Kamis, 28 Juni 2007

Kebahagiaan atau Kesenangan

Kebahagiaan atau kesenangan?
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan

Tujuan hidup manusia – entah ia seorang kaya atau miskin, pandai atau pandir, relijius atau ateis – adalah menuju kebahagiaan. Dalam hal ini, semua orang sama. (Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke 14).

Beberapa waktu yang lalu, seorang ibu muda konseling dengan saya. Tampak jelas dari penampilannya, ia seorang yang berkecukupan. Ia mengemukakan bahwa ia memiliki seorang anak, namun ia sudah bercerai dengan suaminya 4 tahun yang lalu. Sekitar 2 tahun yang lalu, ia mulai menjalin relasi dengan seorang pria yang sudah beristri. Pria itu seorang yang baik, menyenangkan dan kaya raya. Sekitar 1 tahun yang lalu, ibu ini mulai memiliki kecurigaan bahwa kekasihnya itu berhubungan lagi dengan perempuan lain. Ia mulai merasa diasingkan. Ia merasa keluarganya tidak mendukungnya, dan orangtuanya membicarakannya di belakang. Ia curiga pula, bahwa kekasihnya mulai menjalin affair dengan kakaknya – yang juga seorang ibu muda yang sudah bercerai. Akhir-akhir ini kondisinya semakin buruk, ia mulai merasa teman-temannya menjauhinya dan berkomplot dengan kekasihnya untuk memata-matainya, orang-orang membicarakan dirinya, berita dan iklan di berbagai media massa menuding dirinya, bahkan ia tidak lagi menghadiri kebaktian di Gereja karena ia merasa pastor menyindir dirinya di dalam khotbah. Dalam penilaian saya sebagai seorang psikolog, ibu ini sedang menuju ke arah Paranoia.
Alarm Jiwa
Kecemasan, ketakutan dan berbagai gejala gangguan psikopatologi adalah bunyi alarm jiwa yang hendak menyerukan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup seseorang. Ia hendak membangunkan seseorang yang terlelap dalam hidupnya, yang tidak mau menyadari bahwa api sudah menjilat kakinya. Bila seseorang mengabaikannya, maka suaranya akan makin keras, dan tanda-tanda gangguan akan makin nyata.
Gejala-gejala psikopatologi adalah seruan dari kedalaman jiwa seseorang, yang hendak menyatakan bahwa seseorang sedang bergerak menjauhi tujuan aslinya – yaitu kebahagiaan. Manusia diciptakan untuk berbahagia. Di dalam lubuk jiwanya yang terdalam telah tertanam kerinduan untuk berbahagia. Bila perjalanan hidupnya bergerak mendekati kebahagiaan, maka seluruh tanda-tanda kehidupannya – baik itu secara fisik, pikiran, emosi dan tingkah lakunya – akan mencerminkan kedamaian. Sebaliknya, bila perjalanan hidupnya bergerak menjauhi kebahagiaan, maka seluruh keberadaan dirinya akan dicekam oleh ketakutan dan kecemasan.

Kebahagiaan atau kesenangan?
Salah satu kekeliruan mendasar yang dialami banyak orang adalah menyamakan kebahagiaan (happiness) dengan kesenangan (pleasure). Banyak orang mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan (Hedonist) – namun mereka tidak berbahagia. Sebaliknya, ada juga golongan tertentu yang dengan sangat keras menghindari kesenangan, bahkan kadang sengaja mencari penderitaan (Masochist) karena curiga bahwa setiap wujud kesenangan adalah dosa. Mereka juga tidak bahagia.
Sumber kesenangan adalah tercapainya keinginan – baik itu keinginan akan kenikmatan ragawi ataupun kenikmatan jiwa (misalnya: prestasi, popularitas, kekuasaan dll). Tidak ada yang salah dengan kesenangan, hanya saja kesenangan tidak akan pernah cukup. Tercapainya suatu keinginan – sebaik apapun keinginan tersebut – akan membuat seseorang semakin haus dan memiliki lebih banyak lagi keinginan.
Sumber kebahagiaan adalah bebasnya seseorang dari berbagai keinginan sehingga beroleh damai. Bila seseorang telah mengecap kebahagiaan, ia tidak akan lagi haus, melainkan kebahagiaan itu akan menjadi mata air di dalam hatinya yang terus menerus memancarkan kesegarannya.

Jalan sederhana menuju kebahagiaan
Orang bijaksana – yaitu orang yang sudah berbahagia – berkata bahwa Kebahagiaan sejati dan Kebenaran tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kebahagiaan dan Kebenaran mesti dialami langsung. Memang, orang lebih senang berwacana tentang kemujaraban suatu obat, daripada meminumnya. Namun, wacana dan kata-kata tetap diperlukan – paling tidak untuk sementara – sebagai tangga untuk naik ke tempat yang dituju.
Perkenankanlah penulis bergerak di dunia wacana dan mengemukakan teori, karena psikolog akan gulung tikar bilamana ia sudah tidak boleh berkata-kata J. Seorang psikolog dari University of Pennsylvania, yaitu Martin Seligman, mengemukakan resep sederhana untuk bahagia. Menurut Seligman, cara untuk berbahagia adalah dengan menjalani hidup di mana terdapat 3 hal: 1)Emosi positif, 2)Keterikatan penuh dan sukarela (Engagement) kepada hidup yang dijalani dan 3)Makna hidup.

Emosi positif
Seorang yang bahagia akan lebih sering mengalami emosi positif tentang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, serta telah belajar untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif ini. Emosi positif tentang masa lalu meliputi: kepuasan, kedamaian, kebanggaan (sebagai lawan dari penyesalan) rasa syukur, dll. Emosi positif tentang masa kini dan masa yang akan datang meliputi: harapan dan optimisme, keyakinan dan kepercayaan diri, dll.

Keterikatan penuh dan sukarela
Yaitu hidup yang dijalani dengan penuh, di mana terdapat keterlibatan dan komitmen sepenuhnya terhadap kerja, relasi intim dan rekreasi. Salah seorang rekan Seligman yang bernama Mihaly Csikszentmihalyi mengemukakan konsep yang dinamainya “Flow” yaitu keadaan psikologis di mana seseorang mengalami konsentrasi yang sepenuhnya – tanpa harus berusaha keras – karena begitu terserap dengan asyiknya pada aktivitas yang sedang dilakukannya. Dalam keadaan flow, kesadaran seseorang meningkat dan segala tindakannya dilakukan dengan mudah dan dengan hasil yang paling optimal.
Seligman mengatakan bahwa cara untuk menjalani hidup dengan keterikatan penuh dan sukarela adalah dengan menemukan bakat-bakat dan kekuatan-kekuatan asli orang tersebut (signature strengths) dan belajar untuk menggunakannya lebih sering. Banyak orang tercekam dan menyesali kekurangan-kekurangan dirinya, serta menghabiskan energi untuk menghilangkan atau menutupi kekurangan tersebut. Menurut Seligman, yang harus dilakukan adalah mengedepankan kekuatan yang dimiliki, dan biarkan kelemahan yang ada menjadi latar belakang.

Makna hidup
Yaitu menemukan tujuan utama dan panggilan terdalam yang dimiliki seseorang dalam kehidupannya. Sumber-sumber makna hidup dapat ditemukan dalam agama, keyakinan, kecintaan akan tanah air, dll. Tiap orang memiliki cara dan sumber yang unik dalam menemukan makna hidupnya. Makna hidup akan membuat seseorang mencurahkan segenap cinta, bakat, kemampuan dan hal yang dimiliki untuk menjadi bagian dan melayani hal yang lebih besar daripada Ego-nya.
Penulis bertanya kepada ibu muda yang diliputi ketakutan dalam wujud kecurigaan, apakah yang sebenarnya dicarinya dalam hidup ini? Ia menjawab, “Tentunya, kebahagiaan.” Penulis bertanya lagi, apakah relasi yang dijalinnya dengan pria beristri itu akan membawanya pada kebahagiaan? Ia menjawab,”Saya tahu bahwa sebenarnya hal itu tidak akan pernah membawa saya pada kebahagiaan yang saya cari.” Maka penulis berkata padanya,”Kalau anda menuju ke suatu tempat dengan menggunakan suatu bus – dan di tengah jalan anda sadar bahwa bus itu menuju tempat yang keliru, berhentilah segera. Pindahlah dari bus yang keliru ini, ke bus lain yang akan membawa anda kepada tempat yang dituju.” Para pembaca yang budiman, apakah “bus” yang anda tumpangi saat ini sudah menuju ke tempat yang anda tuju? Semoga kita semua berbahagia…

Iman Setiadi Arif
(Dekan dan Staff pengajar F.Psikologi Ukrida – Jakarta)

Tidak ada komentar: