharga, rasa bersalah, penarikan diri dari orang lain, serta sangat berkurangnya tidur, selera, hasrat seksual, serta minat dan kesenangan dalam berbagai aktivitas yang biasanya dapat dinikmati. Seringkali penderitanya mengalami gangguan tidur, merasa mudah lelah, sulit berkonsentrasi, serta mengalami penurunan berat badan. Tidak jarang hal ini disertai pemikiran akan kematian dan ide atau bahkan percobaan bunuh diri. Hal ini biasanya akan dialami oleh penderita hampir sepanjang hari, dalam waktu dua minggu atau lebih. Bila ditulis dengan lebih puitis, maka kita bisa menyebut depresi sebagai suatu maha-nestapa atau maha-nelangsa.

Sedikit nestapa dan nelangsa sebenarnya wajar dan akan dialami oleh semua orang. Bahkan tak jarang nelangsa adalah bumbu yang nikmat dalam suatu percintaan romantis. The blues is a frequent visitor to our heart. Namun bila suasana hati tersebut berlangsung terus menerus dalam intensitas yang memprihatinkan, tanpa kendali dari orang yang mengalaminya, maka yang bersangkutan sudah memerlukan bantuan profesional untuk mengatasinya. Bila depresi telah menjadi berat, akibat yang ditimbulkannya menjadi sangat memprihatinkan. Seseorang akan kehikangan karsa dan daya cipta yang biasa dimiliki, kehilangan segala kesenangan yang biasanya ditemuinya dalam hidup ini, membenci diri dan bahkan sampai ingin mengakhiri hidup ini yang dirasakan begitu pilu dan suram. Kerugian tak hanya dialami oleh penderita, melainkan juga oleh keluarga dan semua pihak dengan siapa penderita menjalin relasi. Keluarga ataupun rekan dari penderita depresi tak jarang turut tersayat hatinya melihat penderitaan yang sedang mengganduli orang terkasih mereka. Dunia industri sangat dirugikan karena hilangnya produktivitas dan kreativitas dari pekerja-pekerja mereka yang sedang didera depresi.

Depresi mempengaruhi sejumlah besar insan dari populasi yang ada. Sebuah survey di Australia mengemukakan bahwa 25% dari jumlah penduduk, akan mengalami suatu episode depresi dalam suatu saat kehidupan mereka. Artinya satu dari tiap empat penduduk memiliki kemungkinan untuk terkena depresi dalam suatu saat dalam hidup mereka. Dan yang lebih memprihatinkan adalah depresi ternyata memiliki kemungkinan yang besar untuk datang kembali. Bila seseorang telah pernah mengalami serangan depresi, maka kemungkinannya untuk terkena kembali serangan yang sama meningkat menjadi 50%. Bila ia telah dua kali mengalami serangan depresi, kemungkinan kambuh menanjak menjadi 70% dan bila telah tiga kali serangan, maka probabilitasnya meroket menjadi 90%. Tak hanya itu, setiap serangan tampaknya memperburuk kondisi mental dan otak yang bersangkutan. Seseorang menjadi makin lemah dan rentan mengalami serangan berikut. Penelitian membuktikan bahwa kebanyakan orang mengalami depresi bilamana mengalami peristiwa negatif besar yang merampas sesuatu yang berharga dan bermakna dalam hidup mereka. Namun bila seseorang telah lebih dari dua kali mengalami depresi, maka tak dibutuhkan peristiwa negatif apapun untuk memicu kembalinya depresi. Depresi dapat datang kembali cukup dipicu oleh pemikiran negatif dan irasional saat menanggapi suatu singgungan kecil saja dalam kehidupan sehari-hari.

