Kamis, 16 April 2009

Spiritual Brain

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Terselubungi oleh gegap gempita Pemilu Legislatif yang baru saja berlalu 9 April yang lalu, hari Minggu yang lalu tanggal 12 April 2009 bagi umat Kristiani adalah hari yang terpenting dan paling bermakna sepanjang tahun, yaitu hari raya Paskah. Kebangkitan Yesus Kristus (Isa Almasih) yang dihayati kembali (relived dalam kekinian - bukan sekedar “diperingati/ remembered” sebagai suatu peristiwa di masa lalu) setiap hari raya Paskah merupakan dasar iman dan pengharapan Kristiani.

Makna hidup seorang Kristen (Protestant dan Katolik) terletak pada iman dan pengharapan ini, bahwa kematian dan ketiadaan dikalahkan, dan hidup kekal dengan segala kepenuhannya dapat diperoleh dalam persekutuan dengan Kristus. Dalam sejarahnya yang panjang, terbukti bahwa iman dan pengharapan ini memampukan orang-orang Kristen menghadapi tantangan, kesulitan dan penindasan apapun sesuai dengan gerak zaman.

Semua agama merupakan sumber makna bagi para penganutnya. Dengan makna tersebut, seseorang dapat menjalani hidupnya dengan mantap, apapun yang terjadi dalam hidupnya tersebut. Saya mengutip dari Nietzsche yang mengatakan bahwa “Anyone who know the ‘why’ can bear any ‘how’.”  Dalam hal ini bangsa Indonesia memiliki kekayaan dan modal dasar yang sangat berharga, yaitu keberakaran yang kuat pada tradisi-tradisi spiritualitas disertai dengan pluralitas dan sikap toleransi yang tinggi. Kekayaan kultural dan spiritual ini menghasilkan ketahanan yang luar biasa atas berbagai kesulitan yang menimpa bangsa kita sepanjang sejarah. Kita dapat melihat contoh mutakhir ketahanan dan kelentingan ini dalam bencana Tsunami yang menimpa saudara-saudari kita di Aceh pada tahun 2004. Para psikolog yang datang ke Aceh untuk memberikan bantuan psikologis dibuat takjub dan kagum karena relatif  hanya sedikit warga Aceh – termasuk perempuan dan anak-anak – yang mengalami trauma psikologis yang berat. Saya percaya bahwa ketahanan yang luar biasa ini bersumber dari kekayaan spiritual yang mendarahdaging pada warga Aceh, yang memampukan mereka memaknai dan menerima peristiwa apapun, serta bangkit kembali dari keterpurukan yang terberat sekalipun. Secara umum saya berani mengatakan bahwa bagi kebanyakan bangsa Indonesia – terutama terlihat jelas justru pada orang-orang sederhana yang anonym – spiritualitas dan makna hidup masih merupakan bagian yang hakiki dari keberadaan mereka. Tidak demikian halnya dengan saudara-saudari kita di Barat.

 

Karat materialisme yang menggerogoti

Di masyarakat Barat yang sangat ilmiah dan rasional, terjadi krisis spiritualitas yang parah – setidaknya sebagaimana tercermin dalam wacana-wacana mainstream yang berkembang di berbagai publikasi Ilmiah dan berbagai media. Semakin sulit tampaknya bagi masyarakat Barat yang modern dan postmodern ini untuk mempercayai sesuatu yang tak tampak dan tak dapat dibuktikan.

Kemajuan yang begitu pesat dalam dunia ilmu – disadari ataupun tidak – telah menjadikan sains sebagai pegangan satu-satunya dan sumber kebenaran tertinggi. Bila sesuatu dapat dibuktikan secara scientific, maka sesuatu itu nyata dan ada; sebaliknya bila tidak, maka ia tidak nyata dan tidak ada. Dan sayang sekali bahwa pengertian scientific telah disempitkan dan diidentikkan dengan materialisme. Dalam pandangan materialisme, yang sungguh-sungguh nyata dan ada adalah materi – yaitu apa yang bisa dilihat, diraba, dicium, dikecap, didengar, terikat pada ruang dan waktu. Apapun yang bukan materi, dianggap hanyalah ilusi atau bersifat sekunder sebagai akibat dari berbagai aktivitas materi.

Contoh yang paling jelas tentang hal ini tampak pada perkembangan mutakhir dalam neuroscience yang berparadigma materialistic (tidak semua neuroscience dan neuroscientist berparadigma seperti ini). Neuroscience merambah ke berbagai bidang seperti behavioral science, cognitive science, affective science, anthropology, philosophy dan bahkan akhir-akhir ini Theology. Neuroscience adalah bidang ilmu yang kajiannya adalah the brain, sementara berbagai ilmu lain yang saya sebut setelahnya bidang kajiannya adalah the mind. Yang dimaksud dengan the mind adalah segala inner experience sebagaimana secara dialami secara subjektif oleh individu, menggunakan sudut pandang orang pertama (1st person perspective); misalnya: perasaan, pikiran, keyakinan ataupun kehendak bebas individu. Sedangkan the brain adalah materi, yaitu organ biologis berupa otak dan seluruh sistem sarafnya, yang dapat diamati dan diperiksa secara objektif, menggunakan sudut pandang orang ketiga (3rd person perspective). Sekalipun jelas sekali bahwa ada hubungan erat antara the mind dan the brain, namun keduanya tak dapat diidentikkan. Masalahnya adalah materialisme mengidentikkan keduanya, dan mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh real dan exist adalah the brain. The mind (pikiran, perasaan, kehendak, keyakinan, dll) hanyalah produk dari aktivitas the brain, sehingga mereka hanyalah ilusi, tidak sungguh-sungguh nyata dan ada.

Termasuk yang dinihilkan oleh pandangan sempit materialisme ini adalah berbagai pengalaman spiritual yang merupakan sumber makna bagi seseorang sebagai seorang pribadi ataupun suatu kelompok secara kolektif. Pengalaman-pengalaman spiritual (RSME = Religious, Spiritual, Mystical Experience) yang secara historis telah terbukti menjadi fondasi dan benteng terakhir individu dalam menghadapi deru kehidupan ini telah dinafikan dengan berbagai cara, dan orang-orang yang memperoleh pengalaman tersebut dilecehkan sebagai orang-orang yang mengalami semacam epilepsy, tumor otak, atau bahkan gangguan jiwa. Sebaik-baiknya, materialistic neuroscience hanya memandang spiritualitas sebagai semacam penyimpangan otak dan gangguan kejiwaan yang “diperlukan” demi survive-nya umat manusia.

Kalangan penganut agama dan spiritualitas tentu saja memberikan argumen perlawanan atas klaim-klaim kaum materialist. Namun, argumen-argumen mereka yang lebih sering didasarkan pada dogma dan falsafah serta kurang memiliki data-data ilmiah sebagai pendukungnya, jadi tampak lemah dan tertelan oleh argumentasi kaum materialist yang mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah sebagai dasar pandangan mereka.

 

Titik-titik cahaya di kegelapan

Tidak semua scientist berparadigma materialistic. Bahkan di dunia Fisika yang dianggap paling eksak sekalipun, kalangan arus utamanya tidak lagi berparadigma materialistic, terutama setelah ditemukannya Fisika Quantum dan asas ketidakpastian Heisenberg. Sekalipun tergolong pada kalangan minoritas, terdapat banyak neuroscientist yang berparadigma non-materialistic, dan penelitian-penelitian mereka mulai menjadi dasar argumentasi yang kuat bahwa hal-hal yang non-materi tidak dapat direduksi menjadi sekedar materi.

Andrew Newberg, M.D. dari University of Pennsylvania adalah salah seorang contohnya. Dia adalah salah seorang pelopor yang meneliti korelasi antara pengalaman spiritual (the mind, 1st person perspective) dengan mekanisme di otak orang yang mengalaminya (the brain, 3rd person perspective). Ia melakukan penelitian pada orang-orang yang telah lama berlatih meditasi menurut cara Buddhism, serta para suster Franciscan yang telah bertahun-tahun menekuni hidup doa. Hasil penelitiannya cukup mengesankan: ia menemukan bahwa disiplin dalam meditasi ataupun doa menghasilkan perubahan yang signifikan dalam aktivitas otak, bahkan perubahan yang permanen. Dengan menekuni meditasi ataupun doa, seseorang dapat menjadikan dirinya sendiri menjadi lebih sabar dan lebih empatis pada orang lain. Dengan kata lain, the mind mengubah the brain! Seseorang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh desain genetic yang menentukan mekanisme otaknya, melainkan dapat mengubahnya dengan kehendak bebasnya dan ketekunan mendisiplinkan dan melatih otaknya.

Penelitian yang lebih ekstensif dilakukan oleh Mario Beauregard, Ph.D. dari université de Montreal (Canada) dengan meneliti sample yang lebih besar dan metode pengukuran yang lebih teliti. Ia menggunakan sample dari para suster Carmelite yang telah mendedikasikan hidup mereka pada doa dan kehidupan kontemplatif, terutama mereka yang mengalami pengalaman-pengalaman mystic, yaitu mengalami relasi dan keintiman dengan Allah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami para suster tersebut sungguh-sungguh nyata, dan bukan hasil rekayasa ataupun akibat sampingan dari gangguan otak, epilepsy ataupun halusinasi. Bahkan ada perbedaan yang sangat nyata antara pengalaman-pengalaman epilepsy dan halusinasi, dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang sejati. Penelitiannya juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang telah mengalami pengalaman spiritual yang sejati, mengalami transformasi dalam kehidupan mereka. Mereka bukan lagi pribadi yang sama, melainkan telah menemukan lapisan yang lebih dalam dari kepribadian mereka sehingga pandangan mereka tentang kehidupan menjadi jauh lebih bermakna. Penelitian-penelitian lain membuktikan pula bahwa orang-orang yang telah mengalami transformasi ini menjadi jauh lebih sehat mental, terhindar dari berbagai kecemasan dan ketakutan, lebih kebal pada depresi, lebih tangguh dalam menjalani kehidupan, lebih empatis dan lebih bersedia untuk menolong orang lain, bahkan kesehatan fisik mereka pun biasanya lebih baik.

Penelitian-penelitian Newberg dan Beauregard di atas adalah titik-titik cahaya di tengah dominasi materialisme yang menjadi arus utama saat ini. Suatu oase yang menyegarkan yang menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual adalah sungguh nyata dan memiliki efek tranformatif dalam pribadi yang mengalaminya. Ditegaskan pula bahwa kehidupan seseorang tidak tergantung pada warisan genetic dan susunan syaraf yang dimilikinya, melainkan juga pada kehendak bebas dan pendisiplinan diri untuk berpaling pada Sumber yang lebih besar dari pribadinya sendiri, yaitu Sang Pencipta itu sendiri.

 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta

 

Tidak ada komentar: