Jumat, 13 Februari 2009

Apa sih hebatnya cinta?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Hari ini adalah hari Minggu Cinta, apakah anda menyadarinya? Yup, karena kemarin adalah 14 Februari, yang dirayakan oleh kaum muda sedunia (khususnya yang sudah terimbas budaya Barat) sebagai hari Cinta. Kalau anda adalah seorang remaja, apalagi ABG, mestinya saat ini anda masih sedang tersenyum-senyum sendiri (gila dong??) membayangkan romantic dinner tadi malam dengan si dia, lengkap dengan candle light dan alunan musik yang syahdu. Atau kalau anda adalah seorang jomblo kronis, dengan berbagai komplikasi stadium 4 seperti bokek, dan jerawatan, mungkin kemarin adalah hari siksaan dari neraka yang  membuat anda ingin melompat dari gedung tertinggi di Jakarta (tapi kalau anda benar seorang ABG, mestinya anda tidak akan membaca tulisan di koran ini yang kebanyakan pembacanya sudah (jauh..) melampaui usia ABG.. J). Well, karena saya yakin kebanyakan pembaca koran ini bukan Anak Baru Gede melainkan Angkatan Babe Gue, maka kita bisa melewati bagian-bagian yang romantis, konyol namun menggemaskan tentang cinta – bukan karena orang tua tidak lagi peduli ataupun membutuhkan cinta romantis, bahkan beberapa orang tua masih sangat romantis dan itu sangat baik – melainkan karena orang tua mestinya sudah melihat sisi lain dari cinta, bukan sekedar romantisme, dan karenanya mencari makna yang lebih dalam dari cinta. Tulisan ini tidak berambisi menjawab apa makna yang terdalam dari cinta (terlalu dalem man… J) melainkan sekedar mencoba merenung dengan sederhana, karena bagaimana pun juga it’s simply the truth that nobody can truly live without love

Sebagai psikolog, ijinkan saya kembali menggunakan teori-teori psikologi andalan saya (habis modalnya cuman itu sehJ). Tetapi saya tidak akan menggunakan teori-teori standard tentang cinta, seperti dari Sternberg ataupun Fromm, melainkan dari tokoh yang mungkin kurang terkenal bagi kebanyakan psikolog sekalipun, yang bernama Ronald Fairbairn. Ia adalah seorang psychoanalyst jadul dari Inggris yang bersusah payah mencoba menggambarkan kehidupan subjektif individu, terutama yang tidak sadar, dan the deep structure of personality yang terkait erat dengan relasi interpersonal antar manusia. Fairbairn adalah seorang pemikir kelas berat yang karya-karyanya njlimet dan tidak gampang untuk dibaca, sehingga juga tidak populer. Nah, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh bapak yang serius ini tentang cinta? Ijinkan saya mencoba menafsirkan dan menyajikannya dengan sederhana.

Sebenarnya Fairbairn tidak pernah menulis langsung tentang cinta, suatu topik yang kesannya remaja banget, namun dalam pergumulannya untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman kepribadian, ia tidak bisa tidak menyinggung-nyinggung tentang cinta. Dalam pandangan Fairbairn, cinta itu sangat sederhana dan sangat mendasar. Cinta tidak lain adalah daya gravitasi yang menggerakkan semesta relasi interpersonal – dan kemudian juga intrapsikis. Seperti halnya daya gravitasi yang menurut Newton sangat krusial dalam pergerakan alam semesta ini, cinta adalah gaya tarik yang menggerakkan seseorang untuk mendekat dan menyatu dengan objek cintanya. That’s it, itulah cinta menurut Fairbairn. Meskipun kelihatannya sangat sederhana, namun dampaknya sangat mendasar dan menentukan dalam kelangsungan eksistensi seseorang dan kesehatan mentalnya. Fairbairn tidak bicara pertama-tama tentang cinta romantis antar kekasih, melainkan tentang relasi interpersonal yang paling dasar dan yang paling pertama dijalani oleh semua manusia, yaitu relasi antara seorang anak dan ibunya, yang menjadi dasar bagi seluruh relasi lain yang akan dibinanya di kemudian hari, dan juga dasar bagi relasi antara seseorang dengan dirinya sendiri – yaitu apakah ia akan mampu menerima dan mencintai dirinya sendiri.

