Kamis, 11 Desember 2008

Berbelaskasihlah dan jadikan otakmu lebih baik

Tulisan pernah dimuat di Suara Pembaruan


Judul di atas dapat dimaknai secara harafiah, demikan yang dibuktikan melalui studi Richard Davidson, Ph.D dari Universitas Wisconsin-Madison. Ia dan rekan-rekannya dari Waisman Center for Brain Imaging telah belasan tahun melakukan penelitian tentang kaitan antara emosi, latihan mental dan plastisitas otak. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana latihan mental tertentu – khususnya meditasi – dapat mengubah otak manusia, menjadikannya lebih mampu memusatkan perhatian, lebih dapat berempati, lebih banyak mengalami emosi positif dan mengurangi emosi negatif. Dengan kata lain penelitian Davidson memberikan harapan akan suatu pendekatan Ilmiah yang sahih yang dapat menjadikan manusia lebih baik dan karenanya menjadi lebih bahagia.

Inti dari studi tersebut adalah mengenai Neuroplasticity – yaitu bahwa otak kita bersifat plastis, dapat terus berkembang sepanjang usia. Setelah sekitar 100 tahun sebelumnya diyakini bahwa otak kita tidak dapat berubah setelah mencapai usia dewasa, sekarang telah hadir fajar baru dalam dunia Neuroscience yang bertajuk Neuroplasticity. Definisi neuroplasticity adalah kemampuan otak manusia untuk menata diri kembali secara fisik dalam menanggapi stimulus eksternal. Dalam bahasa yang lebih sederhana: otak kita dapat berubah! Ia tidak kaku dan berhenti berkembang, melainkan bersifat lentur (plastic) dan dapat diubah sejalan pengalaman-pengalaman yang kita jalani. Makin sering suatu pengalaman diulang, maka makin kuat sirkuit otak yang berperan dalam aktivitas tersebut. Jadi, seorang pemain biola yang terus menerus berlatih memainkan biola, akan memperkuat sirkuit musik di otaknya dan dengan demikian menjadikan otaknya berbeda dengan otak orang lain yang bukan musisi. Mungkin hal ini dapat menjelaskan pula mengapa otak Albert Einstein di bagian lobus parietal (yang berperan penting untuk pemikiran matematis, kognisi visuospatial dan pencitraan gerak) lebih besar 15% daripada otak manusia lain pada umumnya. Mungkin, bukan terutama karena Einstein dilahirkan berbeda daripada orang lain, melainkan karena seumur hidupnya ia melatih diri di bidang kecintaannya, yaitu Fisika dan Matematika.

Kembali ke topik belas kasih di atas; Davidson melakukan studinya dengan cara menggunakan teknologi neuroscience mutakhir seperti fMRI, PET dan EEG yang memungkinkan pengamatan yang lebih lengkap, secara langsung saat otak melakukan aktivitas tertentu. Untuk meneliti tentang dampak meditasi belas kasih pada otak manusia, Ia membandingkan pengamatan pada dua kelompok penelitian; kelompok satu adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam meditasi dan kelompok dua adalah orang-orang yang belum pernah melakukan meditasi. Mereka diukur aliran darahnya di otak saat mendengarkan suara-suara tertentu yang memiliki konotasi emosi positif dan negatif.

Saat orang-orang yang pakar meditasi mulai bermeditasi tentang belas kasih, daerah di otak yang disebut insula segera menjadi aktif ketika mereka mendengar suara perempuan yang minta tolong. Insula adalah adalah daerah di otak yang terasosiasi dengan kemampuan merasakan emosi secara visceral, dan hal ini merupakan kunci untuk dapat berempati pada orang lain. Dan ketika para pakar meditasi ini mendengar jeritan perempuan tersebut, atau suara bayi tertawa, otak mereka menunjukkan lebih banyak aktivitas di batas temu kanan lobus parietal-temporal, yang berperanan dalam memahami emosi orang lain. Hal-hal semacam ini jauh lebih sedikit tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi.