Pengobatan yang dianjurkan untuk mengatasi depresi adalah meminum obat-obatan antidepressant yang akan diresepkan psikiater. Terdapat aneka jenis obat antidepressant dan umumnya mereka cukup efektif untuk menghilangkan gejala-gejala depresi. Namun rupanya hilangnya gejala tidak berarti kesembuhan total. Depresi memiliki kompleksitas yang rumit, tidak sesederhana menyembuhkan pilek dengan meminum obat flu. Seseorang yang mengkonsumsi obat antidepressant saja tidak akan belajar keterampilan yang dibutuhkannya untuk dapat mengatasi berbagai masalah dan emosi yang tak terhindarkan dalam kehidupan ini. Sampai dekade yang lalu, cara satu-satunya untuk mencegah kembalinya depresi adalah dengan terus menerus mengkonsumsi obat antidepressant. Sehingga populer di dekade lalu bahwa mengalami depresi adalah seperti menderita kencing manis. Sekali anda kena, maka seumur hidup anda harus mengkonsumsi obat yang terkait dengannya.

Harapan baru mulai terbit di ufuk. Tiga serangkai Zindel Segal dari University of Toronto, Mark Williams dari Oxford University dan John Teasdale dari Cambridge University bekerja sama mengembangkan suatu metode psikoterapi baru dengan menggali sumber kebijaksanaan kuno dari Timur. Mereka menyebut pendekatan mereka MBCT (Mindfulness-Based Cognitive Therapy). Pendekatan ini terinsipirasi oleh pendekatan serupa yang terbukti sukses mengurangi berbagai masalah psikologis dan kesehatan yang disebabkan oleh stress, yaitu pendekatan MBSR (Mindfulness-Based Stress Reduction) yang dikembangkan oleh Jon Kabat-Zinn dari University of Massachusetts Medical School. Inti dari pendekatan MBCT dan MBSR terletak pada kata “mindfulness”.
Mindfulness sebagaimana didefinisikan oleh Jon Kabat-Zinn, adalah suatu pemberian perhatian penuh yang dilakukan dengan niat, pada apapun yang dialami saat ini, dari waktu ke waktu, tanpa menilai/menghakimi dan tanpa mengikuti kecenderungan untuk melekat pada sesuatu yang disukai atau menghindari sesuatu yang tak disukai. Dengan kata lain, mindfulness adalah suatu cara mengada, di mana seseorang memperhatikan apapun yang sedang dialaminya saat ini, baik sesuatu yang sedang melintas di pikiran, sesuatu yang sedang berkecamuk perasaan ataupun sensasi yang sedang dirasakan oleh tubuh, dan membiarkan segala sesuatu apa adanya, tanpa hanyut ke dalamnya atau lari daripadanya.

Metode ini tampak begitu simpel dan remeh, namun berbagai penelitian ilmiah telah menyingkapkan potensinya yang dahsyat. Saat seseorang mindful (memberi perhatian penuh – alias sati dalam bahasa Sanskrit), ia menjadi terbuka pada pengalaman apapun yang dialaminya, baik itu manis ataupun pahit. Pengalaman-pengalaman itu akan diperlakukannya sebagai tamu yang singgah dan pergi, silih berganti, dan akan dijamunya dengan sama hangatnya sepanjang persinggahan tersebut. Maka pengalaman pahit tak ditolak, namun tak akan menjadi penghuni tetap; pengalaman manis pun dibiarkan pergi, tak dipaksa menjadi tawanan. Sebaliknya bila seseorang mindless, maka pengalaman pahit akan menetap dan dilipatgandakan oleh keruwetan berpikirnya, sedangkan pengalaman manis akan ditangisi bila pergi; yang mana ujungnya tak lain daripada penderitaan yang berkepanjangan.

MBCT terbukti efektif mencegah kembalinya sang nestapa yang bernama depresi, karena ia bekerja di akar dan jantung persoalan, yaitu pikiran manusia itu sendiri. Pemicu depresi dan kambuhnya tak lain daripada kebiasaan berpikir yang disebut rumination. Rumination adalah suatu kesesatan berpikir di mana seseorang memperumit dan memperuwet suatu peristiwa sederhana, sehingga menjadi bencana yang besar. Contoh: bagi orang yang sudah depresi, sedikit kegagalan dalam melakukan tugas sederhana, seringkali akan disusul oleh pemikiran bahwa dirinya adalah pecundang, tak berharga, hanya bisa menyusahkan orang lain, dan berbagai kritik diri yang kejam lainnya. Karena keruwetan itulah, ia merasa bahwa dirinya, orang lain dan masa depan tak terkira suramnya. MBCT mengikis tuntas akar masalah ini. Seseorang yang telah terlatih, menjadi mampu melihat realitas apa adanya, tanpa dibumbui keruwetan pikiran, serta membiarkan segala sesuatu berlalu sesuai masanya.

Tulisan singkat ini tentu tak mampu menceritakan kompleksitas masalah dan terapinya secara memadai. Tapi kiranya mampu memercikkan setitik cahaya saja, yang memicu pencarian aktif lebih lanjut dari para pembaca. Kutipan sebuah puisi dari Jalaluddin Rumi, kiranya dapat menyampaikan esensi dari mindfulness dengan lebih mengena daripada tulisan sederhana ini:

This being human is a guest house.
Every morning a new arrival.
A joy, a depression, a meanness,
some momentary awareness comes
as an unexpected visitor.
Welcome and entertain them all !
Even if they're a crowd of sorrows,
who violently sweep your house
empty of its furniture,
still, treat each guest honorably.
He may be clearing you out
for some new delight.
The dark thought, the shame , the malice,
meet them at the door laughing,
and invite them in.
Be grateful for whoever comes,
because each has been sent
as a guide from beyond.

Merindu

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Di penghujung tahun 2009 ini bukan hanya cuaca Jakarta yang tak menentu, kadang begitu panas menyengat, disusul dengan hujan lebat dan banjir; seolah mengisyaratkan petaka dan membenarkan keyakinan sebagian orang akan datangnya kiamat di tahun 2012. Senada dengan bergolaknya alam, cuaca batin kita pun tengah diombang-ambingkan berbagai ketidakpastian, kekhawatiran dan ketakutan. Gonjang ganjing jagad eksternal yang tengah menaungi bangsa Indonesia – terutama kasus mafia peradilan dan bank Century – seperti menambah rentetan masalah yang menggayuti bangsa ini, bagaikan awal tebal yang menghalangi terbitnya cahaya pengharapan yang begitu dinantikan. Para elite menghirup bau busuk yang terkuak dan menjadi bangkit seleranya akan darah, dan tanpa memandang kotoran yang melekat di wajah sendiri, menjadikan situasi ini suatu kesempatan untuk membinasakan lawan yang dibenci. Rakyat jelata yang terlalu lama memikul beban berat, kian oleng dan tersengal-sengal menyaksikan permainan libidinal yang dipertontonkan dengan telanjang di hadapan mereka.
Seperti byar-pet nya listrik PLN, asa tiap insan di bumi Nusantara ini tengah meredup. Atmosphere kelabu yang membayangi seolah menindih berat-berat jagad batin kita, yang masih trauma setelah tertimpa berbagai bencana dan krisis. Memanasnya kawah Chandra Dimuka politik, sosial dan ekonomi, telah menanduskan pula hati kita. Kita menjadi apatis, pesimis dan sinis. Dalam kondisi ini, kita tergoda untuk menjadi bengis dan pemangsa sesama dengan moto SDM (Selamatkan diri masing-masing). Kerak di mata batin kita menebal dan kita mencari berbagai candu yang dapat melipur sedikit lara dan membawa kita pada sorga yang maya. Kita jadi gemar akan hantu-hantu dan teriakan histeris di televisi. Kita mau lari melupakan kenyataan pahit di dunia nyata dan mengubur diri dengan berbagai hiburan semu.
Nun jauh di lubuk hati kita, tersisa rindu. Rindu yang menyakitkan karena begitu lama tak tergugu. Rindu yang coba kita matikan, karena menjadi pengganggu kebahagiaan semu yang ingin kita aku. Rindu yang kita cemooh sebagai fantasi infantil dan tahyul masa lalu. Namun rindu itu pula yang menyisakan denyut di hati kita dan menghalanginya membatu. Rindu yang saya maksud adalah rindu akan datangnya pembaruan, yang menjadikan langit, bumi dan hati manusia yang baru. Rindu akan cahaya yang bersinar di kalbu, mengusir segala kegelapannya. Rindu akan air hidup yang memuaskan dahaga jiwa. Karena lubuk hati kita tahu, bahwa solusi akhir atas segala permasalahan di muka bumi ini bukanlah melalui revolusi. Penguasa yang tiran dapat digulingkan dan digantikan oleh penguasa baru, yang kelak menjadi tiran pula. Kemiskinan dapat dihilangkan di suatu belahan bumi, hanya untuk memindahkannya ke belahan bumi yang lain. Suatu penyakit dapat disembuhkan untuk digantikan dengan penyakit lain yang kelak membawa kita ke peti mati. Kerinduan dalam hati kita bukanlah pada solusi sementara yang menambal compang camping kemanusiaan kita dengan mengambil sobekan kain dari baju rombeng yang sama. Karena tidak ada yang sungguh baru di muka bumi ini dan segala sesuatu adalah sia-sia, sehingga hati kita jadi kelu. Kerinduan di hati kita adalah untuk kembali menjadi diri kita yang sejati sebagaimana tujuan asli kita diciptakan; dan hati kita tak mau yang kurang daripada itu. Di lubuk hati kita tahu bahwa kebahagiaan dan pembebasan merupakan harga mati dan hak waris sah kita yang sejati. Sampai hari itu tiba, kita semua mengerang kesakitan bagaikan perempuan yang hendak bersalin; dan kita menunggu untuk dilahirkan kembali.
Dan simbol apakah kiranya yang lebih baik untuk menggambarkan tanda akan datangnya pembaruan yang kita nantikan itu daripada simbol kelahiran seorang anak. Mata batin kita mengenal suatu tanda, suatu simbol yang menandakan datangnya pembaruan itu. Lahirnya seorang anak membawa hidup baru ke dunia ini, dan setiap kelahiran berarti harapan dan keberlangsungan hidup itu sendiri. Semua orangtua terhibur melihat lahirnya putera-puteri mereka, karena mereka tahu, sekalipun mereka akan mati, tetapi hidup berlangsung terus, dan keberadaan mereka terpelihara dalam diri keturunan mereka. Anak juga merupakan simbol kesucian, seperti metaphor yang kita lihat di cerita Peter Pan: Orang dewasa yang telah dikotori oleh banyak kekhawatiran, ketakutan, kebencian dan sakit hati sudah tidak dapat lagi melihat bidadari dan lupa cara untuk terbang masuk Neverland; hanya anak yang hatinya masih murni yang mampu. Karena hanya seorang yang menjadi anak dalam batinnya, yang dapat melihat tanah air sorgawi.
Hari Minggu ini umat Kristiani mulai memasuki masa Advent, yaitu menantikan kelahiran kanak-kanak Yesus. Yang kita rindukan, yang tak tergapai oleh segala usaha tapa brata dan berbagai laku penyucian diri, kini datang sendiri secara pribadi, hendak memberi diri bagi hati yang sungguh merindu. Sesuatu yang indah dan begitu lembut bersahaja sedang datang kepada kita. Sedemikian lembut, tanpa perbantahan, teriakan ataupun drama, sehingga begitu mudah luput dari perhatian kita. Tidak mudah untuk menyambut kehadirannya di hati, karena hati mesti hening dan bening untuk dapat mengenalnya. Di tengah kosmetika dan komersialisasi Natal yang begitu gencar mengepung kita, tidak mudah memelihara rasa rindu, agar tidak berpaling pada pemuasan semu yang merayu. Hati mesti kembali menjadi rumah doa dan segala kericuhan para pedagang dan penukar uang, mesti diusir pergi. Baru dengan demikian bintang Timur dapat terlihat lagi, dan menunjukkan bahwa kekasih yang dinanti sudah selalu berdiri di depan pintu dan mengetuk, dan segala dahaga dan rindu di hati akan terpuaskan. Selamat memasuki masa Advent, semoga bertemu dengan kekasih yang dirindu.

IMAN SETIADI ARIF
DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA – JAKARTA