Dalam literatur psikoanalisa, tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta antara seorang anak dan ibunya. Kalau anda pernah menonton film karya Steven Spielberg yang berjudul Artificial Intelligence (2001), di sana digambarkan dengan sangat baik bagaimana seorang anak akan jatuh cinta pada manusia pertama yang ditemuinya, yaitu ibunya; dan seluruh hidupnya dan tindakannya selanjutnya digerakkan oleh keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh ibunya. Kita ingat bahwa salah satu fondasi dasar teori Sigmund Freud adalah tentang Oedipus Complex, yaitu cinta yang kekanak-kanakan dan membuta dari seorang anak pada ibunya, yang membuatnya ingin menyingkirkan ayahnya. Teori Fairbairn berbeda dari teori Freud yang dasarnya adalah psikoseksual. Fairbairn dan rekan-rekannya dari aliran Object relations memandang bahwa insting yang paling dasar dalam diri manusia, yang menjadi motivator dan penggerak utama segala perilakunya, bukanlah seksualitas seperti dikatakan oleh Freud, melainkan kebutuhan untuk terhubung dan menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini nampak sekali pada relasi pertama yang dijalin manusia antara dirinya dan ibunya.

Apa fungsi cinta ini? Cinta adalah salah satu dari dua emosi dasar manusia yang mengikat dirinya dengan orang lain (Emosi dasar lain adalah takut (anxiety), yaitu takut ditolak, yang kemudian biasanya berwujud kemarahan, kebencian dan agresivitas, serta menggerakkan seseorang menjauh dari objek cintanya).  Love and hate/fear yang terjalin antara dua pribadi mengikat keduanya menjadi satu, menggerakkan mereka dalam tarian abadi mendekat-menjauh dari waktu ke waktu, bagaikan dua penari tango. Dan dampak penting dari “tarian” ini adalah: drama relasi ini tidak hanya dihidupkan di luar, melainkan akan diinternalisasikan ke dalam diri menjadi kepribadian kita. Kepribadian kita tidak lain adalah jejak langkah dan cermin dari relasi-relasi yang kita jalani sepanjang hidup kita.

Kalau seseorang banyak mengalami luka batin dan penolakan dalam relasi-relasi yang dijalaninya, terutama relasi-relasi primer dengan orangtuanya, tidak hanya hal ini akan melukai rasa keberhargaan dirinya, namun yang paling penting hal ini akan membuatnya tak mampu mencintai dirinya sendiri dan jadi terasing dengan dirinya yang sejati. Jadi…apa hebatnya cinta? Tanpa cinta – baik itu kemampuan mencintai diri sendiri, ataupun mencintai orang lain – maka tali pengikat yang menyatukan dirinya untuk tetap utuh, dan yang mengikatnya dengan orang lain akan terputus, dan seseorang akan melayang-layang dalam ruang hampa tanpa makna. Maka hidup tidak akan lagi punya rasa dan tanpa disadari seseorang sudah mati meskipun masih bernafas.

Saya akhiri tulisan singkat ini dengan suatu kutipan puisi dari Derek Walcott yang berjudul Love after love. Puisi ini akan mengatakan jauh lebih banyak daripada semua yang dapat saya tulis. Happy Valentine everyone…

The time will come 
when, with elation 
you will greet yourself arriving 
at your own door, in your own mirror 
and each will smile at the other's welcome, 

and say, sit here. Eat. 
You will love again the stranger who was your self.
Give wine. Give bread. Give back your heart 
to itself, to the stranger who has loved you 

all your life, whom you ignored 
for another, who knows you by heart. 
Take down the love letters from the bookshelf, 

the photographs, the desperate notes, 
peel your own image from the mirror. 
Sit. Feast on your life.