Untuk melihat tentang perbedaan emosi positif dan negatif pada orang-orang yang terlatih bermeditasi dan yang tidak, Davidson memberikan stimulus berupa film pendek yang sangat menggugah kesedihan; dan di saat yang sama ia mengamati aktivitas otak subjek-subjeknya. Dengan teknik yang sama ia memberikan stimulus yang sangat menggugah kegembiraan dan suka cita, dilanjutkan dengan pengamatan yang sama. Hasilnya cukup jelas. Orang-orang yang sedang merasakan emosi positif, menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kiri; sementara orang-orang yang mengalami distress dan kesedihan akan menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan. Bagaimana kaitannya dengan meditasi belas kasih? Orang-orang yang sedang bermeditasi belas kasih menunjukkan aktivitas yang nyata di prefrontal cortex kiri dan sangat sedikit di prefrontal cortex kanan. Hal ini berarti mereka lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif. Hal ini tidak tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi. Hal yang kebalikannya muncul pada orang-orang yang sedang mengalami depresi, mereka lebih banyak menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan daripada kiri, yang berarti mereka jauh lebih banyak mengalami emosi negatif daripada positif. Lanjutan dari penelitian tersebut adalah: orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi positif juga ternyata lebih tinggi kekebalannya akan penyakit daripada orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi negatif.

Penelitian di atas membuktikan bahwa ada perbedaan secara fisik pada otak orang-orang yang telah terlatih dalam meditasi belas kasih dengan orang-orang yang tidak melakukannya. Bagaikan otot yang kalau makin dilatih akan makin besar, maka tampaknya latihan mental seperti meditasi juga mengubah otak kita jadi makin tangguh, makin dapat memustkan perhatian, makin dapat berempati pada orang lain dan makin lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif, bahkan juga tampaknya menjadi lebih kebal terhadap penyakit. Hal ini tentunya merupakan hal yang sangat menggembirakan dan menimbulkan harapan.

Tentu akan ada lontaran pesimis dan skeptis,”Ya, tentu saja, mereka (para pakar meditasi) kan sudah berlatih puluhan tahun, dan hidup di biara-biara yang tenang, bebas dari hiruk pikuk dan tekanan kehidupan kota. Kami-kami yang hidup di “dunia nyata” dan tidak punya kemewahan untuk berkomitmen pada latihan meditasi berjam-jam tidak akan mungkin mendapatkan hasil yang serupa.” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Davidson melakukan penelitian lain dengan membandingkan dua kelompok pekerja kantoran yang sama-sama belum pernah bermeditasi, di mana kelompok yang satu mulai mendapatkan pelatihan meditasi sederhana selama 30 menit tiap hari, selama delapan minggu, sementara kelompok kedua baru akan mendapatkan pelatihan yang sama setelah penelitian berakhir. Ternyata penelitian membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam kemampuan memusatkan perhatian, kemampuan berempati, dan penghayatan akan emosi positif. Kelompok yang baru saja mendapatkan pelatihan selama delapan minggu, mengungguli kelompok yang belum bermeditasi sama sekali, dalam kemampuan-kemampuan di atas; sehingga terjawablah kekuatiran di atas bahwa tidak dibutuhkan perubahan hidup yang radikal, seperti meninggalkan kehidupan perkotaan dan menyepi ke dalam biara, untuk dapat memperoleh manfaat dari meditasi.

Davidson dkk, melanjutkan penelitiannya dengan melakukan penelitian jangka panjang dan terus mempertajam hasil-hasil penelitian mereka. Dalam jangka panjang mereka ingin membuktikan apakah latihan semacam ini dapat memberikan kesembuhan pada pasien-pasien depresi, gangguan kecemasan dan bahkan autism. Beberapa hasil permulaan telah menunjukkan hasil positif, dan kita dapat menantikan kabar gembira di masa yang akan datang. Untuk saat ini, penelitian Davidson merupakan undangan bagi kita, undangan untuk menjadi lebih berbelas kasih dan melakukan tindakan-tindakan nyata yang sejalan dengannya. Ternyata berbelas kasih tidak hanya baik secara normatif, melainkan juga memberikan manfaat nyata bagi kesehatan dan kebahagiaan kita. Bukan ide yang buruk, apalagi di masa menjelang Natal ini. bukankah demikian?

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

(Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta)