Senin, 29 September 2008

Diri yang tercabik


Suatu ketika, ada seorang bapak menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Yoseph (bukan nama sesungguhnya). Yoseph seorang pria berusia 30an, sudah menikah dan memiliki seorang anak. Ia sudah lama memendam masalah dalam dirinya, dan sekarang ia mencari bantuan karena merasa sudah tidak tahan akan siksaan dalam dirinya. Yoseph merasa dirinya sangat cepat marah, dan bila sedang marah ia butuh untuk menghancurkan sesuatu. Apa saja yang ada di dekatnya akan dihancurkannya sebagai pelampiasan kemarahannya. Sebenarnya ia sangat ingin untuk tidak marah, tapi bila kemarahan datang sangat sulit baginya untuk menahan diri. Ia seringkali menyesali perbuatannya bilamana kemarahan telah mereda. Yang paling disesalinya adalah seringkali ia memukul istri dan anak, saat sedang terbakar amarah. Setiap kali itu terjadi, ia akan sangat menyesal (namun tak dapat menahan diri untuk melakukan lagi). Ia beralasan bahwa seharusnya istrinya tahu apa keinginannya, tapi ternyata tidak. Yoseph juga merasa dirinya cepat lelah dan sering merasakan ketegangan di sekitar kepala dan leher.

Yoseph berasal dari keluarga broken home. Di keluarga asalnya, ibunya adalah pribadi yang jauh lebih dominan daripada ayahnya. Ibu sangat pemarah. Ibu seringkali memukuli suami dan anak-anak. Kalau sedang marah ia akan melempari suami dan anak-anaknya dengan berbagai benda, bahkan pernah suatu ketika melempari anak dengan pisau – untungnya luput. Salah satu kenangan yang diingat Yoseph adalah ketika ibunya mengamuk ia diseret di jalan berkerikil oleh ibunya, sampai badannya penuh luka. Ayah tidak pernah dapat melindungi keluarga. Bila istrinya sedang mengamuk, ia akan lari dari rumah, membiarkan anak-anak yang menjadi bulan-bulanan istrinya. Mereka akhirnya bercerai saat usia Yoseph 10 tahun. Sejak itu Yoseph dan adik-adiknya dipelihara nenek.

Bila kita menyimak cerita pak Yoseph tentang masa kecilnya, sekalipun hanya sekilas, cukup nyata bahwa masa kecilnya penuh dengan terror dan trauma kekerasan dalam keluarga. Di keluarga Yoseph, ibu yang terutama melakukan kekerasan pada anggota keluarga lain. Ayah kalah oleh ibu, dan bersama anak-anak, turut menjadi pihak yang dipukuli dan dilempari oleh ibu, bilamana ibu sedang meledak kemarahannya. Sangat jelas bahwa pengalaman akan kekerasan dan ditinggalkan, akan menimbulkan trauma bagi anak-anak. Pengalaman traumatik di masa kecil ini memiliki pengaruh yang besar pada kepribadian dan perilaku Yoseph saat ini.

 

Kekerasan yang mencabik diri

Setiap kekerasan berat pada anak dapat merusak perkembangan kepribadiannya. Kekerasan yang dialami Yoseph menjadi lebih berat dampaknya karena ibu yang melakukannya, sementara ayah tak berdaya dan tak cukup dapat melindungi. Ibu yang biasanya adalah figur loving dan nurturance, sekarang justru menjadi figur yang melakukan terror. Dalam peristilahan object relations theory, ibu adalah persecutory object. Ia adalah bad object yang menakutkan.

Saat seorang anak menghadapi kekerasan seperti ini, ia melakukan defense mechanism yang disebut identification with the aggressor. Yaitu sebagai suatu desperate effort untuk melindungi diri, anak mengubah sebagian dirinya menjadi serupa dengan sang aggressor. Yoseph menginternalisasi ibunya ke dalam dirinya. Pada saat terror terjadi, mekanisme ini berguna menjaga untuk sedapat-dapatnya menjaga keutuhan kepribadiannya; namun setelah menjadi bagian dari dirinya, efeknya menjadi lebih buruk. Sebagian ego Yoseph telah mengalami pemisahan dan menjadi serupa dengan persecutory object, yaitu ibu. Ibu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam dirinya. Maka, di dalam diri Yoseph, terror sebagaimana yang dilakukan ibu padanya di masa lalu, terus berlangsung. Hingga hari ini. Dengan kata lain, di dalam diri Yoseph terus berlangsung penyiksaan dan abuse oleh sebagian dirinya (yang serupa dengan ibu) kepada sebagian dirinya yang lain (yang serupa dengan Yoseph kecil). Dari pemeriksaan dengan teknik proyektif terlihat bahwa trauma berat di masa kecil, ternyata telah mencabik-cabik kepribadian Yoseph, sehingga saling berkonflik satu sama lain.

Ayah yang lemah dan tak dapat melindungi anak-anak – malah tampaknya cenderung menyelamatkan diri sendiri – juga memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak-anak, khususnya Yoseph sebagai anak laki-laki. Sebagai anak laki-laki, Yoseph mempunyai kebutuhan agar dapat secara alami menghormati dan mengagumi ayah. Ayah mesti tampil sebagai pribadi yang berwibawa, kuat dan menimbulkan rasa aman dan terlindungi bagi anak-anak. Ayah Yoseph gagal memberikan itu. Bukan cuma kekecewaan yang dialami oleh Yoseph melihat kelemahan ayahnya; tapi juga kegagalan dalam membentuk soothing object; yaitu kapasitas untuk menenangkan diri dan membangun rasa aman saat menghadapi kecemasan dan kesulitan dalam kehidupan. Yoseph tumbuh dewasa tanpa mampu mengembangkan kapasitas tersebut.

Oleh karena itu, kita dapat mengerti, bilamana Yoseph tersengat emosinya oleh sesuatu, kemampuannya untuk self soothing (menenangkan diri) sangat terbatas. Karena sakit hati dan trauma yang begitu besar, Yoseph berkembang menjadi pribadi yang mudah terbakar oleh kemarahan dan tidak dapat mengendalikan diri. Bila sudah terbakar kemarahan, ironisnya adalah Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, yaitu melakukan kekerasan pada istri dan anak-anaknya.

 

Akibat kekerasan pada identitas seksual

Yoseph sebagai seorang anak laki-laki, seharusnya mengidentifikasikan diri kepada ayah, sehingga menjadi laki-laki sejati. Namun, karena ayah lemah dan ibu jauh lebih “perkasa”, identifikasi ini tampaknya telah gagal terjadi dalam kepribadian Yoseph. Yoseph menjadi serupa dengan ibunya, bukan hanya dalam kekerasan, tapi juga dalam hal identitas seksual. Di dalam ketidaksadarannya, jauh di dalam inti dirinya, tampaknya Yoseph tidak merasa bahwa dirinya cukup lelaki dan cukup jantan, melainkan justru merasa diri perempuan.

Sekarang kita dapat lebih mengerti lapisan lain dari perilaku kekerasan yang dilakukan Yoseph, mengapa Yoseph menjadi sangat pemarah dan agresif sehingga memukuli istri dan anaknya. Ia menjadi demikian karena sebagian dirinya serupa dengan ibunya yang juga agresif. Namun kita juga mengerti bahwa setiap kali Yoseph gelap mata saat dibakar kemarahan, bukan cuma kekerasan terhadap orang lain yang ia lakukan, melainkan di saat yang sama sebenarnya ia juga mencabik (lagi) dirinya sendiri. Setiap kali melakukan pemukulan terhadap istri atau anak, ia merasa dirinya serasa mau pecah, dan keseimbangan kepribadiannya terancam  runtuh.

Identitas laten sebagai perempuan tentunya akan memicu konflik lebih jauh lagi. Yoseph yang deep inside tidak merasa jantan, akan merasa lemah dan terus meragukan kejantanan dirinya. Ia merasa perlu membuktikan kejantanannya. Yoseph mungkin akan dapat berbuat nekad dan menantang bahaya agar dapat membungkam tuduhan dari dirinya sendiri bahwa ia kurang jantan. Ini juga adalah salah satu penyebab kenapa ia memukuli istri. Pemukulan terhadap istri adalah upaya tak sadar untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa ia lelaki.

Pembuktian kelelakian diri ini menjadi urgent bagi Yoseph, bahkan cenderung menjadi obsesi, karena ia takut sisi perempuan dalam dirinya yang lebih kuat, akan benar-benar menelan sisi lelakinya, sehingga ia sepenuhnya menjadi perempuan seperti ibunya. Inilah ketakutannya yang terbesar.

Yoseph sangat menderita karena ia berperang dengan dirinya sendiri. Ia memiliki norma-norma agama yang cukup kuat, sehingga ia tahu bahwa pemukulan terhadap istri dan anak adalah salah. Namun ia tidak dapat menahan diri dan terus melakukannya kembali. Maka Yoseph dihukum oleh rasa bersalah. Konflik terberat yang dialaminya adalah ia benci dan tidak mau menjadi seperti ibunya, tapi ia mendapati bahwa ia dalam banyak hal serupa dengan ibunya, bahkan dalam identitas seksual. Kenyataan ini yang paling mengerikan baginya.

Yoseph membutuhkan terapi mendalam dan jangka panjang untuk menyatukan lagi kepribadiannya yang tercerai berai, membangun kembali identitas – termasuk identitas seksual – yang lebih adekuat.

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta

Tidak ada komentar: