Kamis, 11 Desember 2008

Berbelaskasihlah dan jadikan otakmu lebih baik

Tulisan pernah dimuat di Suara Pembaruan


Judul di atas dapat dimaknai secara harafiah, demikan yang dibuktikan melalui studi Richard Davidson, Ph.D dari Universitas Wisconsin-Madison. Ia dan rekan-rekannya dari Waisman Center for Brain Imaging telah belasan tahun melakukan penelitian tentang kaitan antara emosi, latihan mental dan plastisitas otak. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana latihan mental tertentu – khususnya meditasi – dapat mengubah otak manusia, menjadikannya lebih mampu memusatkan perhatian, lebih dapat berempati, lebih banyak mengalami emosi positif dan mengurangi emosi negatif. Dengan kata lain penelitian Davidson memberikan harapan akan suatu pendekatan Ilmiah yang sahih yang dapat menjadikan manusia lebih baik dan karenanya menjadi lebih bahagia.

Inti dari studi tersebut adalah mengenai Neuroplasticity – yaitu bahwa otak kita bersifat plastis, dapat terus berkembang sepanjang usia. Setelah sekitar 100 tahun sebelumnya diyakini bahwa otak kita tidak dapat berubah setelah mencapai usia dewasa, sekarang telah hadir fajar baru dalam dunia Neuroscience yang bertajuk Neuroplasticity. Definisi neuroplasticity adalah kemampuan otak manusia untuk menata diri kembali secara fisik dalam menanggapi stimulus eksternal. Dalam bahasa yang lebih sederhana: otak kita dapat berubah! Ia tidak kaku dan berhenti berkembang, melainkan bersifat lentur (plastic) dan dapat diubah sejalan pengalaman-pengalaman yang kita jalani. Makin sering suatu pengalaman diulang, maka makin kuat sirkuit otak yang berperan dalam aktivitas tersebut. Jadi, seorang pemain biola yang terus menerus berlatih memainkan biola, akan memperkuat sirkuit musik di otaknya dan dengan demikian menjadikan otaknya berbeda dengan otak orang lain yang bukan musisi. Mungkin hal ini dapat menjelaskan pula mengapa otak Albert Einstein di bagian lobus parietal (yang berperan penting untuk pemikiran matematis, kognisi visuospatial dan pencitraan gerak) lebih besar 15% daripada otak manusia lain pada umumnya. Mungkin, bukan terutama karena Einstein dilahirkan berbeda daripada orang lain, melainkan karena seumur hidupnya ia melatih diri di bidang kecintaannya, yaitu Fisika dan Matematika.

Kembali ke topik belas kasih di atas; Davidson melakukan studinya dengan cara menggunakan teknologi neuroscience mutakhir seperti fMRI, PET dan EEG yang memungkinkan pengamatan yang lebih lengkap, secara langsung saat otak melakukan aktivitas tertentu. Untuk meneliti tentang dampak meditasi belas kasih pada otak manusia, Ia membandingkan pengamatan pada dua kelompok penelitian; kelompok satu adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam meditasi dan kelompok dua adalah orang-orang yang belum pernah melakukan meditasi. Mereka diukur aliran darahnya di otak saat mendengarkan suara-suara tertentu yang memiliki konotasi emosi positif dan negatif.

Saat orang-orang yang pakar meditasi mulai bermeditasi tentang belas kasih, daerah di otak yang disebut insula segera menjadi aktif ketika mereka mendengar suara perempuan yang minta tolong. Insula adalah adalah daerah di otak yang terasosiasi dengan kemampuan merasakan emosi secara visceral, dan hal ini merupakan kunci untuk dapat berempati pada orang lain. Dan ketika para pakar meditasi ini mendengar jeritan perempuan tersebut, atau suara bayi tertawa, otak mereka menunjukkan lebih banyak aktivitas di batas temu kanan lobus parietal-temporal, yang berperanan dalam memahami emosi orang lain. Hal-hal semacam ini jauh lebih sedikit tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi.

Untuk melihat tentang perbedaan emosi positif dan negatif pada orang-orang yang terlatih bermeditasi dan yang tidak, Davidson memberikan stimulus berupa film pendek yang sangat menggugah kesedihan; dan di saat yang sama ia mengamati aktivitas otak subjek-subjeknya. Dengan teknik yang sama ia memberikan stimulus yang sangat menggugah kegembiraan dan suka cita, dilanjutkan dengan pengamatan yang sama. Hasilnya cukup jelas. Orang-orang yang sedang merasakan emosi positif, menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kiri; sementara orang-orang yang mengalami distress dan kesedihan akan menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan. Bagaimana kaitannya dengan meditasi belas kasih? Orang-orang yang sedang bermeditasi belas kasih menunjukkan aktivitas yang nyata di prefrontal cortex kiri dan sangat sedikit di prefrontal cortex kanan. Hal ini berarti mereka lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif. Hal ini tidak tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi. Hal yang kebalikannya muncul pada orang-orang yang sedang mengalami depresi, mereka lebih banyak menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan daripada kiri, yang berarti mereka jauh lebih banyak mengalami emosi negatif daripada positif. Lanjutan dari penelitian tersebut adalah: orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi positif juga ternyata lebih tinggi kekebalannya akan penyakit daripada orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi negatif.

Penelitian di atas membuktikan bahwa ada perbedaan secara fisik pada otak orang-orang yang telah terlatih dalam meditasi belas kasih dengan orang-orang yang tidak melakukannya. Bagaikan otot yang kalau makin dilatih akan makin besar, maka tampaknya latihan mental seperti meditasi juga mengubah otak kita jadi makin tangguh, makin dapat memustkan perhatian, makin dapat berempati pada orang lain dan makin lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif, bahkan juga tampaknya menjadi lebih kebal terhadap penyakit. Hal ini tentunya merupakan hal yang sangat menggembirakan dan menimbulkan harapan.

Tentu akan ada lontaran pesimis dan skeptis,”Ya, tentu saja, mereka (para pakar meditasi) kan sudah berlatih puluhan tahun, dan hidup di biara-biara yang tenang, bebas dari hiruk pikuk dan tekanan kehidupan kota. Kami-kami yang hidup di “dunia nyata” dan tidak punya kemewahan untuk berkomitmen pada latihan meditasi berjam-jam tidak akan mungkin mendapatkan hasil yang serupa.” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Davidson melakukan penelitian lain dengan membandingkan dua kelompok pekerja kantoran yang sama-sama belum pernah bermeditasi, di mana kelompok yang satu mulai mendapatkan pelatihan meditasi sederhana selama 30 menit tiap hari, selama delapan minggu, sementara kelompok kedua baru akan mendapatkan pelatihan yang sama setelah penelitian berakhir. Ternyata penelitian membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam kemampuan memusatkan perhatian, kemampuan berempati, dan penghayatan akan emosi positif. Kelompok yang baru saja mendapatkan pelatihan selama delapan minggu, mengungguli kelompok yang belum bermeditasi sama sekali, dalam kemampuan-kemampuan di atas; sehingga terjawablah kekuatiran di atas bahwa tidak dibutuhkan perubahan hidup yang radikal, seperti meninggalkan kehidupan perkotaan dan menyepi ke dalam biara, untuk dapat memperoleh manfaat dari meditasi.

Davidson dkk, melanjutkan penelitiannya dengan melakukan penelitian jangka panjang dan terus mempertajam hasil-hasil penelitian mereka. Dalam jangka panjang mereka ingin membuktikan apakah latihan semacam ini dapat memberikan kesembuhan pada pasien-pasien depresi, gangguan kecemasan dan bahkan autism. Beberapa hasil permulaan telah menunjukkan hasil positif, dan kita dapat menantikan kabar gembira di masa yang akan datang. Untuk saat ini, penelitian Davidson merupakan undangan bagi kita, undangan untuk menjadi lebih berbelas kasih dan melakukan tindakan-tindakan nyata yang sejalan dengannya. Ternyata berbelas kasih tidak hanya baik secara normatif, melainkan juga memberikan manfaat nyata bagi kesehatan dan kebahagiaan kita. Bukan ide yang buruk, apalagi di masa menjelang Natal ini. bukankah demikian?

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

(Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta)

Minggu, 23 November 2008

THE OTHER SIDE OF THE STORY: ORANGTUA YANG TERLUKA

Diterbitkan di Suara Pembaruan 16 Nov 2008

Bilamana kita mendengar istilah “luka batin” maka konotasi kita langsung terarah pada seseorang yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan orangtua kepadanya di masa kecil. Dalam uraian semacam itu biasanya akan dibahas bagaimana seseorang yang di masa kecilnya kurang mendapatkan kasih sayang, mendapatkan perlakuan kasar atau penolakan dari orangtua akan mengalami trauma (luka batin) yang kemudian membangkitkan konflik berkepanjangan dalam dirinya. Kondisi ini akan berujung pada munculnya berbagai gejala gangguan psikologis dan gangguan dalam relasi dengan orang lain. Biasanya dalam kasus-kasus semacam ini orangtua akan ditempatkan sebagai the aggressor (pihak yang menyerang), sementara anak akan dipandang sebagai the victim (pihak yang menjadi korban). Dalam pandangan semacam ini, masalah terlalu disederhanakan dan dipandang secara hitam-putih. Jarang sekali ada pembahasan pada arah sebaliknya, yaitu orangtua yang mengalami luka batin di dalam interaksi dengan anaknya. Sementara pada kenyataannya, di dalam tiap relasi selalu terdapat kemungkinan yang sama besarnya bagi kedua pihak untuk saling melukai satu sama lain.
Pada tahun 60’an ada seorang tokoh psikiatri yang sangat terkenal karena kejeniusan dan juga sikap ekstrimnya; namanya adalah R.D. Laing. Di usia belia (awal 30-an tahun) ia sudah menerbitkan sebuah buku yang mendapatkan sambutan sangat hangat dan kemudian memiliki pengaruh besar di dunia psikiatri tahun 60an. Buku itu berjudul “The Divided Self”, yang pada intinya berisi analisis Laing tentang relasi pasien-pasien skizofrenia dengan orangtuanya. Untuk informasi bagi pembaca, skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sangat berat, di mana pasien kehilangan kontak dengan realitas dan menunjukkan perilaku yang sangat terganggu, misalnya halusinasi – mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada – ataupun waham – di mana ia memiliki keyakinan yang ganjil dan tidak nyata, namun sangat diyakininya. Dalam bahasa sehari-hari, penderita skizofrenia biasa disebut “gila”.
Dengan analisis eksistensial yang mendalam dan meyakinkan, Laing menggambarkan bahwa skizofrenia yang dialami pasien merupakan respon normal yang ditunjukkannya karena keberadaannya dinafikan oleh orangtuanya. Orangtua secara tidak sadar meniadakan atau bahkan menyerang keberadaan pasien. Penolakan dari orangtua membuat pasien menolak dirinya sendiri. Akibatnya kepribadian pasien mengalami keterpecahan dan ia tidak dapat mengalami kebersamaan dengan orang lain. Secara eksistensial ia merasa terasing dari dunia ini dan karenanya semakin menjauh dari realitas; sehingga pada akhirnya mengalami kegilaan.
Teori Laing mendapat sambutan luas dan mempengaruhi pandangan arus utama saat itu. Orangtua dianggap berperan besar dalam mengakibatkan salah satu anggotanya menjadi gila; oleh karena itu orangtua harus diterapi dan diubah agar anak mereka sembuh. Dalam tinjauan balik tentang teori Laing di masa kini, pada ahli pada umumnya berpendapat bahwa teori Laing tidak sepenuhnya salah; setidaknya untuk beberapa kasus, memang ada dinamika keluarga patologis yang berperanan pada munculnya skizofrenia dalam diri anak. Namun teori Laing kemudian sangat dikecam karena ia hanya mengisahkan setengah dari cerita yang ada. Ia menutup mata pada setengah cerita yang lain, di mana sebagian orangtua sangat dilukai oleh perilaku putera-puteri mereka yang sangat mereka kasihi.

Kisah ibu Dora
Bu Dora (bukan nama sesungguhnya) adalah ibu dari seorang pasien skizofrenia yang bernama Roby (bukan nama sesungguhnya). Dari pernikahannya, Dora dikaruniai tujuh orang anak, di mana Roby adalah anak keempat. Roby memiliki waham bahwa ia adalah titisan sang mesias, dan ia memaksa seluruh anggota keluarga lain untuk mengakui hal tersebut. Tidak jarang saat Roby dikuasai waham, ia melakukan terror dan kekerasan pada orangtuanya, terutama pada Dora sebagai ibunya. Selain menghadapi terror fisik dan verbal, Dora juga harus berjuang hampir seorang diri dalam upaya menyembuhkan Roby, karena suami dan anak-anak lain kurang sekali mendukungnya. Malang nasib Dora, karena bukan cuma Roby yang sedang menderita penyakit yang menterrornya, melainkan juga anak-anak yang lain. Karena sikap Dora yang tegas, termasuk dalam hal penggunaan uang, anak-anak memusuhi dan mengucilkan Dora, menganggapnya tidak mencintai mereka dan hendak menguasai sendiri harta ayah mereka. Salah seorang anak Dora bahkan pernah menjambak dan mencekik Dora, serta mengancam hendak membakar dirinya bilamana tidak mengabulkan keinginannya.
Dalam analisis tentang riwayat penyakit Roby, tidak ditemui data yang kuat yang menunjukkan bahwa Roby menjadi sakit skizofrenia karena Dora. Sebaliknya kita melihat bahwa Dora seringkali dilukai oleh Roby (sekalipun tanpa disadarinya karena ia sedang dikuasai penyakitnya) dan juga oleh anak-anak lainnya. Dora hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus, di mana orangtua bukan menjadi penyebab gangguan kejiwaan yang dialami anak mereka, melainkan menjadi pihak yang paling terbebani dan terluka oleh perilaku anak-anak mereka.
Kita dapat melihat beban serupa pada orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba, anak yang mengidap HIV-AIDS, anak yang hamil di luar nikah, dan banyak kasus lain. Kita pun dapat mendengar kisah yang serupa pada para orangtua yang “dibuang” anak mereka ke panti jompo, ataupun orangtua yang mengalami kekerasan baik secara verbal ataupun fisik oleh anak-anak mereka sendiri.

Beban berganda
Bilamana seorang anak mengalami luka batin oleh orangtuanya, memang potensi trauma psikologis menjadi lebih besar daripada bila kejadiannya sebaliknya, yaitu orangtua yang terluka batin oleh anaknya. Kerentanan anak-anak yang lebih besar dikarenakan mereka masih sedang dalam proses pembentukan kepribadian, sedangkan orangtua diasumsikan sudah memiliki kepribadian yang kokoh sehingga lebih mampu mengelola luka batin yang dialami. Namun di sisi lain, anak akan terus bertumbuh dan dalam proses perkembangannya, ia akan bergerak memisahkan diri dari orangtua dan menjalin relasi-relasi intim dengan orang lain. Dalam relasi yang baru, seorang anak berpeluang menyembuhkan luka batin yang pernah dialaminya. Namun, bilamana yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu orangtua yang terluka batin oleh anaknya, maka menjadi lebih sulit untuk menyembuhkannya. Karena bagi orangtua, anak adalah orang yang terkasih yang tak tergantikan. Perjalanan orangtua bukanlah gerakan memisahkan diri dari anak, melainkan justru kebalikannya, yaitu sejalan usia biasanya orangtua semakin mendambakan kehadiran anak yang biasanya semakin menjauh karena sibuk dengan kehidupannya sendiri. Orang pun sering melupakan bahwa orangtua juga mungkin sekali memiliki luka batinnya sendiri di masa lalu oleh orangtua mereka. Dan relasi yang buruk dengan anak-anak mereka di masa kini, seringkali akan menguak kembali luka lama yang masih tersisa.
Di dalam kasus-kasus semacam bu Dora, seringkali orangtua mengalami beban berganda. Bukan cuma mereka harus terluka karena perlakuan anak-anak mereka; mereka juga harus berjuang dan mengorbankan waktu, tenaga, emosi dan juga sumberdaya finansial untuk menyediakan pengobatan dan pertolongan bagi anak mereka. Orangtua seringkali pula terkena stigma dari masyarakat yang mempersalahkan mereka atas perilaku anak-anak mereka. Masih sangat sedikit dukungan yang tersedia bagi para orangtua ini. Kebanyakan dari mereka seringkali harus menanggung beban berganda ini seorang diri, dan menderita dalam kebisuan.

Pentingnya kelompok pendukung
Sekarang semakin disadari pentingnya memberikan ruang bagi para orangtua yang memiliki putera-puteri dengan gangguan jiwa berat, untuk didengarkan curahan hati mereka dan diteguhkan kembali. Penting pula bagi keluarga untuk mendapatkan informasi-informasi yang lengkap tentang gangguan jiwa yang dialami putera-puteri mereka. Untuk itu, kehadiran kelompok pendukung (self-help group) akan sangat bermanfaat. Kelompok pendukung yang saya maksud, yang biasanya disusun secara swadaya, terdiri atas sesama orangtua yang memiliki permasalahan yang hampir serupa. Para profesional seperti psikiater, psikolog atau social worker, dapat menjadi fasilitator di dalam kelompok-kelompok semacam itu, terutama untuk memberikan edukasi yang sangat mereka butuhkan tentang permasalahan yang dihadapi anak mereka.
Sekarang sudah semakin banyak kelompok-kelompok semacam itu; misalnya kelompok orangtua anak autis, kelompok orangtua penderita skizofrenia, kelompok orangtua pecandu narkoba, dll. Dan data menunjukkan bahwa saat orangtua tidak lagi diposisikan sebagai penyebab masalah, melainkan sebagai pendukung utama pemulihan anak-anak mereka, maka baik sang pasien maupun keluarganya menjadi lebih sejahtera dan lebih dapat menyesuaikan diri. Kiranya dukungan dan kepedulian yang lebih besar pada keluarga-keluarga yang memiliki beban berat ini, perlu lebih ditingkatkan.

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi
Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta

Sabtu, 01 November 2008

Sabar? Hareee geeneee?!?!

Unedited version. Edited version appear on Intisari Nov 2008 

Krisis finansial global yang bermula dari daratan Amerika sudah memakan banyak korban; bukan cuma kerugian investasi yang secara global nilainya sudah trilyunan dollar, melainkan juga bertambahnya orang-orang yang mengalami stres, depresi dan bahkan melakukan bunuh diri. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika, melainkan korban mulai berjatuhan pula di daratan Asia, termasuk di Indonesia.

Semua orang gempar saat Rony (bukan nama sesungguhnya) terkena stroke. Ia adalah seorang wiraswastawan muda yang sukses dan tokoh masyarakat yang terkemuka. Saat ia baru menginjak usia 35 tahun, ia sudah berhenti dari posisinya sebagai top manager di suatu perusahaan mutlinasional, dan mendirikan perusahaannya sendiri. Perusahaannya pun segera meroket, dan Rony segera menikmati hidup impian ala Kiyosaki yang bagi kebanyakan orang hanyalah janji surga: Kebebasan (baca: keberlimpahan) Finansial; plus dikagumi kawan, disegani lawan  (competitor) dan dipuja serta menjadi sumber iri hati semua orang. “Karir” sosialnya pun segera menanjak, di mana ia menduduki posisi puncak di organisasi kemasyarakatan tempatnya bergiat, yang biasanya jarang sekali diduduki oleh orang yang belum putih semua rambutnya.

Dalam kehidupan pribadinya, Rony menjalani diet yang sehat dan seorang yang rajin – bahkan sangat kompetitif – dalam sport yang digelutinya. Ia pun jauh dari gossip dan menjalani hidup tanpa cela bersama keluarganya. Pendeknya, hidup Rony adalah contoh gemilang seorang “pemenang” sejati yang meraih semua ambisinya, karena disiplin dan kerja kerasnya sendiri, jauh meninggalkan semua teman-teman sebayanya. Sampai akhirnya…krisis finansial global menghantamnya tanpa sempat diantisipasinya. It’s a wake up call.

 

Citius, Altius, Fortius?

Kehidupan Rony sepintas tampak sebagai contoh sempurna penerapan semboyan Olympiade: Lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat (Citius, Altius, Fortius). Kehidupannya dibingkai seperti gelanggang pertandingan, di mana ia selalu memacu diri memecahkan record yang ada, di mana pemegang record sebelumnya adalah dirinya sendiri. Rony adalah perwujudan ideal etos kerja yang sering didengung-dengungkan para motivator yang menjual pemeo-pemeo tentang kesuksesan. Rony tidak pernah puas pada segala sesuatu yang sudah diraihnya, dan ia benci akan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia hanya dapat menerima excellence standard dalam apapun yang dikerjakannya. Ia tidak pernah terlena di zona kenyamanan dan selalu mencari tantangan baru. Ia bersikap keras pada semua orang yang bekerja kepadanya, namun semua orang pun tahu bahwa ia lebih bengis lagi pada dirinya sendiri. Menunggu, pasrah dan bersabar, tidak ada dalam kamus hidupnya; dan semua orang memujanya dan ingin menjadi seperti dirinya, justru karena sifat-sifat “positif” nya tersebut. Lalu kenapa orang “sebaik” itu terkena stroke?

 

Gading yang rapuh

Kebanyakan orang yang sudah terkena cuci otak oleh pengarang buku-buku laris tentang kesuksesan, akan mengamini gaya hidup seperti yang dijalani oleh Rony. Orang seperti Rony adalah pahlawan mereka. Namun, bila gambaran sempurna ini ditelaah lebih teliti, orang akan melihat hal-hal “kecil” yang sepintas akan terlewatkan: Rony bukanlah pendengar yang baik, ia seringkali bicara dengan cepat dan meledak-ledak; ia sangat tidak sabar akan kelambatan dan berbagai antrian, serta ingin melakukan berbagai kegiatan sekaligus; ia akan sangat gelisah bila tidak sedang sibuk, dan ia berpusat pada dirinya sendiri, tidak hirau pada perasaan orang lain selain menampilkan empati yang artificial. Orang-orang pun tidak tahu, kecuali istrinya,  bahwa Rony seringkali tidak bisa tidur sehingga ia semakin sering minum obat tidur saat masuk peraduan, dan kemudian harus memaksa diri bangun di pagi buta saat kantuk masih menggelayuti pelupuk mata. Tanpa disadarinya tekanan darahnya tinggi dan tingkat cholesterol-nya mulai melewati ambang toleransi. Kenyataannya adalah: dirinya sendirilah yang memacu tubuh dan jiwanya di luar batas sehingga stroke hadir dalam hidupnya. Krisis finansial yang dialami sekarang, hanyalah jalan untuk menggenapi konsekuensi dari pilihan hidupnya.

Meyer Friedman, seorang dokter ahli jantung ternama, membuat suatu istilah yang populer untuk pola perilaku sebagaimana ditunjukkan oleh Rony: Kepribadian tipe A, yaitu kepribadian yang terlalu ambisius dan selalu gelisah serta tak puas pada segala yang ada. Menurut teori mereka, dasar dari pola perilaku ini adalah self-esteem yang rendah dan rasa tidak aman yang akut, yang mungkin sekali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Kontras dari kepribadian tipe A adalah kepribadian tipe B yang biasanya digambarkan sebagai pribadi yang sabar, rileks, lebih nrimo dan nyantai (sifat-sifat yang konotasinya adalah ndeso dan tidak disukai oleh masyarakat kota yang hyper-competitive). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Friedman & Rosenman selama 9 tahun pada lebih dari 3000 pria sehat berusia 35-59 tahun, kepribadian tipe A terkait erat dengan sakit jantung koroner dan berbagai penyakit lain yang disebabkan oleh stres. Sekalipun ada studi lebih baru yang tidak mendukung penelitian Friedman dan Rosenman, tetapi bukan berarti penelitian mereka salah, karena stres dan gaya hidup yang serba cepat memang terkait erat dengan berbagai penyakit kronis, seperti sakit jantung koroner, darah tinggi, insomnia, dll – sekalipun mungkin korelasinya tidak selangsung dan sesederhana sebagaimana digambarkan oleh Friedman dan Rosenman.

Tetapi apapun juga, kalau kita bertanya pada kebanyakan orang-orang cosmopolitan seperti Jakarta, kepribadian manakah yang dianggap lebih baik, maka jawabannya akan jelas: kepribadian yang serupa dengan tipe A. Siapa kiranya yang tidak ingin menjadi orang yang tampaknya merupakan gambaran orang yang sukses dan disukai semua orang; ambisius, kompetitif, dan pemenang. Dan sebaliknya, siapa kiranya yang di hari-hari ini mau menjadi si Kabayan, yang santai, sabar dan nrimo?

 

Sabar? Hari gini? Are you nuts?

Kesabaran, sikap menerima (nrimo), kepasrahan, hidup yang rileks, adalah beberapa sifat yang hari-hari ini dijauhi orang bagaikan penyakit sampar. Sifat-sifat itu dianggap tidak adaptif – atau bahkan kontra produktif – bagi kepentingan survival of the fittest, sebagaimana dituntut oleh kehidupan di kota besar. Apakah anda dapat menyetir mobil dengan sabar di Jakarta – di tengah kepungan motor-motor yang berseliweran dengan ganasnya? Ha..ha..ha.. anda pasti sedang bermimpi. Apakah anda mau bersikap nrimo di tengah sikut-sikutan dan saling menjatuhkan dalam politik kotor di kantor anda? Selamat..Anda akan segera masuk surga..dalam arti sesungguhnya, yaitu mati konyol. Apakah anda mau bersikap pasrah pada perlakuan boss anda di kantor? Salut..anda baru saja mendaftarkan diri menjadi keset yang akan diinjak-injak kapan saja dibutuhkan.

Point-nya jelas: di dunia modern ini, di kota-kota besar seperti di Jakarta, kesabaran dan berbagai sifat mulia (virtue) lainnya, hanya akan dianggap sebagai suatu kebodohan dan sikap naïf yang kekanak-kanakan; warisan pendidikan feodal khas inlander, yang harus segera “dicerahkan” oleh cahaya pendidikan (Barat) yang modern. Bahkan mungkin sifat-sifat ini dianggap membahayakan sehingga harus segera dikikis, karena akan membuat anda digilas oleh deru kehidupan kota yang beringas. Paling banter sifat-sifat itu hanya dianggap suatu ideal yang dimuliakan di bibir, namun segera menguap saat menghadapi kenyataan hidup yang keras. Saya yakin, kebanyakan dari kita masih memberikan nasihat-nasihat pada anak kita untuk menjadi sabar, pengasih, menerima, dll dengan bibir kita; namun dengan perilaku kita, sesungguhnya kita mengajar mereka untuk jadi cerdik, licik, gesit, nyerobot, dan nyikut. Barangkali dalam hati kecil kita menganggap sifat-sifat mulia itu hanya dapat terlaksana di Surga mulia, nanti.. bukan sekarang di dunia ini.

 

Kesabaran vs. Ketergesaan

Namun justru kenyataan hidup yang penuh stres dan segala konsekuensinya yang merugikan pada kesehatan tubuh, kewarasan jiwa dan kejernihan spiritual, yang menyadarkan kembali orang-orang pada kebijaksanaan kuno itu. Sabar – bukanlah sifat yang maladaptif, sebaliknya mungkin merupakan salah satu benteng terkuat yang mungkin dimiliki seseorang menghadapi gerusan stres setiap harinya. Kehausan akan revitalisasi tubuh, jiwa dan roh mendorong manusia modern untuk menggali kembali sumber-sumber kebijaksanaan kuno yang lama terlupakan.

Salah seorang tokoh yang mengadaptasi dan mengarusutamakan kembali kebijaksanaan Timur yang terlupakan ini adalah Jon Kabat-Zinn. Dia adalah seorang psikolog dan Professor of Medicine Emeritus di University of Massachusetts Medical School. Sejak tahun 1979 ia mendirikan Stress Reduction Clinic untuk mengantisipasi fenomena stres yang makin marak di saat itu. Antisipasinya sangat tepat karena dewasa ini, stres sudah menjadi salah satu gangguan utama manusia modern. Jon mendasarkan metodenya pada spiritualitas dan falsafah Tibetan Buddhism dan berbagai spiritualitas Timur lain. Ia menyebut tekniknya sebagai Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR).

Falsafah dasar teknik ini adalah mengenal perbedaan antara “Doing” dan “Being”. “Doing” adalah suatu modus keberadaan di mana seseorang mengarahkan dirinya keluar untuk melakukan dan mencapai sesuatu. Dalam modus “Doing” seseorang memusatkan perhatiannya ke luar dirinya, yaitu pada objek yang dikehendakinya, dan mengerahkan segala daya upaya untuk meraih objek tersebut. Di dalam modus “Doing” seseorang berpikir bahwa dirinya tidak utuh dan tidak sejahtera bilamana tidak memiliki objek yang dikehendakinya; dan sebaliknya ia terjebak pada pandangan keliru bahwa ia hanya akan menjadi bahagia dan utuh kalau berhasil meraih objek tersebut; dan ia akan merana dan menderita bila gagal memperoleh objek tersebut. Fokus dan penempaan diri terus menerus pada “Doing” akan menjadikan orang pada akhirnya memiliki pola perilaku seperti kepribadian tipe A, yang rentan pada stres, selalu tergesa-gesa dan tidak puas pada apapun yang ada. Tokoh kita Rony adalah contoh sempurna orang yang terjebak pada “Doing”.

“Being” atau disebut juga “Non-Doing” (dalam istilah Taoism: “Wu Wei”) adalah modus keberadaan lain yang mengatakan bahwa hal-hal yang paling penting dalam hidup ini bukan dicapai dengan berusaha – apalagi berusaha keras – melainkan justru dengan tidak berusaha, atau dengan kata lain dengan membiarkannya terjadi secara alami. Seseorang yang berada dalam modus keberadaan “Being” ini, tidak menghendaki apapun juga, melainkan membiarkan segala sesuatu terjadi dan mengalir bersama semesta. Tentunya ini bukan berarti seseorang yang berada dalam modus “Being” tidak bekerja dan bermalas-malasan, menunggu segala sesuatu terjadi baginya. Ia tetap bekerja, namun dengan sikap batin yang berbeda dan dengan pengosongan diri. Justru karena ia mengosongkan dirinya, sepi ing pamrih, tidak menentang apapun juga, dan taat sepenuhnya pada hukum alam maka semesta alam mendukungnya dengan kekuatan tak terhingga. Ia sabar akan segala sesuatu dan menerima segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tunduk padanya. Di balik sikap sabar dan menerima ini, terdapat kesadaran penuh akan identitas diri yang sejatinya sudah baik; bahwa sesungguhnya ia tidak perlu pergi ke manapun, tidak perlu berupaya menjadi siapa pun, dan tidak perlu meraih apapun untuk menjadi utuh. Sejatinya ia sudah lengkap, utuh dan kebahagiaan sudah selalu ada dalam dirinya sendiri untuk ditemukan dan dibiarkan mekar, bukan diciptakan dan diusahakan dengan kekerasan. Dengan sendirinya muncul sikap sabar yang sekalipun lembut namun tak dapat dikalahkan oleh kekerasan apapun. Kesabaran, seperti juga iman, dapat memindahkan gunung. Leo Tolstoy mengatakan bahwa “The most powerful warriors are patience and time.”

 

Apa yang harus dilakukan untuk menjadi sabar?

Dengan semakin terbukanya kesadaran orang-orang tentang perlunya mengembangkan kesabaran, sikap menerima dan kelenturan dalam menghadapi kerasnya kehidupan maka marak pula gerakan untuk menggali kembali kebijaksanaan dan sifat-sifat mulia yang lama terlupakan. Ruang tulisan yang ada ini tentunya memang tidak ditujukan untuk dapat memberikan petunjuk yang lengkap tentang jalan dan proses yang harus dijalani untuk mencapainya. Saya harapkan ini hanya menjadi undangan bagi anda untuk melanjutkan mencari petunjuk-petunjuk yang lebih lengkap dan paling cocok untuk diri anda. Ada bermacam-macam teknik dan aliran yang dapat anda pilih, tetapi prinsipnya kesemuanya menekankan pada realisasi diri dalam tiga hal: Latihan Tubuh, Restrukturisasi Pikiran dan Pengembangan Spiritualitas.  

 

Latihan-latihan tubuh

Tubuh merupakan bagian penting dari diri yang tak dapat dikesampingkan bila anda bermaksud untuk merealisasikan diri dan mengembangkan kesabaran. Bila tubuh anda gelisah dan penuh dengan ketegangan maka upaya untuk menjadi sabar akan menjadi mustahil. Berbagai kebiasaan buruk dan stres yang dialami bertahun-tahun telah terekam dalam tubuh sehingga tubuh menjadi sangat reaktif dan tegang. Untuk menghapus pembelajaran yang keliru itu, berarti harus mendidik ulang respon tubuh anda. Daniel Goleman, pengarang buku laris Emotional Intelligence dan Social Intelligence telah menjelaskan dalam buku-bukunya bahwa berbagai emosi dan kecerdasan yang diperlukan untuk dapat mengelolanya, berakar pada tubuh. Melatih kesabaran – yang merupakan salah satu perwujudan kecerdasan emosional – berarti pula melatih tubuh. Anda tidak dapat menjadi sabar hanya dengan menanamkan dogma-dogma tentang kesabaran. Tubuh anda mesti menjadi sabar dan rileks; agar emosi dan kecerdasan anda dapat turut menjadi jernih pula. Latihan-latihan tubuh seperti relaksasi, meditasi, yoga, tai-chi, dll dapat membantu anda mendidik kembali tubuh anda.

 

Restrukturisasi pikiran

Psikologi Barat yang diwakili oleh tokoh-tokoh aliran Cognitive, dan Psikologi/Spiritualitas Timur seperti Zen Buddhism telah lama menyadari pentingnya pikiran sebagai nakhoda yang menggerakkan emosi dan tindakan. Sebelum ada tindakan yang nyata berupa tingkah laku, sudah ada gerakan internal berupa dialog dalam diri (Self talk), yang sekalipun mungkin tidak disadari, sangat besar pengaruhnya pada apa yang akan anda rasakan dan akan anda lakukan. Upaya menjadi sabar, berarti proses mengenali dan mengelola dialog dalam diri  ini. Dialog internal yang sifatnya negatif dan irasional akan mendorong anda menjadi gelisah, takut dan karenanya melakukan tindakan-tindakan yang akan anda sesali kemudian; sebaliknya dialog internal yang positif dan rasional akan menghasilkan perasaan yang tentram dan tindakan yang adaptif. Sabar atau tidaknya seseorang seringkali ditentukan oleh dialog apa yang berlangsung dalam dirinya. Biasanya, dibutuhkan bimbingan seorang terapis atau guru spiritual untuk membantu anda mengenali dan mengubah dialog internal dalam diri ini.

 

Pengembangan Spiritualitas

Latihan-latihan tubuh dan restrukturisasi pikiran pada akhirnya bermuara pada pengembangan spiritualitas. Spiritualitas adalah fondasi utama untuk membangun kesabaran dalam diri. Bila seseorang berakar dalam spiritualitas (baca: tidak selalu identik dengan ritual agama), maka hidupnya seolah dipancangkan pada fondasi yang sangat kuat, sehingga secara alami kesabarannya berkembang. Ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai peristiwa dalam hidup yang tidak kekal. Kata-kata dari St. Theresia Avilla berikut ini dengan tepat sekali menyampaikan bagaimana seseorang yang bertumbuh dalam spiritualitas akan menjadi sabar dan karenanya dapat menghadapi perubahan apapun dalam hidupnya. Let nothing disturb you, let nothing make you afraid. All things are passing. God alone never changes. Patience gains all things. If you have God you will want for nothing. God alone suffices.” Semoga kita semua dapat menemukan kembali mutiara yang terlupakan dalam diri kita, yaitu kesabaran; yang membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

 

Jakarta, 30 October 2008

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA).

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi  

Sabtu, 11 Oktober 2008

Doing dan Being: Mengatasi stres dengan teknik Mindfulness

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Mari kita akui…Stres adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam kehidupan modern ini. Dinamika kehidupan yang terasa begitu cepat, sangat menuntut dan terasa sangat kompetitif adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri oleh kebanyakan orang. Begitu banyak peran yang harus dijalankan, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan, dan begitu banyak hal yang ingin diraih; membuat manusia modern seperti banteng adu yang tergopoh-gopoh mengejar pancingan kain merah yang dikelebatkan sang matador; mengerahkan segala tenaga untuk menanduknya…untuk mendapati bahwa ia hanya menanduk ruang hampa, sementara dagingnya disengat luka yang ditancapkan sang matador.

Stres adalah konsekuensi dari kesalahan berpikir. Seorang filsuf Taoism bernama Zhuangzi mengatakan bahwa pada hakikatnya waktu adalah panjang dan abadi tetapi bagi seorang yang sesat berpikir maka waktu akan terasa sangat pendek dan tidak memadai. Mazmur 90:10 mengatakan hal yang hampir serupa “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita terpancing mengejar berbagai hal yang kita pikir akan membuat kita bahagia, meskipun nyatanya seringkali hal itu hanya ilusi saja. Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita tak dapat membedakan mana yang merupakan pokok asasi dan mana yang hanyalah ranting-ranting dan dedaunan semata.

Seorang bijak modern yang tidak disebutkan namanya berkata,”Hari-hari ini kita memiliki lebih banyak kenyamanan, tetapi makin sedikit waktu; lebih banyak ahli, tetapi lebih banyak masalah; lebih banyak obat, tetapi makin sedikit kesejahteraan. Kita belanja terlalu ceroboh, tertawa terlalu sedikit, mengendara terlalu cepat, menjadi marah terlalu mudah, tidur terlalu larut, bangun tidur terlalu lelah, terlalu sedikit membaca dan berdoa, terlalu banyak menonton TV; kita telah belajar untuk menghasilkan nafkah, tetapi bukan hidup yang bermakna; kita menambahkan tahun-tahun dalam kehidupan kita dan bukan hidup dalam tahun-tahun usia kita”. Dengan kata lain, manusia menjadi makin terasing dengan dirinya sendiri dan terputus relasinya dengan sesamanya. Ia menghabiskan apa yang dimilikinya untuk kesia-siaan sementara batinnya kelaparan dan badannya dipacu sehingga merusak kesehatan.

Menurut seorang psikolog bernama Jon Kabat-Zinn, kesalahan utama dalam berpikir itu terletak dalam ketidakmampuan membedakan “Doing” dan “Non Doing/Being”. Jon Kabat-Zinn adalah seorang psikolog dan Professor of Medicine Emeritus di University of Massachusetts Medical School. Sejak tahun 1979 ia mendirikan Stress Reduction Clinic untuk mengantisipasi fenomena stres yang makin marak di saat itu. “Doing” adalah suatu modus keberadaan di mana seseorang mengarahkan dirinya untuk melakukan dan mencapai sesuatu. Dalam modus “Doing” seseorang memusatkan perhatiannya ke luar dirinya, yaitu pada objek yang dikehendakinya, dan mengerahkan segala daya upaya untuk meraih objek tersebut. Di dalam modus “Doing” seseorang berpikir bahwa dirinya tidak utuh dan tidak sejahtera bilamana tidak memiliki objek yang dikehendakinya; maka ia berpikir bahwa ia akan menjadi bahagia dan utuh kalau berhasil meraih objek tersebut; dan kebalikannya ia akan merana dan menderita bila gagal memperoleh objek tersebut. Tidakkah cara berpikir seperti ini familiar bagi kita? Berapa sering kita secara tidak sadar berfungsi secara otomatis dalam modus “Doing” ini?

Bukannya “Doing” ini sepenuhnya keliru, hanya saja ia tidak lengkap tanpa pasangan satunya, yaitu “Non-Doing/ Being”. Modus keberadaan lain yang seringkali dilupakan orang ini mengatakan bahwa dalam hidup ini hal-hal yang paling penting bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan tidak berusaha. Contoh: Apakah anda pernah berusaha mendetakkan jantung anda? Saya rasa tidak..Jantung kita berdetak sendiri tanpa sedikitpun usaha kita. Bahkan kalau kita berusaha mengaturnya, kita akan mengganggu mekanisme alaminya. Apakah kalau anda menyukai/mencintai seseorang, itu karena usaha? Saya rasa tidak.. Anda menyukai seseorang begitu saja, bahkan mungkin menyukai seseorang yang anda pikir tidak sepantasnya anda sukai. Dan sebaliknya, kalau anda berusah menyukai/ mencintai seseorang yang sebenarnya tidak anda sukai, biasanya usaha ini akan sia-sia. Hal-hal yang paling penting bagi kesehatan kita, misalnya tidur, bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan menghentikan usaha kita. Siapapun yang pernah tidak bisa tidur dan berusaha keras untuk tidur pasti sudah tahu bahwa semakin keras kita berusaha untuk tidur, semakin kita tidak bisa tidur. Di dalam modus “Non-Doing/ Being” seseorang bersentuhan dengan jati dirinya dan karena itu ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak perlu pergi ke manapun, tidak perlu berupaya keras menjadi siapa pun kecuali dirinya sendiri, dan tidak perlu meraih apapun untuk menjadi utuh. Sejatinya ia sudah lengkap, utuh dan kebahagiaan sesungguhnya sudah selalu ada dalam dirinya sendiri. Kabat-Zinn mengatakan bahwa itu sebabnya manusia disebut Human Being dan bukannya Human Doing; karena yang paling hakiki bagi manusia adalah untuk “mengada”, Being, To be; dan bukannya “melakukan”, Doing, to do.

Karena kebanyakan orang terlalu terpikat pada dunia dan objek-objek di dalamnya, maka ia jadi mengarahkan dirinya keluar dari dirinya sendiri; mengabaikan harta karun yang sesungguhnya sudah ada dalam dirinya sendiri, dan bagaikan pengemis yang miskin, mengejar berbagai kilau di luar sana yang belum tentu emas. Dan gejala utama kekacauan berpikir ini ditandai oleh ketidakmampuan manusia untuk menghayati kekinian. Karena kesalahan berpikirnya, manusia selalu terombang-ambing memikirkan ilusi masa depan yang dikejarnya, atau tenggelam di masa lalu yang diidealisasikan.

Jon Kabat-Zinn menyusun suatu latihan-latihan sederhana yang akan memulai proses pemulihan. Ia menyebutnya Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR). Inti dari latihan-latihan yang dikembangkannya adalah: melatih diri untuk kembali ke kesjatian diri dengan cara berhenti berusaha melakukan atau meraih apapun, melainkan menaruh perhatian pada saat ini tanpa bersikap judgmental. Seseorang berlatih untuk membuka diri pada apapun yang terjadi saat ini dan menghayatinya atau menikmatinya sepenuh hati. Dalam suatu meditasi sederhana, seseorang diminta untuk menaruh perhatian pada apa yang dilihatnya, didengarnya, dirabanya, dikecapnya, diciumnya saat ini; tanpa membeda-bedakan, mencari yang baik/enak dan menolak yang tidak baik/tidak enak.

Pada mulanya proses ini akan dirasakan tidak enak, karena pikiran telah begitu terbiasa melakukan dan berusaha, sehingga menjadi gelisah ketika diminta tidak lagi berusaha, tidak lagi mengendalikan, letting go, dan hanya menikmati kekinian. Namun setelah beberapa saat, seseorang akan mulai merasakan relaksasi pada pikiran dan juga tubuhnya, serta mulai merasakan bahwa waktu menjadi panjang dan tidak lagi mengejar-ngejarnya. Bilamana latihan ini sudah dilakukan secara rutin untuk beberapa bulan saja, maka ia akan menjadi kebiasaan sehingga semakin lama orang semakin hidup dalam kekinian, di mana keberadaannya menjadi utuh dan sejahtera. Stres tentu saja menjadi sangat berkurang, karena kesalahan berpikir tidak lagi dilakukan. Ia tidak lagi tenggelam dalam kesibukan “Doing” melainkan ia “Being”. Dengan “tidak berusaha” ia sampai pada hal-hal yang paling bermakna dalam hidup ini yang sesungguhnya tidak jauh untuk dikejar, melainkan begitu dekat untuk ditemukan.

Sebagai catatan akhir: seseorang yang keberadaannya di dalam modus “Being” bukanlah seorang yang malas, tidak mau melakukan apapun dan bersantai-santai saja. Ia tetap menceburkan diri dan terlibat aktif dalam dunia ini, hanya saja ia tidak keluar dari dirinya sendiri, ia tidak terpancing oleh kilau-kilau semu sehingga ia tidak melekat dan tidak dikecewakan oleh dunia ini. Ia sudah bebas.


Senin, 29 September 2008

Mengapa kau tak bahagia?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan 

Kebahagiaan adalah tujuan akhir semua orang. Apapun ideologinya, agamanya, sukunya, status ekonominya; tujuan hidup semua orang sama, yaitu untuk berbahagia. Namun dalam perjalanan hidup ini, sebagian orang “kesasar” sehingga tidak dapat menemukan tujuan aslinya tersebut. Orang menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan sehingga menghabiskan energinya untuk mengejar kesenangan. Tentu saja ia akan kecewa. Orang pun kemudian mengeluh bahwa hidup ini tidak adil dan menyalahkan orang lain, atau dirinya sendiri atau bahkan menyalahkan Tuhan atas ketidakbahagiaannya.

 

Perangkap ketidakbahagiaan

Ketidakbahagiaan bersumber dari pandangan-pandangan keliru yang kita pegang, sehingga mengaburkan arah tujuan kita dan membuat kita terjerembab dalam ketidakbahagiaan. Berikut adalah beberapa pandangan keliru yang seringkali menyebabkan ketidakbahagiaan.

1.      Kebahagiaan sama dengan kesenangan. Ini adalah perangkap paling umum yang menyesatkan perjalanan kita menuju kebahagiaan. Kesenangan dapat diibaratkan anggur yang nikmat, yang membuat kita semakin haus dalam tiap regukannya. Setiap keinginan yang terpenuhi akan membangkitkan keinginan-keinginan lain yang tiada hentinya. Kebahagiaan justru ditandai oleh semakin meredanya keinginan dan semakin mensyukuri apa yang ada.

2.      Kebahagiaan ada di masa depan. Daniel Gilbert dalam bukunya yang terkenal, yaitu “Stumbling on Happiness” mengungkapkan bahwa orang rela untuk melakukan apa saja, untuk menjamin bahwa di masa yang akan datang ia akan menikmati investasi dan pengorbanannya saat ini. Orang seringkali membayangkan betapa senangnya dirinya di masa yang akan datang bila dapat menikmati kesenangan-kesenangan yang ditundanya saat ini. Hal ini dilakukan karena manusia adalah mahluk satu-satunya yang memikirkan masa depan. Namun melalui penelitiannya, Gilbert membuktikan bahwa antisipasi orang akan masa depan ternyata tidak dapat diandalkan. Diri kita di masa yang akan datang seringkali kecewa pada apa yang dilakukan diri kita di masa lalu. Oleh karena itu, terpaku pada masa yang akan datang adalah salah satu perangkap ketidakbahagiaan yang sangat kuat.

3.      Tidak mengenal talenta dan kekuatan diri. Martin Seligman, psikolog yang mempelopori psikologi positif, mengungkapkan bahwa sumber kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup adalah bilamana seseorang dapat menggunakan talenta dan kekuatan unik yang dimilikinya secara konsisten. Namun, tidak semua orang cukup mengenal apa sesungguhnya kekuatan unik yang dimilikinya, sehingga mereka merasa hampa dalam menjalani hidupnya. Bila seseorang tidak mengenal harta terpendam yang dimilikinya, seringkali ia terjebak pada iri hati akan talenta dan kekuatan unik yang dimiliki orang lain.

 

Delapan langkah menuju hidup yang lebih berbahagia.

Sonja Lyubomirsky, psikolog dari University of California, bersama rekan-rekannya telah meneliti tentang cara-cara yang terbukti efektif meningkatkan kebahagiaan. Ia merekomendasikan delapan langkah ini.

1.      Hitunglah berkat-berkat yang kau terima. Sesungguhnya banyak berkat yang kita terima tiap hari, tetapi seringkali kita mengecilkan artinya dan melupakannya. Latihan pertama yang dianjurkan Sonja ini dilakukan dengan cara melatih diri untuk lebih menyadari dan mengingat berkat-berkat yang kita alami setiap hari. Setelah melatih ini sebentar saja, orang biasanya akan takjub pada betapa banyak berkat yang sudah diterimanya.

2.      Melatih diri berbuat baik. Saran ini bukan datang dari pendeta, pastor ataupun pemuka agama lainnya; melainkan dari hasil penelitian psikologi. Telah dibuktikan dalam penelitian bahwa berbuat baik dan menolong orang lain membangkitkan kebahagiaan dalam pelakunya. Berbeda dari pandangan keliru yang dipegang orang pada umumnya bahwa menerima dan mendapatkan akan lebih membahagiakan daripada memberi dan membagi; Sonja dan kawan-kawan membuktikan kebalikannya. Memberi dan membagi sesungguhnya memang lebih membahagiakan daripada menerima dan mendapatkan.

3.      Hidup pada saat ini dan nikmati tiap saat yang ada. Seringkali orang terlalu berfokus pada masa depan dan menanti-nantikan yang tidak ada. Atau orang tercekam oleh masa lalu sehingga melewatkan kebaikan yang ada saat ini. Dari penelitiannya, Sonja menyarankan untuk melatih diri untuk lebih fokus ke saat ini dan menghayati kenyataan yang ada.

4.      Berterimakasih pada orang yang membimbing kita. Dalam kehidupan tiap orang, pastinya ada orang-orang tertentu yang pernah menyentuh dan mengangkat kita hingga dapat sukses atau melewati saat-saat yang sulit. Ternyata, meluangkan waktu untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita dan menyatakannya langsung kepada orang tersebut, adalah salah satu pengalaman paling membahagiakan bagi kedua belah pihak.

5.      Belajar memaafkan. Kepahitan dan sakit hati yang pernah kita alami seringkali merupakan belenggu yang menghambat kita untuk melanjutkan kehidupan. Kadang kita lebih suka terus menyiksa diri dan mengunyah-ngunyah kepahitan masa lalu. Tetapi kebahagiaan hanya akan datang bila kita mau melepaskan keterpakuan kita pada kepahitan masa lalu.

6.      Menginvestasikan waktu dan tenaga pada keluarga dan sahabat. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa seseorang yang memiliki relasi yang erat dan bermakna dengan orang lain akan lebih tahan terhadap stres dan lebih sering merasakan kebahagiaan. Adanya dukungan sosial dari orang lain membuat kita tetap merasa berharga, diterima dan dikasihi, sekalipun sedang menghadapi permasalahan yang sukar.

7.      Merawat kesehatan dan kebugaran tubuh. Bila kita bicara soal kebahagiaan, seringkali konotasinya adalah pada kebahagiaan psikologis semata. Padahal, keberadaan manusia yang utuh mengindikasikan bahwa ada relasi yang erat antara tubuh dan jiwa. Kalau tubuh kita sakit, bukankah pikiran dan perasaan kita juga ikut sakit? Sebaliknya kalau kita tidur cukup, makan nutrisi yang berimbang, berolahraga teratur dan seimbang antara aktivitas dan relaksasi, maka pikiran dan perasaan kita akan menjadi lebih seimbang dan sejahtera.

8.      Mengembangkan strategi untuk mengatasi stres dan menghadapi kesulitan. Kebahagiaan bukan berarti tidak mengalami kesukaran. Melainkan suatu sikap berani menghadapi kenyataan dan kesukaran apapun yang ada dan secara rasional mencari pemecahan masalah. Ternyata, orang yang memiliki banyak sumberdaya dan alternatif dalam menghadapi situasi yang stressful, akan lebih berani menjalani kehidupan, mengambil resiko yang masuk akal, sehingga memperoleh lebih banyak kepuasan dalam hidupnya.

 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida 

Why don't you see me?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan
 

Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Seruni. Seruni adalah seorang business woman yang sukses, seorang istri dan seorang ibu dari dua orang anak. Kira-kira tiga tahun yang lalu, ia mengalami gangguan kecemasan yang cukup berat, disertai fase-fase depresi. Bila serangan kecemasan menerpanya, ia dipenuhi rasa panik. Tubuhnya menegang disertai keringat dingin, jantung berdebar-debar, nafas menjadi sesak dan Seruni merasa dunianya seolah hendak runtuh. Beberapa psikiater ternama telah dikunjunginya, dan pengobatan psikiatris terbaik sudah dikonsumsinya. Kondisinya tidak kunjung membaik. Salah seorang psikiater senior yang dikunjunginya, dengan bijak mengatakan bahwa ia tidak akan mengalami kemajuan bilamana ia belum menghadapi kenyataan pahit yang coba dihindarinya.

Kenyataan pahit apakah yang tak mau dihadapi perempuan cantik, cerdas dan sukses seperti Seruni? Yaitu kenyataan bahwa di mata suaminya, ia seolah tiada. Sekalipun mereka berduaan di rumah, suaminya jarang menegurnya ataupun menyentuhnya. Seruni merasa dirinya seolah tembus pandang dan suaminya dapat memandang melaluinya. Komunikasi di antara mereka terasa tawar dan mekanis. Seruni seringkali harus memancing pertengkaran dengan suaminya, hanya agar merasa ada masih kontak di antara mereka.

Text Box: The Invisible WomanSeruni akhirnya menyerah dan tidak lagi berupaya untuk menghangatkan kembali relasi di antara mereka. Maka ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas yang seabreg untuk mengisi kehampaan yang dirasakannya. Seruni pada dasarnya memang menyukai pekerjaannya, sehingga dengan mencurahkan diri sepenuhnya di pekerjaan, ia pun mencapai sukses melebihi yang diharapkannya. Namun sukses dan pencapaian yang hebat tidak dapat memenuhi rongga kosong dalam jiwanya. Eksistensinya terus menciut dan mencapai titik terendah ketika ia mulai diserang rasa panik. Panik yang sesungguhnya mencerminkan ancaman ketiadaan pada keberadaan dirinya.

Pengobatan medis ternyata tidak banyak meringankan derita Seruni. Ia baru merasa dirinya ada dan hilang gejala-gejala kecemasannya ketika ia menjalin suatu relasi ekstramarital dengan lelaki lain. Menurut Seruni, lelaki itu sebenarnya tidak dapat dikatakan lebih tampan, atau lebih hebat daripada suaminya. Tetapi lelaki itu dapat merespon keberadaan dirinya, dan bersamanya Seruni merasa dirinya ada. Seruni tahu bahwa relasi ekstramarital yang dijalinnya itu adalah keliru dan tak dapat diteruskan untuk selamanya, namun ia pun ragu untuk menghentikannya karena ia takut ia akan terlempar kembali pada ketiadaan seperti dahulu. Seruni datang konseling untuk memecahkan konflik tersebut.

 

Keberadaan manusia bersama manusia lain

Dalam analisisnya tentang keberadaan manusia, filsuf Martin Heidegger mengajukan dua postulat. Salah satunya mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan bersama manusia lain. Manusia tidak dapat mengada seorang diri, melainkan ia hanya dapat mengada dengan melangsungkan dialog dalam suatu kebersamaan dengan orang lain. Keberadaan manusia dapat diibaratkan tarian tango yang hanya akan tetap ada selama kedua penarinya berinteraksi secara harmonis dalam alunan musik. Kalau salah satu saja dari penari tersebut menghentikan tariannya, maka lenyap pula tarian tango yang indah itu.

Seseorang tidak dapat merasakan bahwa dirinya ada dan mengenal dirinya sendiri bila tidak melalui orang lain. Sebagaimana seseorang tidak dapat memandang wajahnya sendiri kecuali bila ia melihat pantulan dirinya dari kaca cermin, demikian pula seseorang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan merasakan keberadaannya kecuali bila ia mendapat respon dan cerminan dari orang lain. Respon dan cerminan tentang diri kita yang kita peroleh dari orang lain, memiliki pengaruh yang besar pada penghayatan kita tentang keberadaan diri dan bagaimana kita memandang diri sendiri. Misalnya: seorang anak akan memandang dirinya sendiri sebagaimana pantulan yang didapatkan dari ibunya. Sang bunda yang memandang wajah sang anak sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih seolah memantulkan pada anak itu suatu konfirmasi bahwa dirinya berharga dan dicintai. Dengan demikian terbentuklah citra diri yang positif dalam diri anak tersebut. Anak merasa dirinya ada dan berharga. Bila pantulan yang dilihat anak tentang dirinya dari ibunya adalah pantulan yang negatif, maka anak pun akan memandang dirinya negatif. Bila sang ibu tidak merespon kehadiran anak dan menganggapnya seolah tiada, maka penghayatan anak bahwa dirinya ada pun akan terancam.

 

Tatapan yang meneguhkan atau membekukan

Text Box: MedusaTatapan orang lain pada kita dapat meneguhkan keberadaan kita, dan sebaliknya dapat pula membekukannya. Saat seseorang memandang kita sebagai pribadi sebagaimana kita adanya, keberadaan kita diteguhkan. Kita merasa dimengerti dan diterima. Tatapan orang lain itu menghidupkan dan menumbuhkan. Namun, saat orang lain memandang kita bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai suatu objek, maka pandangannya tersebut membekukan keberadaan diri kita, bagaikan pandangan Medusa. Saat melakukan public speaking, mungkin kita semua pernah merasakan momen di mana kita berdiri dengan gemetar di muka banyak orang yang menatap kita. Tatapan mata mereka serasa menembus diri kita dan kita menjadi kecil di mata mereka. Saya pernah mendapatkan seorang klien yang selalu merasa lumpuh dan menjadi bodoh setiap kali ia berjumpa dan berinteraksi dengan ibunya; padahal klien itu sejatinya adalah seorang yang sangat cerdas dan berprestasi. Ibunya tak pernah memandang dan memperlakukannya sebagai pribadi sebagaimana adanya. Maka orang itu merasa dirinya adalah benda di mata ibunya dan pandangan ibunya itu membekukan kemungkinannya untuk mengada.

Dinamika yang sama terjadi dalam interaksi Seruni dan suaminya. Seruni merasa putus asa karena tidak pernah dapat melihat pantulan dirinya di mata suaminya. Keberadaan dirinya tidak direspon oleh suaminya. Tanpa respon dan pantulan dari suaminya, Seruni merasa dirinya tiada. Ia bagaikan hantu yang tembus pandang dan tidak memiliki bayangan di cermin. Kalaupun suami sesekali dapat memandang dirinya, tatapan mata suami tidak pernah memandang Seruni sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai objek. Tatapan mata yang mengobjektivikasi tersebut membekukan keberadaan dan kemungkinan Seruni untuk mengada.

Pelarian Seruni pada kesibukan di pekerjaan tidak dapat menyelamatkannya. Ia ingin mempertahankan eksistensi dirinya dengan berbagai pencapaian yang diperolehnya. Namun tidak pernah ada prestasi sebesar apapun yang dapat menatap balik padanya dan membuatnya merasa ada. Yang dicarinya adalah mata yang dapat melihat dirinya dan memantulkan siapa dirinya sebagaimana adanya.

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta

Remembrance

Jika semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalam mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya?

Suatu hari di tepi pantai, riak-riak air saling berbicara satu sama lain. Salah satu riak kecil berkata, "Oh, betapa hebatnya gelombang besar itu! Ia sangat dahsyat, dapat mengangkat kapal yang paling besar, dapat pula mengempaskannya ke karang. Betapa tak berartinya aku dibandingkan dengannya".

Riak air yang lain menyetujui pandangan riak yang pertama tadi dan mereka semua tertunduk lesu, merasa diri begitu kecil dan tak berarti. Salah satu riak air yang bijaksana berkata, "Saudaraku... engkau keliru.. Engkau tidak berbeda daripadanya... Sesungguhnya, kita (riak kecil) dan dia (gelombang besar) sama saja.. kita adalah air..".

Ketika riak kecil tadi mendengar perkataan temannya, hatinya yang murung seketika menjadi cerah. Ia menyadari bahwa sekalipun kelihatannya begitu berbeda antara dirinya yang hanya riak kecil dan gelombang besar nan dahsyat; sesungguhnya mereka sama: mereka adalah air...

Beberapa waktu yang lalu penulis menerima sepucuk surat dari orang yang tak dikenal. Ternyata yang menulis surat tersebut adalah seorang pasien skizofrenia yang sedang berobat jalan. Sebut saja pasien tersebut bernama Yanto (bukan nama sesungguhnya). Yanto rupanya membaca salah satu buku karya penulis dan terkesan oleh isinya. Ia terdorong untuk menulis surat, memuji buku karya penulis dan kemudian banyak bercerita tentang riwayat hidupnya.

Penulis yang bersimpati pada perjalanan hidup Yanto dan perjuangannya untuk memulihkan diri, membalas surat tersebut sehingga terjadi korespondensi untuk beberapa waktu. Salah satu hal yang menarik perhatian dari surat-surat Yanto adalah: Di dalam surat-suratnya, Yanto selalu merendahkan diri secara berlebihan (self-devaluating) dan menyebut diri orang yang hina dan tak berarti. Sebaliknya ia selalu meninggikan dan memuji (idealizing) penulis.

Di dalam literatur Psikoanalisis, perilaku yang ditunjukkan oleh Yanto merupakan salah satu defense mechanism yang disebut idealization, yaitu upaya mengatasi rasa rendah diri yang ekstrem dengan cara mengidealisasikan orang lain dan memiliki fantasi menyatu dengan/diterima oleh orang tersebut.

Di dalam defense mechanism ini, pasien mendistorsikan pandangan tentang dirinya sendiri berupa devaluasi diri yang ekstrem, dan juga mendistorsikan pandangan tentang orang lain berupa penghargaan yang berlebihan. Pasien yang melakukan ideali- zation akan tergantung secara emosional pada objek idealisasinya.

Bila objek (orang) tersebut menerimanya, ia akan bahagia; namun bila objek tersebut menolaknya, ia akan merasa sangat terpuruk dan terluka. Maka, akan selalu jadi kekhawatiran besar bagi pasien, apakah ia cukup baik untuk diterima dan dikasihi oleh objek idealisasinya ataukah tidak. Keraguan diri yang amat besar akan selalu membuatnya terombang-ambing antara emosi positif dan emosi negatif. Hal ini menjadi sumber penderitaan baginya.

Devaluasi Diri

Cerita di atas adalah contoh ekstrem tentang seseorang yang melakukan devaluasi diri, dan sangat menderita karenanya. Namun, devaluasi diri tidak hanya ditemui pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa berat, melainkan dalam berbagai tingkatan sangat mudah dijumpai pada banyak orang, dari berbagai tingkatan sosial-ekonomi dan beragam latar belakang budaya. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan kekurangan dalam diri sendiri ataupun dalam diri orang lain; sebaliknya tidak mudah melihat dan mengakui suatu kebaikan dalam diri.

Devaluasi diri adalah salah satu sumber utama penderitaan bagi manusia. Devaluasi diri bukanlah sesuatu yang alami, melainkan merupakan suatu penyimpangan karena bertentangan dengan hasrat dasar yang ada pada semua manusia, yaitu hasrat agar dirinya dipandang baik, diterima, dimengerti, dicintai. Dan tahukah anda? Hasrat tersebut sepenuhnya sah! Semua orang memang berhak dipandang baik, diterima, dimengerti dan dicintai, karena manusia pada dasarnya adalah baik. Pada mulanya semua orang adalah baik, dan tidak ada keinginan lain dalam dirinya selain untuk menjadi baik dan mewujudkan potensi kebaikan yang dimilikinya.

Dapatkah anda menerima itu? Bahwa anda sesungguhnya adalah baik, dan keinginan anda yang terdalam adalah untuk menjadi baik. Kalau anda sungguh percaya bahwa anda diciptakan oleh Yang Maha Baik, maka mestinya anda yakin bahwa anda pasti baik. Dan kalau saja anda sungguh mengerti bahwa anda (sudah selalu) baik, maka secara alami kebaikan dalam diri anda akan bertumbuh, sehingga anda tidak perlu mati-matian berusaha untuk menjadi lebih baik.

Usaha yang (terlalu) keras untuk menjadi lebih baik adalah suatu pengakuan bahwa anda masih menyimpan keraguan dan merasa diri tidak baik. Semakin anda berusaha untuk menjadi lebih baik, bukankah semakin buruk jadinya?

Kalau semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalamnya adalah mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya? Mengapa banyak sekali orang yang dalam perjalanan hidupnya akhirnya menyangkal dan menolak kebaikan dalam diri mereka dan menjadi "buruk?" Abraham Maslow menyebut gejala penolakan akan kebaikan diri itu the Jonah's Syndrome (sindrom Yunus). Kita mengetahui cerita Nabi Yunus, yang memilih lari dari perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan. Yunus adalah contoh ekstrem seorang manusia yang enggan dan menolak panggilan Tuhan. Ia bukan satu-satunya Nabi yang melakukan hal tersebut.

Nabi Musa pada mulanya mencoba berkelit dari panggilan Tuhan untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir karena merasa dirinya tidak pandai bicara. Nabi Yeremia, ketika dipanggil Tuhan juga merasa dirinya tidak pantas dan masih terlalu muda; dan masih banyak contoh lain. Yunus mungkin adalah contoh yang paling ekstrem. Ketika Tuhan mendekatinya, ia lari daripadanya, meskipun sebenarnya hal tersebut adalah absurd.

Seseorang tidak dapat lari dari Tuhan, karena Tuhan senantiasa ada di dalam kita dan kita senantiasa ada di dalamNya. Maka, lari dari Tuhan seperti yang dilakukan Yunus hanyalah ilusi. Yang sebenarnya dilakukannya adalah lari dari dirinya sendiri. Bukan Tuhan yang menolaknya, tapi dirinya sendirilah yang menolak diri.

Kesejatian Diri

Dan apakah sumber penolakan diri tersebut? Tidak lain daripada keabaian/ ketidaksadaran akan kesejatian diri (ignorance of the true self). Sejatinya manusia adalah kudus dan Fitri, putih bersih dan kaya akan cinta Allah. Orang Kristen menyebut bahwa manusia adalah anak Allah yang ditempatkan di Eden (Nirvana). Tidak ada penderitaan di Eden, karena di Eden manusia mengenal identitasnya yang terdalam, yaitu anak Allah.

Para pembaca yang budiman, anda ingat cerita tentang anak yang hilang? Anak bungsu yang meminta warisan dari Bapanya, pergi dan berfoya-foya menikmati segala kesenangan dunia, sampai akhirnya ia jatuh miskin dan menjadi penjaga ternak babi. Anak bungsu itu adalah simbol manusia yang melupakan identitasnya sebagai anak Allah dan memisahkan diri dari Allah.

Tidak ada kemiskinan yang lebih parah daripada kehilangan identitas diri. Dan saat si anak bungsu melupakan identitasnya yang sejati, ia menjadi yang termiskin di dunia, padahal sebenarnya ia kaya raya. Saat itu ia berpindah dari Surga ke Neraka. Neraka bukanlah suatu tempat penyiksaan yang nanti akan ditempati orang berdosa setelah mati. Neraka adalah kondisi penderitaan yang terdalam karena abai/tak sadar/lupa akan identitas sejati.

Remembrance

Maka solusi untuk mengatasi akar penderitaan manusia adalah dengan penyadaran untuk mengingat kembali identitasnya yang sejati. Ken Wilber, seorang tokoh Integral Psychology, menyebut proses penyadaran ini dengan istilah remembrance, yaitu mengingat kembali.

Yang dimaksudkannya adalah: Nirvana, Eden, pencerahan, transendensi atau apapun istilahnya, bukanlah sesuatu yang semula tiada yang kemudian ditambahkan pada diri kita, Ia sudah selalu ada sejak semula!

Pada mulanya manusia tidak miskin papa akan segala sesuatu yang paling dibutuhkannya untuk mengalami kebahagiaan sejati; sebaliknya, pada mulanya manusia sudah kaya raya dan memiliki utuh kebahagiaan sejati tersebut.

Maka Ken Wilber mengatakan proses transendensi adalah proses remembrance. Seperti anak bungsu di dalam cerita, yang di puncak penderitaannya ingat kembali pada rumah Bapanya, pada siapa dirinya sesungguhnya dan mulai berjalan pulang, maka proses "penyembuhan" akan penderitaan jiwa kita yang terdalam adalah proses penyadaran untuk mengingat kembali siapa diri kita yang sesungguhnya.

Dan saat kita memandang kembali pantulan diri kita dalam tatapan penuh kasih sang Bapa, kita akan tertegun menatap kembali wajah kita yang sesungguhnya, wajah yang sudah selalu ada sebelum segala penderitaan hidup ini dimulai. Wajah anak yang terkasih.

Iman Setiadi Arif, Dekan Fakultas Psikologi Ukrida 

Hoki

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

 

Apakah anda percaya pada nasib/peruntungan? Apakah anda masih termasuk orang yang diam-diam percaya pada ramalan nasib, feng shui, hari baik/sial? Apakah masih menghindar berkantor di lantai 13? Apakah anda masih enggan menempati rumah no 4 atau yang tusuk sate? Tidak usah khawatir atau merasa diri anda buruk, anda tidak sendiri…

Di jaman modern (bahkan postmodern!) seperti ini, memang kesannya naïf bila masih mempercayai nasib yang telah ditentukan sebelumnya. Cara berpikir seperti itu dengan mudah dituduh sebagai “ketinggalan jaman”, “tahyul”, “irasional” dan masih terperangkap dalam jaman animisme.

Buku-buku dan para peneliti psikologi modern berusaha meyakinkan kita bahwa nasib manusia berada dalam tangannya sendiri. Manusia bebas! Manusia bukan budak nasib ataupun berbagai kekuatan di luar dirinya! Manusia sendiri yang menciptakan masa depan dan peruntungan kita. Manusia sendiri yang menentukan kebahagiaan/penderitaannya di dunia. Oleh karena itu, manusia memikul sendiri tanggung jawab atas “nasib”nya. Beberapa pihak dari kubu rasional ini bahkan sampai pada titik ekstrim yang merupakan konsekuensi logis dari posisinya: Tidak ada yang lain selain manusia itu sendiri. Jangan berharap pada kekuatan di luar anda untuk menolong anda keluar dari kubangan hidup anda. Salahkan diri sendiri kalau anda gagal dan tidak bahagia dalam hidup ini…

 

Depressing freedom

Tidakkah para psikolog dan ilumuwan modern itu membuat anda tertekan? Tidakkah begitu berat tanggung jawab yang harus kita pikul menyangkut keberadaan diri kita? Dan apa anda yakin anda akan mampu membuat hidup anda bahagia? Bagaimana kalau tidak mampu? Are you sure?

Nyatanya para psikolog dan ilmuwan itu tidak terlalu berhasil dalam membuat manusia modern menjadi “lebih rasional” dan percaya diri dalam menatap masa depan. Rupanya dalam benak begitu banyak orang masih timbul penolakan akan rasionalitas dan tanggung jawab besar yang menyertainya. Terlalu mengerikan bahwa saya harus bertanggungjawab sepenuhnya akan hidup saya. Maka, bagi banyak manusia modern, ada sikap mendua dalam menyambut “pembebasan” yang dijanjikan oleh rasionalitas dan modernitas. Di satu sisi, pencarian mereka akan kesenangan  narcissistic membuat mereka merangkul berbagai kemudahan dan kebebasan yang diberikan modernitas; di sisi lain kurangnya keberanian memikul tanggung jawab membuat mereka mudah sekali mencari pelarian pada berbagai janji-janji manis tentang masa depan yang indah yang dapat diperoleh dengan mudah, untuk memuaskan segala keinginan mereka.

 

The Secret

Buku dan DVD “The Secret” adalah salah satu fenomena marketing yang luar biasa. Di Amerika sendiri buku dan DVD ini menempati posisi best seller dalam daftar buku New York Times. Buku ini dibahas oleh berbagai media dan pengarang bukunya bolak-balik diwawancarai dalam berbagai talk show ngetop seperti Larry King, Oprah Winfrey dan Ellen DeGeneres. Masyarakat Indonesia tidak kalah hot menyambutnya.

Rahasia sukses The Secret adalah dengan menggunakan (dan membelokkan) pemikiran klasik, bahwa pikiran dan hasrat manusia memiliki kuasa dan daya magnet yang sangat powerful sehingga alam semesta akan terpikat memenuhi keinginan anda – apapun itu. “The law of attraction” yang aslinya memiliki muatan spiritual, sengaja dikemas dengan fokus pada peningkatan kekayaan. Salah seorang pendukung film The Secret mengatakan bahwa mereka memang mengincar sambutan luas dari massa, dan yang menjadi nomor satu dalam benak massa adalah uang. Jadi nafas dasarnya adalah pemenuhan hasrat-hasrat pribadi dengan bungkus spiritual yang telah dibajak untuk kepentingan lain. Berbaju Roh, tetapi dalamnya Daging.

Tidak semua orang yang menyambut buku ini motivasinya adalah kekayaan. Sebagian rupanya menyambut buku ini karena adanya nuansa spiritual di dalamnya dan persamaan-persamaan dengan berbagai tradisi besar keagamaan. Sebagaimana kita ketahui berbagai tradisi keagamaan mengajarkan manusia untuk berharap, memohon dan percaya bahwa permohonannya akan dikabulkan. Persamaan itu kentara sekali dalam “The Secret” (sekalipun telah dimanipulasi dengan semangat kapitalisme). Oleh karena itu, kelompok ini menyambut gembira kehadiran buku ini karena dianggap dapat menggairahkan kembali kepercayaan orang pada kuasa doa dan permohonan. Kelompok ini prihatin pada modernitas dan rasionalitas yang sangat menekankan kebebasan, free will dan individualitas, namun tidak sungguh-sungguh memberikan solusi pada berbagai masalah konkrit manusia, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Modernitas dan rasionalitas dianggap terlalu menjadikan manusia sebagai pusat, dan mengeringkan pengharapan bagi manusia. Dalam kerinduan akan alternatif lain daripada modernitas, mereka merasa mendapatkan angin segar dalam “The Secret”.

 

Prepersonal vs. Transpersonal

Salah seorang tokoh Integral Psychology, yaitu Ken Wilber telah mengemukakan gagasan tentang perkembangan manusia. Ia mengatakan bahwa manusia berkembang dari fase Prepersonal – di mana fokusnya adalah pada Body – dengan ciri berbagai hasrat kedagingan, sifat narcissistic dan pemikiran irasional atau prerasional. Ini adalah fase immature dalam perkembangan manusia. Di fase selanjutnya manusia beralih ke fase Personal – dimana fokusnya adalah Mind  - yang dicirikan oleh rasionalitas dan individualitas seperti tampak pada gerakan modernisme. Ini adalah fase mature perkembangan manusia. Puncak perkembangan manusia adalah fase Transpersonal yang fokusnya adalah Spirit, di mana rasionalitas telah mengalami transendensi (trans/post rational) dan kebersamaan dengan sesama manusia dan alam semesta dipulihkan. Ini adalah fase “real” mature perkembangan manusia.

Dalam pandangan Ken Wilber, berbagai tradisi besar keagamaan sebenarnya mengajak manusia meninggalkan irasionalitas dan narsisisme Body (Prepersonal), dan tidak berhenti pada rasionalitas dan individualisme Mind (Personal). Keduanya tidak akan memuaskan manusia dan tidak dapat melenyapkan ketakutan dalam hati manusia. Maka di dalam hati setiap manusia selalu tersimpan kerinduan pada Spirit (Transpersonal). Namun, tentu tidak mudah meninggalkan ikatan kenyamanan dan rasa aman semu dari fase Mind yang bebas-individualistis, apalagi fase Body yang mengejar kenikmatan. Dibutuhan keberanian dan “Iman” yang besar untuk tidak terfiksasi dan meninggalkan semua itu memasuki fase Spirit.

Dalam pembahasan kita tentang fenomena terpenuhinya berbagai keinginan seperti dipopulerkan oleh The Secret; tingkat kematangan kepribadian pemohonnya sangat berperan. Bila pemohonnya berada di fase Prepersonal – dengan ciri kedagingan (Body) dan narcissism yang menonjol, maka permohonan yang dibuatnya sangat diwarnai oleh upaya memuaskan hasrat-hasrat yang sifatnya egosentris. Hal ini bersesuaian sekali seperti dikatakan oleh Sigmund Freud tentang pleasure principle. Sekalipun mungkin upaya pemenuhan hasrat itu terselubung oleh bungkus spiritual, dalam wujud doa yang khusuk, tetapi tujuan aslinya sebenarnya adalah kenikmatan daging yang egosentris. Terpenuhinya “doa-doa” semacam ini tidak membawa manfaat bagi pemohonnya, bahkan membuatnya semakin sulit melepaskan diri dari fiksasi di fase Prepersonal. Setiap terpenuhinya suatu keinginan akan membuatnya semakin haus dan menginginkan hal yang lain.

Bagi pribadi yang sudah sungguh matang – yang telah berada di fase Transpersonal – doa dan permohonannya tidak lagi dimotivasi oleh upaya pemuasan hasrat-hasrat egosentris. Individu yang sudah mengenal kesejatian diri dan mengenal Penciptanya, memilih untuk tidak lagi mengejar keinginan-keinginan pribadinya yang sempit, melainkan berupaya agar kehendak yang lebih besar, yaitu kehendak Allah yang terlaksana. Doa permohonan semacam inilah yang sungguh memiliki kuasa yang besar; yang memiliki “law of attraction” yang luar biasa. Bagi pribadi semacam ini, memang benar bahwa doa dan harapannya memiliki kuasa yang besar, bahkan mampu memindahkan gunung sekalipun; namun paradoksnya adalah ia tidak lagi menggunakannya untuk memuaskan hasrat-hasrat pribadinya, melainkan berupaya agar kehendak Allah yang terlaksana. Terpenuhinya doa permohonan semacam ini akan membawa kebaikan bagi pemohonnya dan semakin menumbuhkan kepribadiannya.

Jadi, siapakah yang sungguh-sungguh “hoki” dan berbahagia? Apakah dia yang hasrat-hasrat pribadinya terpenuhi, ataukah dia yang memohon dan melaksanakan kehendak Allah? Pembaca yang budiman, semoga kita semua mencari hal-hal yang sungguh asasi dan tidak menyibukkan diri dengan ranting dan dedaunan saja..

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta)

Diri yang tercabik


Suatu ketika, ada seorang bapak menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Yoseph (bukan nama sesungguhnya). Yoseph seorang pria berusia 30an, sudah menikah dan memiliki seorang anak. Ia sudah lama memendam masalah dalam dirinya, dan sekarang ia mencari bantuan karena merasa sudah tidak tahan akan siksaan dalam dirinya. Yoseph merasa dirinya sangat cepat marah, dan bila sedang marah ia butuh untuk menghancurkan sesuatu. Apa saja yang ada di dekatnya akan dihancurkannya sebagai pelampiasan kemarahannya. Sebenarnya ia sangat ingin untuk tidak marah, tapi bila kemarahan datang sangat sulit baginya untuk menahan diri. Ia seringkali menyesali perbuatannya bilamana kemarahan telah mereda. Yang paling disesalinya adalah seringkali ia memukul istri dan anak, saat sedang terbakar amarah. Setiap kali itu terjadi, ia akan sangat menyesal (namun tak dapat menahan diri untuk melakukan lagi). Ia beralasan bahwa seharusnya istrinya tahu apa keinginannya, tapi ternyata tidak. Yoseph juga merasa dirinya cepat lelah dan sering merasakan ketegangan di sekitar kepala dan leher.

Yoseph berasal dari keluarga broken home. Di keluarga asalnya, ibunya adalah pribadi yang jauh lebih dominan daripada ayahnya. Ibu sangat pemarah. Ibu seringkali memukuli suami dan anak-anak. Kalau sedang marah ia akan melempari suami dan anak-anaknya dengan berbagai benda, bahkan pernah suatu ketika melempari anak dengan pisau – untungnya luput. Salah satu kenangan yang diingat Yoseph adalah ketika ibunya mengamuk ia diseret di jalan berkerikil oleh ibunya, sampai badannya penuh luka. Ayah tidak pernah dapat melindungi keluarga. Bila istrinya sedang mengamuk, ia akan lari dari rumah, membiarkan anak-anak yang menjadi bulan-bulanan istrinya. Mereka akhirnya bercerai saat usia Yoseph 10 tahun. Sejak itu Yoseph dan adik-adiknya dipelihara nenek.

Bila kita menyimak cerita pak Yoseph tentang masa kecilnya, sekalipun hanya sekilas, cukup nyata bahwa masa kecilnya penuh dengan terror dan trauma kekerasan dalam keluarga. Di keluarga Yoseph, ibu yang terutama melakukan kekerasan pada anggota keluarga lain. Ayah kalah oleh ibu, dan bersama anak-anak, turut menjadi pihak yang dipukuli dan dilempari oleh ibu, bilamana ibu sedang meledak kemarahannya. Sangat jelas bahwa pengalaman akan kekerasan dan ditinggalkan, akan menimbulkan trauma bagi anak-anak. Pengalaman traumatik di masa kecil ini memiliki pengaruh yang besar pada kepribadian dan perilaku Yoseph saat ini.

 

Kekerasan yang mencabik diri

Setiap kekerasan berat pada anak dapat merusak perkembangan kepribadiannya. Kekerasan yang dialami Yoseph menjadi lebih berat dampaknya karena ibu yang melakukannya, sementara ayah tak berdaya dan tak cukup dapat melindungi. Ibu yang biasanya adalah figur loving dan nurturance, sekarang justru menjadi figur yang melakukan terror. Dalam peristilahan object relations theory, ibu adalah persecutory object. Ia adalah bad object yang menakutkan.

Saat seorang anak menghadapi kekerasan seperti ini, ia melakukan defense mechanism yang disebut identification with the aggressor. Yaitu sebagai suatu desperate effort untuk melindungi diri, anak mengubah sebagian dirinya menjadi serupa dengan sang aggressor. Yoseph menginternalisasi ibunya ke dalam dirinya. Pada saat terror terjadi, mekanisme ini berguna menjaga untuk sedapat-dapatnya menjaga keutuhan kepribadiannya; namun setelah menjadi bagian dari dirinya, efeknya menjadi lebih buruk. Sebagian ego Yoseph telah mengalami pemisahan dan menjadi serupa dengan persecutory object, yaitu ibu. Ibu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam dirinya. Maka, di dalam diri Yoseph, terror sebagaimana yang dilakukan ibu padanya di masa lalu, terus berlangsung. Hingga hari ini. Dengan kata lain, di dalam diri Yoseph terus berlangsung penyiksaan dan abuse oleh sebagian dirinya (yang serupa dengan ibu) kepada sebagian dirinya yang lain (yang serupa dengan Yoseph kecil). Dari pemeriksaan dengan teknik proyektif terlihat bahwa trauma berat di masa kecil, ternyata telah mencabik-cabik kepribadian Yoseph, sehingga saling berkonflik satu sama lain.

Ayah yang lemah dan tak dapat melindungi anak-anak – malah tampaknya cenderung menyelamatkan diri sendiri – juga memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak-anak, khususnya Yoseph sebagai anak laki-laki. Sebagai anak laki-laki, Yoseph mempunyai kebutuhan agar dapat secara alami menghormati dan mengagumi ayah. Ayah mesti tampil sebagai pribadi yang berwibawa, kuat dan menimbulkan rasa aman dan terlindungi bagi anak-anak. Ayah Yoseph gagal memberikan itu. Bukan cuma kekecewaan yang dialami oleh Yoseph melihat kelemahan ayahnya; tapi juga kegagalan dalam membentuk soothing object; yaitu kapasitas untuk menenangkan diri dan membangun rasa aman saat menghadapi kecemasan dan kesulitan dalam kehidupan. Yoseph tumbuh dewasa tanpa mampu mengembangkan kapasitas tersebut.

Oleh karena itu, kita dapat mengerti, bilamana Yoseph tersengat emosinya oleh sesuatu, kemampuannya untuk self soothing (menenangkan diri) sangat terbatas. Karena sakit hati dan trauma yang begitu besar, Yoseph berkembang menjadi pribadi yang mudah terbakar oleh kemarahan dan tidak dapat mengendalikan diri. Bila sudah terbakar kemarahan, ironisnya adalah Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, yaitu melakukan kekerasan pada istri dan anak-anaknya.

 

Akibat kekerasan pada identitas seksual

Yoseph sebagai seorang anak laki-laki, seharusnya mengidentifikasikan diri kepada ayah, sehingga menjadi laki-laki sejati. Namun, karena ayah lemah dan ibu jauh lebih “perkasa”, identifikasi ini tampaknya telah gagal terjadi dalam kepribadian Yoseph. Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, bukan hanya dalam kekerasan, tapi juga dalam hal identitas seksual. Di dalam ketidaksadarannya, jauh di dalam inti dirinya, tampaknya Yoseph tidak merasa bahwa dirinya cukup lelaki dan cukup jantan, melainkan justru merasa diri perempuan.

Sekarang kita dapat lebih mengerti lapisan lain dari perilaku kekerasan yang dilakukan Yoseph, mengapa Yoseph menjadi sangat pemarah dan agresif sehingga memukuli istri dan anaknya. Ia menjadi demikian karena sebagian dirinya serupa dengan ibunya yang juga agresif. Namun kita juga mengerti bahwa setiap kali Yoseph gelap mata saat dibakar kemarahan, bukan cuma kekerasan terhadap orang lain yang ia lakukan, melainkan di saat yang sama sebenarnya ia juga mencabik (lagi) dirinya sendiri. Setiap kali melakukan pemukulan terhadap istri atau anak, ia merasa dirinya serasa mau pecah, dan keseimbangan kepribadiannya terancam  runtuh.

Identitas laten sebagai perempuan tentunya akan memicu konflik lebih jauh lagi. Yoseph yang deep inside tidak merasa jantan, akan merasa lemah dan terus meragukan kejantanan dirinya. Ia merasa perlu membuktikan kejantanannya. Yoseph mungkin akan dapat berbuat nekad dan menantang bahaya agar dapat membungkam tuduhan dari dirinya sendiri bahwa ia kurang jantan. Ini juga adalah salah satu penyebab kenapa ia memukuli istri. Pemukulan terhadap istri adalah upaya tak sadar untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa ia lelaki.

Pembuktian kelelakian diri ini menjadi urgent bagi Yoseph, bahkan cenderung menjadi obsesi, karena ia takut sisi perempuan dalam dirinya yang lebih kuat, akan benar-benar menelan sisi lelakinya, sehingga ia sepenuhnya menjadi perempuan seperti ibunya. Inilah ketakutannya yang terbesar.

Yoseph sangat menderita karena ia berperang dengan dirinya sendiri. Ia memiliki norma-norma agama yang cukup kuat, sehingga ia tahu bahwa pemukulan terhadap istri dan anak adalah salah. Namun ia tidak dapat menahan diri dan terus melakukannya kembali. Maka Yoseph dihukum oleh rasa bersalah. Konflik terberat yang dialaminya adalah ia benci dan tidak mau menjadi seperti ibunya, tapi ia mendapati bahwa ia dalam banyak hal serupa dengan ibunya, bahkan dalam identitas seksual. Kenyataan ini yang paling mengerikan baginya.

Yoseph membutuhkan terapi mendalam dan jangka panjang untuk menyatukan lagi kepribadiannya yang tercerai berai, membangun kembali identitas – termasuk identitas seksual – yang lebih adekuat.

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta