Senin, 29 September 2008

Rebel With(out) A Cause

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Bagi para penggemar film klasik, judul di atas tidaklah asing. “Rebel without a cause” adalah judul film tahun 1955 tentang krisis yang dialami oleh seorang remaja bernama Jim Stark (diperankan oleh James Dean). Peran dalam film kedua (dari hanya tiga film) yang dimainkannya ini mengukuhkan James Dean sebagai immortal cultural icon sebagai remaja pemberontak yang kesepian, dan film itu sendiri mengabadikan pandangan banyak orang bahwa masa remaja adalah masa yang bergejolak. Judul film itu mengekspresikan ketidakmengertian orang dewasa akan berbagai perubahan revolusioner yang dialami remaja.

Siapapun mungkin akan setuju bahwa masa remaja dapat menjadi masa yang paling menyenangkan dan membahagiakan sepanjang hidup. Saat orang memandang kembali masa remajanya, biasanya yang terkenang adalah kegairahan murni, persahabatan yang karib, kisah cinta termanis dan berbagai “kegilaan”/”kebodohan” yang terlalu lucu dan indah untuk dilupakan. Manusia memang cenderung untuk mengingat hal-hal yang manis dari masa lalu dan melupakan berbagai kepahitan yang ada.

Namun, bila anda kini telah menjadi orangtua yang memiliki anak remaja, maka saya meragukan bahwa anda selalu dapat turut merasakan kegembiraan dan kegairahan yang sedang mereka rasakan ataupun pergolakan yang sedang mereka gumuli (Aneh bukan? Padahal anda pun dahulu remaja, yang mungkin lebih “gila” daripada mereka). Kecenderungan orangtua sepanjang masa adalah memandang dengan hati kebat-kebit perilaku anak remaja mereka dan heran mengapa anak mereka dapat berperilaku “sebodoh” itu. Nah.. Neuroscience modern dapat memberi petunjuk darimana “kebodohan/kegilaan” itu berasal. It’s not happened without a cause..

 

Otak remaja

Bea Luna, seorang neuroscientist dari University of Pittsburgh Medical Center di Pennsylvania mengatakan bahwa sekalipun seorang remaja kelihatannya dapat berperilaku seperti orang dewasa, sebenarnya secara kognitif mereka belum mencapai kematangan itu. Di usia sekitar 12 tahun, otak seorang anak telah memiliki ukuran dan berat seperti orang dewasa, tetapi studi yang lebih cermat dengan menggunakan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa ada perbedaan besar di antara keduanya. Pada otak remaja, beberapa area penting berikut ini masih berada di awal perkembangannya; yaitu area Prefrontal Cortex dan Basal Ganglia yang penting untuk mengorganisir informasi, meletakkan situasi dalam konteks, menetapkan prioritas, menyusun strategi dan mengendalikan dorongan. Fungsi-fungsi otak untuk berempati dan beradaptasi dengan lingkungan sosial juga masih akan terus berkembang sampai mencapai kematangannya di usia 20an.

Neuroscientist seperti Bea Luna sekarang terus makin memahami bahwa otak remaja sedang mengalami suatu perubahan besar yang mungkin menyebabkan mereka rentan untuk berperilaku yang beresiko, haus akan berbagai pengalaman baru dan kurang dapat menahan dorongan sehingga seringkali melakukan hal yang akan mereka sesali kemudian.

Perilaku senang berdebat dan ngotot, berpusat pada diri sendiri, selalu menemukan kesalahan dalam diri orangtua dan cenderung mendramatisir segala sesuatu adalah beberapa fenomena perilaku yang kerap ditemui pada seorang remaja; dan hal-hal itu pun terkait dengan perubahan dramatis yang sedang terjadi pada otak mereka. Di usia sekitar 10-19 tahun, seorang remaja baru saja memperoleh kemampuan untuk berpikir abstrak yang membuatnya dapat mengambil jarak dengan berbagai situasi dan juga dengan dirinya sendiri. Sementara itu kemampuannya untuk menganalisa situasi dengan logis, kemampuan untuk berpikir realistik masih sedang berkembang dan tidak selalu berfungsi dengan sempurna. Hal itu membuatnya dapat memikirkan tidak hanya hal aktual yang sedang terjadi, melainkan berbagai kemungkinan lain – baik itu realistis ataupun tidak – yang mungkin terjadi. Hal ini mengakibatkan anak remaja dapat dipenuhi oleh berbagai pemikiran yang menggairahkannya dan sekaligus menakutkannya.

 

Use it or loose it

Fenomena lain yang tak kalah menariknya yang ditemukan oleh neuroscience adalah bahwa masa remaja adalah masa kritis dalam perkembangan talenta dan kompetensi yang akan menetap sepanjang hidup. Masa remaja adalah masa di mana terjadi synaptic pruning – yaitu proses penghapusan koneksi saraf yang berlebihan dan tak diperlukan.

Sebagaimana kita ketahui, di usia awal kanak-kanak otak berkembang dengan sangat pesat dan di masa itu otak dapat menyerap sangat banyak informasi – tanpa disaring terlebih dahulu. Seorang anak dapat mempelajari banyak hal yang diajarkan kepadanya tanpa mengerti apa manfaatnya. Ia melakukannya hanya karena senang dapat melakukannya atau karena senang dapat menyenangkan orangtuanya. Setiap informasi dan keterampilan yang dipelajari di masa kanak-kanak membekas dalam otak berupa koneksi saraf yang berlimpah.

Di masa remaja terjadi seleksi alam atas berbagai koneksi saraf tersebut. Prinsipnya adalah use it or loose it; yang berarti sesuatu yang kau gunakan dengan teratur akan kau pertahankan, tapi sesuatu yang tak kau gunakan akan hilang. Contoh: seseorang yang di masa kanak-kanak menunjukkan bakat yang sangat menonjol dalam menggambar, dapat kehilangan bakat tersebut bilamana di masa remaja ia tak pernah mendapat kesempatan untuk mengasah bakat tersebut. Sebaliknya seorang remaja yang terus mendapatkan bimbingan dan kesempatan bereksplorasi dalam mengejar bakatnya akan mempertahankan dan mengembangkan bakat tersebut. Dengan pemahaman baru dari neuroscience ini, masa remaja dipandang sebagai jendela kedua dalam perkembangan otak dan perkembangan talenta seseorang. Saat jendela ini terbuka, pengaruh dari lingkungan, orangtua, guru, teman sebaya dan media akan sangat mempengaruhi hal-hal apa yang akan tertanam – atau yang akan hilang – dari remaja itu. Kalau jendela ini sudah tertutup, maka mengubahnya mungkin dapat dikatakan mustahil atau setidaknya tidak lagi terlalu berhasil.

Penemuan di atas memiliki konsekuensi yang besar dalam pandangan kita akan pentingnya pendidikan dan pemekaran bakat-bakat remaja. Tidak hanya masa kanak-kanak yang sangat penting, melainkan juga masa remaja. Percuma kalau orangtua hanya memberikan stimulasi yang kaya pada masa kanak-kanak, karena tanpa pengembangan lebih lanjut di masa remaja berbagai hal yang dengan susah payah ditanamkan tersebut akan hilang. Orangtua, guru dan semua pihak yang memiliki kepedulian pada perkembangan remaja sudah seharusnya membantu remaja menemukan diri mereka sendiri, dan bukan menjadikan mereka seperti gambaran yang kita inginkan. Remaja perlu menemukan berbagai kekuatan yang tersimpan dalam diri mereka, mengasahnya dan dengan demikian memberikan sumbangsih pada dunia. Maka masa remaja akan menjadi masa yang sungguh-sungguh membahagiakan.

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta

Tidak ada komentar: