Kamis, 06 Agustus 2009

Sudah matangkah saya?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


You are only young once, but you can be immature forever (Germaine Greer)

Dalam sebuah diskusi dengan para remaja di sebuah gereja, terlontar satu pertanyaan yang menggelitik: “Pak, bagaimana kalau saya mengalami konflik dengan orangtua saya, namun orangtua saya yang ngambek berkepanjangan?” Pertanyaan yang lebih menyerupai curhat dari remaja ini menyentuh hati saya karena peristiwa ini memang seringkali terjadi.

Dalam praktek saya sebagai psikolog, satu isu seringkali mengemuka: ketidakmatangan – atau bahkan kekanak-kanakan, ditinjau dari karakter dan emosi. Tidak pandang berapa pun usia klien, isu ini seringkali muncul; bahkan seringkali menjadi isu sentral atau akar permasalahan yang membuat klien terbentur dengan berbagai masalah lain dalam kehidupan kerja dan keluarganya. Kutipan dari Germaine Greer di atas mengatakan dengan lugas: bertambahnya umur tidak identik dengan bertambahnya kematangan. Kalau usia dan berbagai gejala fisik yang menyertainya akan bertambah terus tanpa dapat dihindari, sebaliknya kematangan karakter dan emosi hanya akan berkembang bilamana diusahakan dan diperjuangkan.

Ketidakmatangan terjadi karena secara emosional seseorang terpaku alias berhenti berkembang (arrested development) pada tahapan perkembangan tertentu. Penyebabnya dapat dikarenakan beberapa hal, antara lain trauma, yaitu ketika seseorang mengalami peristiwa yang begitu menggugah secara emosional, baik itu negatif (emosi yang menakutkan, mengerikan, menyedihkan) ataupun positif (emosi yang menyenangkan, membangkitkan kenikmatan); di mana seseorang tak mampu menyeimbangkan kembali gugahan atau guncangan emosi yang diakibatkan oleh peristiwa traumatik tersebut. Contoh: seseorang yang mendapatkan perlakuan abusive (kekerasan) saat berusia tiga tahun, mungkin secara emosional akan terpaku pada pola emosional anak usia tiga tahun; sehingga sekalipun secara fisik dan intelektualitas ia berkembang terus, secara emosional ia macet di usia tiga tahun. Namun tidak hanya peristiwa negatif, peristiwa yang menyenangkan sekalipun, bilamana berlebihan akan membuat seseorang terpaku secara emosional di masa-masa ia mengalami kesenangan tersebut. Misalnya: seseorang yang mengalami cinta pertama yang begitu menggetarkan mungkin akan terpaku dan jadi sulit menjalin cinta yang baru ketika cinta pertama itu berakhir.

Penyebab lain ketidakmatangan adalah kurangnya pendidikan dan teladan yang dapat dijadikan model. Hal ini seringkali kita jumpai di keluarga-keluarga, di mana orangtua yang tidak matang seringkali tanpa sengaja membuat anaknya berkembang menjadi tidak matang pula. Hal ini bukan karena faktor genetik, melainkan karena faktor pembelajaran dan peneladanan (modeling) negatif yang diperoleh anak ketika mengamati perilaku orangtua dari hari ke hari.
Ketidakmatangan sekalipun menimbulkan banyak kesusahan bagi pribadi yang bersangkutan, namun seringkali juga jadi selimut nyaman yang membuatnya enggan untuk terjaga dan menghadapi realitas apa adanya. Bukankah orang seringkali “menikmati” permasalahan yang mereka gumuli, mengasihani diri sendiri dan enggan beranjak daripadanya? Terutama bila masalah yang mereka hadapi tersebut membangkitkan banyak simpati dan belas kasihan dari banyak orang.

Maka kematangan harus diperjuangkan dan mesti ada dukungan dan lingkungan aman yang memungkinkan pertumbuhan emosional dapat terjadi. D. W. Winnicott mengatakan bahwa tugas seorang konselor atau psikoterapis esensinya adalah menjadi “ibu yang baik” bagi para kliennya. Ibu yang baik adalah metaphor tentang konselor yang mau mendengarkan dan mengerti permasalahan kliennya, membangkitkan kapasitas klien untuk trust – baik trust terhadap orang lain dan dunia, tetapi terlebih-lebih trust pada diri sendiri. “Ibu yang baik” menjadi model bagi pembelajaran ulang klien agar tidak hanya reaktif secara emosional setiap kali mengalami gugahan emosi, melainkan secara proaktif melakukan tindakan-tindakan konstruktif untuk memecahkan masalahnya. Last but not least, “ibu yang baik” juga akan terus membangunkan si anak, bilamana si anak ingin terus tidur dan tidak mau menghadapi kenyataan hidup yang memanggilnya.

Bilamana perjuangan untuk menjadi matang itu telah mulai membuahkan hasil, maka beberapa tanda akan dapat dijumpai; pertama – keterbukaan dan kesediaan menerima realitas, apapun jua. Kepribadian yang matang menyambut dan merangkul setiap realitas yang menyongsongnya, entah itu manis ataupun pahit; karena ia tahu hanya bila ia berpijak pada realitas maka eksistensinya menjadi nyata. Tanda kedua pribadi yang matang adalah terus berkembangnya pengenalan diri dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan identitas yang mantap. Seseorang dengan identitas yang kuat tidak mudah diombang-ambingkan macam-macam godaan dan dorongan; sebaliknya ia mengakar dengan setia pada pengetahuan akan siapa dirinya. Tanda ketiga pribadi yang matang adalah munculnya kemampuan mengendalikan diri dan mengatasi masalah dan kecemasan tanpa harus bersikap defensif. Banyak orang terbentur pada masalah karena kurangnya kemampuan mengendalikan diri, yang membuatnya melakukan berbagai hal yang kelak akan disesalinya. Pribadi yang matang tidak akan menunjukkan impulsivitas semacam itu, melainkan tahu kapan harus menahan diri dan kapan dapat melepaskan hasrat secara baik dan memuaskan. Ia pun dapat mentolelir frustrasi ataupun kecemasan, sebagai bagian yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Dengan sikap positif tersebut, ia selalu dapat bangkit kembali setiap mengalami kekecewaan dan kecemasan. Tanda keempat pribadi yang matang adalah hidupnya ditandai dengan adanya tujuan (purpose) yang membuatnya menjalani hidupnya dengan bermakna, serta membantunya terus mengalami pertumbuhan baik dari segi karakter maupun spiritual.

Meskipun apa yang saya paparkan di atas mungkin terkesan ideal dan sulit digapai, namun dalam hemat saja, juga bukan sesuatu yang mustahil. Karena yang penting bukanlah mencapai suatu titik perkembangan tertentu yang kita anggap sudah matang dan kemudian berpuas diri; melainkan untuk terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan sepanjang hidup kita. Yang penting adalah dari waktu ke waktu kita menjadi semakin matang dan bijaksana. Perjalanan, proses dan pertumbuhan itu sendiri yang paling utama, bukan sekedar hasilnya. Maka, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan itu bagi kita semua. Semoga saya dan anda meskipun mungkin perlahan-lahan, menjadi semakin matang dan beroleh secercah kebijaksanaan…

Iman Setiadi Arif
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jakarta

Tidak ada komentar: