Kamis, 28 Juni 2007

Mengapa Tuhan Membiarkan Adanya Penderitaan

Mengapa Tuhan MEMBIARKAN adanya penderitaan?
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan

Bila kita membaca koran setiap harinya, satu yang tak akan lepas adalah membaca tentang berbagai wajah penderitaan di muka bumi. Puluhan ribu orang yang mati di Irak, ratusan ribu nyawa melayang karena Tsunami di Aceh, kekerasan di Poso, korban banjir di Jabodetabek, kriminalitas sehari-hari, dan berbagai penderitaan lain yang dialami secara solitaire tanpa diketahui orang banyak. Penderitaan kerap singgah dalam hidup setiap manusia, dan ketika penderitaan menghampiri hidupnya, orang pun bertanya,”Mengapa Tuhan membiarkan adanya penderitaan?”
Pada hari Rabu tanggal 21 Februari 2007 ini, umat Kristiani memasuki hari Rabu Abu, yaitu dimulainya masa pantang dan puasa selama 40 hari untuk memperingati sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Puncak dari perayaan ini adalah pada hari tri hari suci, yaitu Kamis Putih, Jum’at Agung dan hari raya Paskah, yaitu perayaan kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut. Di masa pantang dan puasa ini, umat Kristiani diajak untuk merenungkan misteri terbesar dalam kehidupan, yaitu bahwa hidup manusia di dunia niscaya adalah jalan penderitaan (via dolorosa) menuju kematian.

Dialektika keberadaan vs. ketiadaan
Pernyataan bahwa hidup adalah suatu perjalanan penuh derita menuju kematian, tampaknya sangat suram dan menyesakkan; tetapi hal itu adalah kebenaran mutlak yang tak dapat disangkal. Tiada kebenaran lain yang lebih mengguncang kenyamanan semu hidup manusia daripada penderitaan dan kematian. Dalam riwayat hidup Siddhartha Gautama, perjumpaannya dengan penderitaan dan kematianlah yang mengguncangkan dunia kesadarannya yang semu dan membuatnya menempuh perjalanan panjang menuju pembebasan, menjadi sang Buddha.
Pada umumnya manusia berusaha menyangkal kenyataan telanjang yang menakutkan tersebut. Manusia mencoba menyangkal kefanaan dirinya dengan bersenang-senang, menenggelamkan diri dalam berbagai kesibukan, atau mencoba membuat berbagai monumen yang akan mengingatkan orang akan keberadaan dirinya. Orang pandai dan bijaksana mencoba bergumul dengan masalah ini, mencari hikmat dan kebijaksanaan. Tetapi, sebagaimana ditemukan oleh sang Pengkhotbah, nasib orang pandir dan orang bijaksana sama saja. Semuanya akan mati. Yang ada menjadi tiada. Apapun langkah yang diambil manusia, tidak ada yang dapat menghindari ataupun menyangkal sengat maut tersebut. Segala penyangkalan tidak dapat menutupi kesadaran akan kematian yang memaksa masuk, dan kesadaran akan ketakterhindaran kematian tersebut adalah sumber dari segala kecemasan dan ketakutan.
Para filsuf modern dari aliran Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus, Paul Tillich, dll juga menggumuli masalah pergumulan keberadaan (being) vs. ketiadaan (nonbeing). Mereka mengatakan bahwa tanpa bisa memilih, manusia terlempar ke dalam dunia, dengan berbagai situasinya. Dan tanpa bisa memilih juga, semua orang akan berakhir keberadaannya di dalam ketiadaan. Sartre mengatakan bahwa manusia senantiasa menghidupi (menghayati) kematiannya; dan setiap detik hidupnya ia mematikan (menghabiskan) kehidupannya. Di dalam perjalanan keberadaan yang menuju ketiadaan tersebut, pergumulan antara keberadaan vs. ketiadaan berlangsung terus, di dalam berbagai dimensi dan perwujudan. Dan demikianlah eksistensi manusia mengada, sebagai hasil dialektika hidup vs. mati tersebut. Kesadaran akan eksistensi manusia yang rapuh itu tak dapat tidak menimbulkan rasa muak (nausea) dalam diri manusia. Tiada jalan keluar dari sana.

Dari mana penderitaan berasal?
Saat seseorang mengalami penderitaan dalam hidupnya, ia mencari berbagai penjelasan agar ia dapat memahami situasi yang dialaminya. Salah satu penjelasan yang paling populer adalah: penderitaan datang karena saya berdosa. Saat mengalami “kesialan” atau musibah, orang sering berkata bahwa Tuhan sedang menegurnya. Kemudian orang mencoba memperbaiki tingkah lakunya, melakukan ritual persembahan korban-korban, dan berharap kesialannya akan berakhir. Penjelasan ini memiliki dua kelemahan utama: 1)sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahwa penderitaan tidak menimpa orang yang berdosa, melainkan menimpa orang benar, yaitu orang yang telah mencoba yang terbaik untuk menjalankan hidupnya sesuai keyakinannya akan kebenaran. Sehingga, tidak benarlah dalil yang mengatakan bahwa penderitaan datang sebagai azab, karena seseorang telah berdosa. 2)Tuhan bukanlah penyebab penderitaan. Mana mungkin kita menyebutNya Maha Baik dan Maha Kasih kalau ternyata Tuhan senang menghukum dan mencobai manusia, apapun alasannya. Rasul Yakobus mengatakan bahwa,”Apabila seseorang dicobai, janganlah ia berkata:”Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (Yak 1: 13-15)
Di jaman modern ini, pendapat yang senada dengan Rasul Yakobus dikemukakan pula oleh Sigmund Freud. Dalam psikologi Freud dikatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan yang berketubuhan, di mana melalui ketubuhannya manusia memaknai dunia. Freud mengatakan bahwa sifat dasar dari tubuh itu sendiri adalah kecenderungannya mencari kesenangan. Tubuh menghendaki kesenangan sebesar mungkin sekarang juga; dan ingin menghindari segala derita sekecil apapun. Hal ini disebutnya pleasure principle.
Dalam perjumpaannya dengan realitas, manusia menemukan bahwa keinginan dasarnya itu tidak dapat selalu dipenuhi, karena realitas bekerja dengan aturan lain. Di dalam realitas, siapa yang menghendaki kesenangan yang lebih besar harus mau menunda dan menahan keinginannya. Misalnya: orang yang ingin kaya, harus mau menunda keinginan sesaat untuk makan enak, dan menabung uangnya; mahasiswa yang ingin pandai harus menunda keinginannya untuk nongkrong dengan teman-temannya, dan belajar; dst. Hal ini disebut reality principle.
Jadi, keberadaan manusia itu sendiri memang cenderung untuk mengalami konflik, yaitu konflik antara hasrat-hasrat tubuh dengan realitas yang membatasi. Konflik inilah yang selalu membuat manusia menderita, yaitu ketika keinginannya tidak terpenuhi karena berbenturan dengan kenyataan. Oleh karena itu, Freud menjadi pesimis. Menurutnya, konflik, kecemasan dan penderitaan adalah bagian yang tak terhindarkan dari keberadaan manusia.

Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan ada?
Pesimisme Freud dapat dimengerti, tetapi untunglah perkembangan-perkembangan baru dalam psikologi mengemukakan kemungkinan baru yang lebih memberikan harapan. Mazhab keempat dalam psikologi, yaitu Transpersonal psychology mengemukakan suatu dalil yang secara revolusioner mengubah paradigma tentang keberadaan manusia. Dalil itu mengatakan bahwa esensi manusia bukanlah tubuh (daging), melainkan pada mulanya adalah roh. Karena suatu proses yang disebut Involusi, roh kemudian menjadi daging. Dalam bahasa Fisika, kita dapat mengatakan bahwa Roh yang pada esensinya adalah energi, ditransformasikan menjadi massa, yaitu tubuh.
Oleh karena itu, tidak seperti pandangan Freud atau tokoh-tokoh Eksistensialisme yang pesimis tentang manusia, Transpersonal Psychology mengatakan bahwa manusia sejatinya adalah mahluk Rohani yang karena proses Involusi mendapatkan pengalaman Badani; dan melalui proses Evolusi akan kembali menjadi Rohani. Hal yang senada dikemukakan oleh Pierre Teilhard de Chardin yang mengemukakan bahwa sejak adanya manusia di bumi ini, muncul lapisan baru selain Biosphere (lapisan kehidupan biologis di muka bumi), yaitu Noosphere (lapisan kesadaran). Kesadaran manusia melalui proses Evolusi akan menjadi makin kompleks, hingga mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Proses Evolusi akan memuncak dalam penyatuan materi dan roh menjadi suatu Maha Kesadaran yang disebut Chardin sebagai Titik Omega. Bagi Chardin, titik Alpha yang menjadi awal mula segala ciptaan, dan titik Omega kemana semua ciptaan menuju, tidak lain adalah Kristus.
Bila kita menerima pandangan visioner Chardin, maka kita dapat melihat keberadaan manusia yang sementara di dunia ini dengan kacamata yang berbeda. Keberadaan manusia di dunia bukan sekedar suatu kecelakaan akibat mutasi acak Evolusi, atau suatu ke-terlemparan ke dalam kehidupan; keberadaan manusia di dunia tidak dilalui dalam kesendirian melalui perjalanan panjang penuh derita menuju kematian. Keberadaan manusia di dunia adalah suatu perjalanan pulang kepada asalnya yang sejati, yaitu kebersatuan dengan Tuhannya di dalam Kekekalan. Di dalam paradigma ini, penderitaan di dalam hidup manusia tidak disangkal, tetapi dimaknai secara berbeda. Penderitaan bukanlah proses menuju kematian, tetapi kondisi tak terhindarkan dalam proses kelahiran kembali. Seperti seorang ibu yang harus menelan banyak rasa sakit dalam persalinan, umat manusia pun harus didera banyak derita, di dalam kelahirannya kembali di dalam Roh.
Bagi umat Kristiani, bukti yang paling nyata untuk memberi kesaksian tentang kebenaran itu, hadir di dalam diri Yesus Kristus, sang Anak Manusia. Ia yang berasal dari Allah, menjalani hidup penuh sengsara, memikul salib derita, mati dan kemudian bangkit kembali. Dengan demikian, pertanyaan mengapa Tuhan membiarkan adanya penderitaan di dunia ini terjawab sudah. Penderitaan memang harus ada di dalam proses kelahiran kembali umat manusia, dan bukan manusia yang menjadi Subjek utama penanggung derita, melainkan Tuhan sendiri di dalam diri Yesus Kristus. Manusia diundang untuk berpartisipasi di dalamnya, turut memikul salibNya agar bangkit pula bersamaNya.
Selamat menjalani pantang dan puasa..
Iman Setiadi Arif
Staff pengajar di Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta.

Tidak ada komentar: