Senin, 29 September 2008

Hoki

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

 

Apakah anda percaya pada nasib/peruntungan? Apakah anda masih termasuk orang yang diam-diam percaya pada ramalan nasib, feng shui, hari baik/sial? Apakah masih menghindar berkantor di lantai 13? Apakah anda masih enggan menempati rumah no 4 atau yang tusuk sate? Tidak usah khawatir atau merasa diri anda buruk, anda tidak sendiri…

Di jaman modern (bahkan postmodern!) seperti ini, memang kesannya naïf bila masih mempercayai nasib yang telah ditentukan sebelumnya. Cara berpikir seperti itu dengan mudah dituduh sebagai “ketinggalan jaman”, “tahyul”, “irasional” dan masih terperangkap dalam jaman animisme.

Buku-buku dan para peneliti psikologi modern berusaha meyakinkan kita bahwa nasib manusia berada dalam tangannya sendiri. Manusia bebas! Manusia bukan budak nasib ataupun berbagai kekuatan di luar dirinya! Manusia sendiri yang menciptakan masa depan dan peruntungan kita. Manusia sendiri yang menentukan kebahagiaan/penderitaannya di dunia. Oleh karena itu, manusia memikul sendiri tanggung jawab atas “nasib”nya. Beberapa pihak dari kubu rasional ini bahkan sampai pada titik ekstrim yang merupakan konsekuensi logis dari posisinya: Tidak ada yang lain selain manusia itu sendiri. Jangan berharap pada kekuatan di luar anda untuk menolong anda keluar dari kubangan hidup anda. Salahkan diri sendiri kalau anda gagal dan tidak bahagia dalam hidup ini…

 

Depressing freedom

Tidakkah para psikolog dan ilumuwan modern itu membuat anda tertekan? Tidakkah begitu berat tanggung jawab yang harus kita pikul menyangkut keberadaan diri kita? Dan apa anda yakin anda akan mampu membuat hidup anda bahagia? Bagaimana kalau tidak mampu? Are you sure?

Nyatanya para psikolog dan ilmuwan itu tidak terlalu berhasil dalam membuat manusia modern menjadi “lebih rasional” dan percaya diri dalam menatap masa depan. Rupanya dalam benak begitu banyak orang masih timbul penolakan akan rasionalitas dan tanggung jawab besar yang menyertainya. Terlalu mengerikan bahwa saya harus bertanggungjawab sepenuhnya akan hidup saya. Maka, bagi banyak manusia modern, ada sikap mendua dalam menyambut “pembebasan” yang dijanjikan oleh rasionalitas dan modernitas. Di satu sisi, pencarian mereka akan kesenangan  narcissistic membuat mereka merangkul berbagai kemudahan dan kebebasan yang diberikan modernitas; di sisi lain kurangnya keberanian memikul tanggung jawab membuat mereka mudah sekali mencari pelarian pada berbagai janji-janji manis tentang masa depan yang indah yang dapat diperoleh dengan mudah, untuk memuaskan segala keinginan mereka.

 

The Secret

Buku dan DVD “The Secret” adalah salah satu fenomena marketing yang luar biasa. Di Amerika sendiri buku dan DVD ini menempati posisi best seller dalam daftar buku New York Times. Buku ini dibahas oleh berbagai media dan pengarang bukunya bolak-balik diwawancarai dalam berbagai talk show ngetop seperti Larry King, Oprah Winfrey dan Ellen DeGeneres. Masyarakat Indonesia tidak kalah hot menyambutnya.

Rahasia sukses The Secret adalah dengan menggunakan (dan membelokkan) pemikiran klasik, bahwa pikiran dan hasrat manusia memiliki kuasa dan daya magnet yang sangat powerful sehingga alam semesta akan terpikat memenuhi keinginan anda – apapun itu. “The law of attraction” yang aslinya memiliki muatan spiritual, sengaja dikemas dengan fokus pada peningkatan kekayaan. Salah seorang pendukung film The Secret mengatakan bahwa mereka memang mengincar sambutan luas dari massa, dan yang menjadi nomor satu dalam benak massa adalah uang. Jadi nafas dasarnya adalah pemenuhan hasrat-hasrat pribadi dengan bungkus spiritual yang telah dibajak untuk kepentingan lain. Berbaju Roh, tetapi dalamnya Daging.

Tidak semua orang yang menyambut buku ini motivasinya adalah kekayaan. Sebagian rupanya menyambut buku ini karena adanya nuansa spiritual di dalamnya dan persamaan-persamaan dengan berbagai tradisi besar keagamaan. Sebagaimana kita ketahui berbagai tradisi keagamaan mengajarkan manusia untuk berharap, memohon dan percaya bahwa permohonannya akan dikabulkan. Persamaan itu kentara sekali dalam “The Secret” (sekalipun telah dimanipulasi dengan semangat kapitalisme). Oleh karena itu, kelompok ini menyambut gembira kehadiran buku ini karena dianggap dapat menggairahkan kembali kepercayaan orang pada kuasa doa dan permohonan. Kelompok ini prihatin pada modernitas dan rasionalitas yang sangat menekankan kebebasan, free will dan individualitas, namun tidak sungguh-sungguh memberikan solusi pada berbagai masalah konkrit manusia, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Modernitas dan rasionalitas dianggap terlalu menjadikan manusia sebagai pusat, dan mengeringkan pengharapan bagi manusia. Dalam kerinduan akan alternatif lain daripada modernitas, mereka merasa mendapatkan angin segar dalam “The Secret”.

 

Prepersonal vs. Transpersonal

Salah seorang tokoh Integral Psychology, yaitu Ken Wilber telah mengemukakan gagasan tentang perkembangan manusia. Ia mengatakan bahwa manusia berkembang dari fase Prepersonal – di mana fokusnya adalah pada Body – dengan ciri berbagai hasrat kedagingan, sifat narcissistic dan pemikiran irasional atau prerasional. Ini adalah fase immature dalam perkembangan manusia. Di fase selanjutnya manusia beralih ke fase Personal – dimana fokusnya adalah Mind  - yang dicirikan oleh rasionalitas dan individualitas seperti tampak pada gerakan modernisme. Ini adalah fase mature perkembangan manusia. Puncak perkembangan manusia adalah fase Transpersonal yang fokusnya adalah Spirit, di mana rasionalitas telah mengalami transendensi (trans/post rational) dan kebersamaan dengan sesama manusia dan alam semesta dipulihkan. Ini adalah fase “real” mature perkembangan manusia.

Dalam pandangan Ken Wilber, berbagai tradisi besar keagamaan sebenarnya mengajak manusia meninggalkan irasionalitas dan narsisisme Body (Prepersonal), dan tidak berhenti pada rasionalitas dan individualisme Mind (Personal). Keduanya tidak akan memuaskan manusia dan tidak dapat melenyapkan ketakutan dalam hati manusia. Maka di dalam hati setiap manusia selalu tersimpan kerinduan pada Spirit (Transpersonal). Namun, tentu tidak mudah meninggalkan ikatan kenyamanan dan rasa aman semu dari fase Mind yang bebas-individualistis, apalagi fase Body yang mengejar kenikmatan. Dibutuhan keberanian dan “Iman” yang besar untuk tidak terfiksasi dan meninggalkan semua itu memasuki fase Spirit.

Dalam pembahasan kita tentang fenomena terpenuhinya berbagai keinginan seperti dipopulerkan oleh The Secret; tingkat kematangan kepribadian pemohonnya sangat berperan. Bila pemohonnya berada di fase Prepersonal – dengan ciri kedagingan (Body) dan narcissism yang menonjol, maka permohonan yang dibuatnya sangat diwarnai oleh upaya memuaskan hasrat-hasrat yang sifatnya egosentris. Hal ini bersesuaian sekali seperti dikatakan oleh Sigmund Freud tentang pleasure principle. Sekalipun mungkin upaya pemenuhan hasrat itu terselubung oleh bungkus spiritual, dalam wujud doa yang khusuk, tetapi tujuan aslinya sebenarnya adalah kenikmatan daging yang egosentris. Terpenuhinya “doa-doa” semacam ini tidak membawa manfaat bagi pemohonnya, bahkan membuatnya semakin sulit melepaskan diri dari fiksasi di fase Prepersonal. Setiap terpenuhinya suatu keinginan akan membuatnya semakin haus dan menginginkan hal yang lain.

Bagi pribadi yang sudah sungguh matang – yang telah berada di fase Transpersonal – doa dan permohonannya tidak lagi dimotivasi oleh upaya pemuasan hasrat-hasrat egosentris. Individu yang sudah mengenal kesejatian diri dan mengenal Penciptanya, memilih untuk tidak lagi mengejar keinginan-keinginan pribadinya yang sempit, melainkan berupaya agar kehendak yang lebih besar, yaitu kehendak Allah yang terlaksana. Doa permohonan semacam inilah yang sungguh memiliki kuasa yang besar; yang memiliki “law of attraction” yang luar biasa. Bagi pribadi semacam ini, memang benar bahwa doa dan harapannya memiliki kuasa yang besar, bahkan mampu memindahkan gunung sekalipun; namun paradoksnya adalah ia tidak lagi menggunakannya untuk memuaskan hasrat-hasrat pribadinya, melainkan berupaya agar kehendak Allah yang terlaksana. Terpenuhinya doa permohonan semacam ini akan membawa kebaikan bagi pemohonnya dan semakin menumbuhkan kepribadiannya.

Jadi, siapakah yang sungguh-sungguh “hoki” dan berbahagia? Apakah dia yang hasrat-hasrat pribadinya terpenuhi, ataukah dia yang memohon dan melaksanakan kehendak Allah? Pembaca yang budiman, semoga kita semua mencari hal-hal yang sungguh asasi dan tidak menyibukkan diri dengan ranting dan dedaunan saja..

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta)

Tidak ada komentar: