Sabtu, 11 Oktober 2008

Doing dan Being: Mengatasi stres dengan teknik Mindfulness

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Mari kita akui…Stres adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam kehidupan modern ini. Dinamika kehidupan yang terasa begitu cepat, sangat menuntut dan terasa sangat kompetitif adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri oleh kebanyakan orang. Begitu banyak peran yang harus dijalankan, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan, dan begitu banyak hal yang ingin diraih; membuat manusia modern seperti banteng adu yang tergopoh-gopoh mengejar pancingan kain merah yang dikelebatkan sang matador; mengerahkan segala tenaga untuk menanduknya…untuk mendapati bahwa ia hanya menanduk ruang hampa, sementara dagingnya disengat luka yang ditancapkan sang matador.

Stres adalah konsekuensi dari kesalahan berpikir. Seorang filsuf Taoism bernama Zhuangzi mengatakan bahwa pada hakikatnya waktu adalah panjang dan abadi tetapi bagi seorang yang sesat berpikir maka waktu akan terasa sangat pendek dan tidak memadai. Mazmur 90:10 mengatakan hal yang hampir serupa “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita terpancing mengejar berbagai hal yang kita pikir akan membuat kita bahagia, meskipun nyatanya seringkali hal itu hanya ilusi saja. Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita tak dapat membedakan mana yang merupakan pokok asasi dan mana yang hanyalah ranting-ranting dan dedaunan semata.

Seorang bijak modern yang tidak disebutkan namanya berkata,”Hari-hari ini kita memiliki lebih banyak kenyamanan, tetapi makin sedikit waktu; lebih banyak ahli, tetapi lebih banyak masalah; lebih banyak obat, tetapi makin sedikit kesejahteraan. Kita belanja terlalu ceroboh, tertawa terlalu sedikit, mengendara terlalu cepat, menjadi marah terlalu mudah, tidur terlalu larut, bangun tidur terlalu lelah, terlalu sedikit membaca dan berdoa, terlalu banyak menonton TV; kita telah belajar untuk menghasilkan nafkah, tetapi bukan hidup yang bermakna; kita menambahkan tahun-tahun dalam kehidupan kita dan bukan hidup dalam tahun-tahun usia kita”. Dengan kata lain, manusia menjadi makin terasing dengan dirinya sendiri dan terputus relasinya dengan sesamanya. Ia menghabiskan apa yang dimilikinya untuk kesia-siaan sementara batinnya kelaparan dan badannya dipacu sehingga merusak kesehatan.

Menurut seorang psikolog bernama Jon Kabat-Zinn, kesalahan utama dalam berpikir itu terletak dalam ketidakmampuan membedakan “Doing” dan “Non Doing/Being”. Jon Kabat-Zinn adalah seorang psikolog dan Professor of Medicine Emeritus di University of Massachusetts Medical School. Sejak tahun 1979 ia mendirikan Stress Reduction Clinic untuk mengantisipasi fenomena stres yang makin marak di saat itu. “Doing” adalah suatu modus keberadaan di mana seseorang mengarahkan dirinya untuk melakukan dan mencapai sesuatu. Dalam modus “Doing” seseorang memusatkan perhatiannya ke luar dirinya, yaitu pada objek yang dikehendakinya, dan mengerahkan segala daya upaya untuk meraih objek tersebut. Di dalam modus “Doing” seseorang berpikir bahwa dirinya tidak utuh dan tidak sejahtera bilamana tidak memiliki objek yang dikehendakinya; maka ia berpikir bahwa ia akan menjadi bahagia dan utuh kalau berhasil meraih objek tersebut; dan kebalikannya ia akan merana dan menderita bila gagal memperoleh objek tersebut. Tidakkah cara berpikir seperti ini familiar bagi kita? Berapa sering kita secara tidak sadar berfungsi secara otomatis dalam modus “Doing” ini?

Bukannya “Doing” ini sepenuhnya keliru, hanya saja ia tidak lengkap tanpa pasangan satunya, yaitu “Non-Doing/ Being”. Modus keberadaan lain yang seringkali dilupakan orang ini mengatakan bahwa dalam hidup ini hal-hal yang paling penting bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan tidak berusaha. Contoh: Apakah anda pernah berusaha mendetakkan jantung anda? Saya rasa tidak..Jantung kita berdetak sendiri tanpa sedikitpun usaha kita. Bahkan kalau kita berusaha mengaturnya, kita akan mengganggu mekanisme alaminya. Apakah kalau anda menyukai/mencintai seseorang, itu karena usaha? Saya rasa tidak.. Anda menyukai seseorang begitu saja, bahkan mungkin menyukai seseorang yang anda pikir tidak sepantasnya anda sukai. Dan sebaliknya, kalau anda berusah menyukai/ mencintai seseorang yang sebenarnya tidak anda sukai, biasanya usaha ini akan sia-sia. Hal-hal yang paling penting bagi kesehatan kita, misalnya tidur, bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan menghentikan usaha kita. Siapapun yang pernah tidak bisa tidur dan berusaha keras untuk tidur pasti sudah tahu bahwa semakin keras kita berusaha untuk tidur, semakin kita tidak bisa tidur. Di dalam modus “Non-Doing/ Being” seseorang bersentuhan dengan jati dirinya dan karena itu ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak perlu pergi ke manapun, tidak perlu berupaya keras menjadi siapa pun kecuali dirinya sendiri, dan tidak perlu meraih apapun untuk menjadi utuh. Sejatinya ia sudah lengkap, utuh dan kebahagiaan sesungguhnya sudah selalu ada dalam dirinya sendiri. Kabat-Zinn mengatakan bahwa itu sebabnya manusia disebut Human Being dan bukannya Human Doing; karena yang paling hakiki bagi manusia adalah untuk “mengada”, Being, To be; dan bukannya “melakukan”, Doing, to do.

Karena kebanyakan orang terlalu terpikat pada dunia dan objek-objek di dalamnya, maka ia jadi mengarahkan dirinya keluar dari dirinya sendiri; mengabaikan harta karun yang sesungguhnya sudah ada dalam dirinya sendiri, dan bagaikan pengemis yang miskin, mengejar berbagai kilau di luar sana yang belum tentu emas. Dan gejala utama kekacauan berpikir ini ditandai oleh ketidakmampuan manusia untuk menghayati kekinian. Karena kesalahan berpikirnya, manusia selalu terombang-ambing memikirkan ilusi masa depan yang dikejarnya, atau tenggelam di masa lalu yang diidealisasikan.

Jon Kabat-Zinn menyusun suatu latihan-latihan sederhana yang akan memulai proses pemulihan. Ia menyebutnya Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR). Inti dari latihan-latihan yang dikembangkannya adalah: melatih diri untuk kembali ke kesjatian diri dengan cara berhenti berusaha melakukan atau meraih apapun, melainkan menaruh perhatian pada saat ini tanpa bersikap judgmental. Seseorang berlatih untuk membuka diri pada apapun yang terjadi saat ini dan menghayatinya atau menikmatinya sepenuh hati. Dalam suatu meditasi sederhana, seseorang diminta untuk menaruh perhatian pada apa yang dilihatnya, didengarnya, dirabanya, dikecapnya, diciumnya saat ini; tanpa membeda-bedakan, mencari yang baik/enak dan menolak yang tidak baik/tidak enak.

Pada mulanya proses ini akan dirasakan tidak enak, karena pikiran telah begitu terbiasa melakukan dan berusaha, sehingga menjadi gelisah ketika diminta tidak lagi berusaha, tidak lagi mengendalikan, letting go, dan hanya menikmati kekinian. Namun setelah beberapa saat, seseorang akan mulai merasakan relaksasi pada pikiran dan juga tubuhnya, serta mulai merasakan bahwa waktu menjadi panjang dan tidak lagi mengejar-ngejarnya. Bilamana latihan ini sudah dilakukan secara rutin untuk beberapa bulan saja, maka ia akan menjadi kebiasaan sehingga semakin lama orang semakin hidup dalam kekinian, di mana keberadaannya menjadi utuh dan sejahtera. Stres tentu saja menjadi sangat berkurang, karena kesalahan berpikir tidak lagi dilakukan. Ia tidak lagi tenggelam dalam kesibukan “Doing” melainkan ia “Being”. Dengan “tidak berusaha” ia sampai pada hal-hal yang paling bermakna dalam hidup ini yang sesungguhnya tidak jauh untuk dikejar, melainkan begitu dekat untuk ditemukan.

Sebagai catatan akhir: seseorang yang keberadaannya di dalam modus “Being” bukanlah seorang yang malas, tidak mau melakukan apapun dan bersantai-santai saja. Ia tetap menceburkan diri dan terlibat aktif dalam dunia ini, hanya saja ia tidak keluar dari dirinya sendiri, ia tidak terpancing oleh kilau-kilau semu sehingga ia tidak melekat dan tidak dikecewakan oleh dunia ini. Ia sudah bebas.