Jumat, 13 Februari 2009

Apa sih hebatnya cinta?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Hari ini adalah hari Minggu Cinta, apakah anda menyadarinya? Yup, karena kemarin adalah 14 Februari, yang dirayakan oleh kaum muda sedunia (khususnya yang sudah terimbas budaya Barat) sebagai hari Cinta. Kalau anda adalah seorang remaja, apalagi ABG, mestinya saat ini anda masih sedang tersenyum-senyum sendiri (gila dong??) membayangkan romantic dinner tadi malam dengan si dia, lengkap dengan candle light dan alunan musik yang syahdu. Atau kalau anda adalah seorang jomblo kronis, dengan berbagai komplikasi stadium 4 seperti bokek, dan jerawatan, mungkin kemarin adalah hari siksaan dari neraka yang  membuat anda ingin melompat dari gedung tertinggi di Jakarta (tapi kalau anda benar seorang ABG, mestinya anda tidak akan membaca tulisan di koran ini yang kebanyakan pembacanya sudah (jauh..) melampaui usia ABG.. J). Well, karena saya yakin kebanyakan pembaca koran ini bukan Anak Baru Gede melainkan Angkatan Babe Gue, maka kita bisa melewati bagian-bagian yang romantis, konyol namun menggemaskan tentang cinta – bukan karena orang tua tidak lagi peduli ataupun membutuhkan cinta romantis, bahkan beberapa orang tua masih sangat romantis dan itu sangat baik – melainkan karena orang tua mestinya sudah melihat sisi lain dari cinta, bukan sekedar romantisme, dan karenanya mencari makna yang lebih dalam dari cinta. Tulisan ini tidak berambisi menjawab apa makna yang terdalam dari cinta (terlalu dalem man… J) melainkan sekedar mencoba merenung dengan sederhana, karena bagaimana pun juga it’s simply the truth that nobody can truly live without love

Sebagai psikolog, ijinkan saya kembali menggunakan teori-teori psikologi andalan saya (habis modalnya cuman itu sehJ). Tetapi saya tidak akan menggunakan teori-teori standard tentang cinta, seperti dari Sternberg ataupun Fromm, melainkan dari tokoh yang mungkin kurang terkenal bagi kebanyakan psikolog sekalipun, yang bernama Ronald Fairbairn. Ia adalah seorang psychoanalyst jadul dari Inggris yang bersusah payah mencoba menggambarkan kehidupan subjektif individu, terutama yang tidak sadar, dan the deep structure of personality yang terkait erat dengan relasi interpersonal antar manusia. Fairbairn adalah seorang pemikir kelas berat yang karya-karyanya njlimet dan tidak gampang untuk dibaca, sehingga juga tidak populer. Nah, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh bapak yang serius ini tentang cinta? Ijinkan saya mencoba menafsirkan dan menyajikannya dengan sederhana.

Sebenarnya Fairbairn tidak pernah menulis langsung tentang cinta, suatu topik yang kesannya remaja banget, namun dalam pergumulannya untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman kepribadian, ia tidak bisa tidak menyinggung-nyinggung tentang cinta. Dalam pandangan Fairbairn, cinta itu sangat sederhana dan sangat mendasar. Cinta tidak lain adalah daya gravitasi yang menggerakkan semesta relasi interpersonal – dan kemudian juga intrapsikis. Seperti halnya daya gravitasi yang menurut Newton sangat krusial dalam pergerakan alam semesta ini, cinta adalah gaya tarik yang menggerakkan seseorang untuk mendekat dan menyatu dengan objek cintanya. That’s it, itulah cinta menurut Fairbairn. Meskipun kelihatannya sangat sederhana, namun dampaknya sangat mendasar dan menentukan dalam kelangsungan eksistensi seseorang dan kesehatan mentalnya. Fairbairn tidak bicara pertama-tama tentang cinta romantis antar kekasih, melainkan tentang relasi interpersonal yang paling dasar dan yang paling pertama dijalani oleh semua manusia, yaitu relasi antara seorang anak dan ibunya, yang menjadi dasar bagi seluruh relasi lain yang akan dibinanya di kemudian hari, dan juga dasar bagi relasi antara seseorang dengan dirinya sendiri – yaitu apakah ia akan mampu menerima dan mencintai dirinya sendiri.

Dalam literatur psikoanalisa, tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta antara seorang anak dan ibunya. Kalau anda pernah menonton film karya Steven Spielberg yang berjudul Artificial Intelligence (2001), di sana digambarkan dengan sangat baik bagaimana seorang anak akan jatuh cinta pada manusia pertama yang ditemuinya, yaitu ibunya; dan seluruh hidupnya dan tindakannya selanjutnya digerakkan oleh keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh ibunya. Kita ingat bahwa salah satu fondasi dasar teori Sigmund Freud adalah tentang Oedipus Complex, yaitu cinta yang kekanak-kanakan dan membuta dari seorang anak pada ibunya, yang membuatnya ingin menyingkirkan ayahnya. Teori Fairbairn berbeda dari teori Freud yang dasarnya adalah psikoseksual. Fairbairn dan rekan-rekannya dari aliran Object relations memandang bahwa insting yang paling dasar dalam diri manusia, yang menjadi motivator dan penggerak utama segala perilakunya, bukanlah seksualitas seperti dikatakan oleh Freud, melainkan kebutuhan untuk terhubung dan menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini nampak sekali pada relasi pertama yang dijalin manusia antara dirinya dan ibunya.

Apa fungsi cinta ini? Cinta adalah salah satu dari dua emosi dasar manusia yang mengikat dirinya dengan orang lain (Emosi dasar lain adalah takut (anxiety), yaitu takut ditolak, yang kemudian biasanya berwujud kemarahan, kebencian dan agresivitas, serta menggerakkan seseorang menjauh dari objek cintanya).  Love and hate/fear yang terjalin antara dua pribadi mengikat keduanya menjadi satu, menggerakkan mereka dalam tarian abadi mendekat-menjauh dari waktu ke waktu, bagaikan dua penari tango. Dan dampak penting dari “tarian” ini adalah: drama relasi ini tidak hanya dihidupkan di luar, melainkan akan diinternalisasikan ke dalam diri menjadi kepribadian kita. Kepribadian kita tidak lain adalah jejak langkah dan cermin dari relasi-relasi yang kita jalani sepanjang hidup kita.

Kalau seseorang banyak mengalami luka batin dan penolakan dalam relasi-relasi yang dijalaninya, terutama relasi-relasi primer dengan orangtuanya, tidak hanya hal ini akan melukai rasa keberhargaan dirinya, namun yang paling penting hal ini akan membuatnya tak mampu mencintai dirinya sendiri dan jadi terasing dengan dirinya yang sejati. Jadi…apa hebatnya cinta? Tanpa cinta – baik itu kemampuan mencintai diri sendiri, ataupun mencintai orang lain – maka tali pengikat yang menyatukan dirinya untuk tetap utuh, dan yang mengikatnya dengan orang lain akan terputus, dan seseorang akan melayang-layang dalam ruang hampa tanpa makna. Maka hidup tidak akan lagi punya rasa dan tanpa disadari seseorang sudah mati meskipun masih bernafas.

Saya akhiri tulisan singkat ini dengan suatu kutipan puisi dari Derek Walcott yang berjudul Love after love. Puisi ini akan mengatakan jauh lebih banyak daripada semua yang dapat saya tulis. Happy Valentine everyone…

The time will come 
when, with elation 
you will greet yourself arriving 
at your own door, in your own mirror 
and each will smile at the other's welcome, 

and say, sit here. Eat. 
You will love again the stranger who was your self.
Give wine. Give bread. Give back your heart 
to itself, to the stranger who has loved you 

all your life, whom you ignored 
for another, who knows you by heart. 
Take down the love letters from the bookshelf, 

the photographs, the desperate notes, 
peel your own image from the mirror. 
Sit. Feast on your life.

Kamis, 11 Desember 2008

Berbelaskasihlah dan jadikan otakmu lebih baik

Tulisan pernah dimuat di Suara Pembaruan


Judul di atas dapat dimaknai secara harafiah, demikan yang dibuktikan melalui studi Richard Davidson, Ph.D dari Universitas Wisconsin-Madison. Ia dan rekan-rekannya dari Waisman Center for Brain Imaging telah belasan tahun melakukan penelitian tentang kaitan antara emosi, latihan mental dan plastisitas otak. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana latihan mental tertentu – khususnya meditasi – dapat mengubah otak manusia, menjadikannya lebih mampu memusatkan perhatian, lebih dapat berempati, lebih banyak mengalami emosi positif dan mengurangi emosi negatif. Dengan kata lain penelitian Davidson memberikan harapan akan suatu pendekatan Ilmiah yang sahih yang dapat menjadikan manusia lebih baik dan karenanya menjadi lebih bahagia.

Inti dari studi tersebut adalah mengenai Neuroplasticity – yaitu bahwa otak kita bersifat plastis, dapat terus berkembang sepanjang usia. Setelah sekitar 100 tahun sebelumnya diyakini bahwa otak kita tidak dapat berubah setelah mencapai usia dewasa, sekarang telah hadir fajar baru dalam dunia Neuroscience yang bertajuk Neuroplasticity. Definisi neuroplasticity adalah kemampuan otak manusia untuk menata diri kembali secara fisik dalam menanggapi stimulus eksternal. Dalam bahasa yang lebih sederhana: otak kita dapat berubah! Ia tidak kaku dan berhenti berkembang, melainkan bersifat lentur (plastic) dan dapat diubah sejalan pengalaman-pengalaman yang kita jalani. Makin sering suatu pengalaman diulang, maka makin kuat sirkuit otak yang berperan dalam aktivitas tersebut. Jadi, seorang pemain biola yang terus menerus berlatih memainkan biola, akan memperkuat sirkuit musik di otaknya dan dengan demikian menjadikan otaknya berbeda dengan otak orang lain yang bukan musisi. Mungkin hal ini dapat menjelaskan pula mengapa otak Albert Einstein di bagian lobus parietal (yang berperan penting untuk pemikiran matematis, kognisi visuospatial dan pencitraan gerak) lebih besar 15% daripada otak manusia lain pada umumnya. Mungkin, bukan terutama karena Einstein dilahirkan berbeda daripada orang lain, melainkan karena seumur hidupnya ia melatih diri di bidang kecintaannya, yaitu Fisika dan Matematika.

Kembali ke topik belas kasih di atas; Davidson melakukan studinya dengan cara menggunakan teknologi neuroscience mutakhir seperti fMRI, PET dan EEG yang memungkinkan pengamatan yang lebih lengkap, secara langsung saat otak melakukan aktivitas tertentu. Untuk meneliti tentang dampak meditasi belas kasih pada otak manusia, Ia membandingkan pengamatan pada dua kelompok penelitian; kelompok satu adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam meditasi dan kelompok dua adalah orang-orang yang belum pernah melakukan meditasi. Mereka diukur aliran darahnya di otak saat mendengarkan suara-suara tertentu yang memiliki konotasi emosi positif dan negatif.

Saat orang-orang yang pakar meditasi mulai bermeditasi tentang belas kasih, daerah di otak yang disebut insula segera menjadi aktif ketika mereka mendengar suara perempuan yang minta tolong. Insula adalah adalah daerah di otak yang terasosiasi dengan kemampuan merasakan emosi secara visceral, dan hal ini merupakan kunci untuk dapat berempati pada orang lain. Dan ketika para pakar meditasi ini mendengar jeritan perempuan tersebut, atau suara bayi tertawa, otak mereka menunjukkan lebih banyak aktivitas di batas temu kanan lobus parietal-temporal, yang berperanan dalam memahami emosi orang lain. Hal-hal semacam ini jauh lebih sedikit tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi.

Untuk melihat tentang perbedaan emosi positif dan negatif pada orang-orang yang terlatih bermeditasi dan yang tidak, Davidson memberikan stimulus berupa film pendek yang sangat menggugah kesedihan; dan di saat yang sama ia mengamati aktivitas otak subjek-subjeknya. Dengan teknik yang sama ia memberikan stimulus yang sangat menggugah kegembiraan dan suka cita, dilanjutkan dengan pengamatan yang sama. Hasilnya cukup jelas. Orang-orang yang sedang merasakan emosi positif, menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kiri; sementara orang-orang yang mengalami distress dan kesedihan akan menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan. Bagaimana kaitannya dengan meditasi belas kasih? Orang-orang yang sedang bermeditasi belas kasih menunjukkan aktivitas yang nyata di prefrontal cortex kiri dan sangat sedikit di prefrontal cortex kanan. Hal ini berarti mereka lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif. Hal ini tidak tampak pada orang-orang yang tidak bermeditasi. Hal yang kebalikannya muncul pada orang-orang yang sedang mengalami depresi, mereka lebih banyak menunjukkan aktivitas di prefrontal cortex kanan daripada kiri, yang berarti mereka jauh lebih banyak mengalami emosi negatif daripada positif. Lanjutan dari penelitian tersebut adalah: orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi positif juga ternyata lebih tinggi kekebalannya akan penyakit daripada orang-orang yang lebih banyak mengalami emosi negatif.

Penelitian di atas membuktikan bahwa ada perbedaan secara fisik pada otak orang-orang yang telah terlatih dalam meditasi belas kasih dengan orang-orang yang tidak melakukannya. Bagaikan otot yang kalau makin dilatih akan makin besar, maka tampaknya latihan mental seperti meditasi juga mengubah otak kita jadi makin tangguh, makin dapat memustkan perhatian, makin dapat berempati pada orang lain dan makin lebih banyak mengalami emosi positif daripada negatif, bahkan juga tampaknya menjadi lebih kebal terhadap penyakit. Hal ini tentunya merupakan hal yang sangat menggembirakan dan menimbulkan harapan.

Tentu akan ada lontaran pesimis dan skeptis,”Ya, tentu saja, mereka (para pakar meditasi) kan sudah berlatih puluhan tahun, dan hidup di biara-biara yang tenang, bebas dari hiruk pikuk dan tekanan kehidupan kota. Kami-kami yang hidup di “dunia nyata” dan tidak punya kemewahan untuk berkomitmen pada latihan meditasi berjam-jam tidak akan mungkin mendapatkan hasil yang serupa.” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Davidson melakukan penelitian lain dengan membandingkan dua kelompok pekerja kantoran yang sama-sama belum pernah bermeditasi, di mana kelompok yang satu mulai mendapatkan pelatihan meditasi sederhana selama 30 menit tiap hari, selama delapan minggu, sementara kelompok kedua baru akan mendapatkan pelatihan yang sama setelah penelitian berakhir. Ternyata penelitian membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam kemampuan memusatkan perhatian, kemampuan berempati, dan penghayatan akan emosi positif. Kelompok yang baru saja mendapatkan pelatihan selama delapan minggu, mengungguli kelompok yang belum bermeditasi sama sekali, dalam kemampuan-kemampuan di atas; sehingga terjawablah kekuatiran di atas bahwa tidak dibutuhkan perubahan hidup yang radikal, seperti meninggalkan kehidupan perkotaan dan menyepi ke dalam biara, untuk dapat memperoleh manfaat dari meditasi.

Davidson dkk, melanjutkan penelitiannya dengan melakukan penelitian jangka panjang dan terus mempertajam hasil-hasil penelitian mereka. Dalam jangka panjang mereka ingin membuktikan apakah latihan semacam ini dapat memberikan kesembuhan pada pasien-pasien depresi, gangguan kecemasan dan bahkan autism. Beberapa hasil permulaan telah menunjukkan hasil positif, dan kita dapat menantikan kabar gembira di masa yang akan datang. Untuk saat ini, penelitian Davidson merupakan undangan bagi kita, undangan untuk menjadi lebih berbelas kasih dan melakukan tindakan-tindakan nyata yang sejalan dengannya. Ternyata berbelas kasih tidak hanya baik secara normatif, melainkan juga memberikan manfaat nyata bagi kesehatan dan kebahagiaan kita. Bukan ide yang buruk, apalagi di masa menjelang Natal ini. bukankah demikian?

 

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi

(Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta)

Minggu, 23 November 2008

THE OTHER SIDE OF THE STORY: ORANGTUA YANG TERLUKA

Diterbitkan di Suara Pembaruan 16 Nov 2008

Bilamana kita mendengar istilah “luka batin” maka konotasi kita langsung terarah pada seseorang yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan orangtua kepadanya di masa kecil. Dalam uraian semacam itu biasanya akan dibahas bagaimana seseorang yang di masa kecilnya kurang mendapatkan kasih sayang, mendapatkan perlakuan kasar atau penolakan dari orangtua akan mengalami trauma (luka batin) yang kemudian membangkitkan konflik berkepanjangan dalam dirinya. Kondisi ini akan berujung pada munculnya berbagai gejala gangguan psikologis dan gangguan dalam relasi dengan orang lain. Biasanya dalam kasus-kasus semacam ini orangtua akan ditempatkan sebagai the aggressor (pihak yang menyerang), sementara anak akan dipandang sebagai the victim (pihak yang menjadi korban). Dalam pandangan semacam ini, masalah terlalu disederhanakan dan dipandang secara hitam-putih. Jarang sekali ada pembahasan pada arah sebaliknya, yaitu orangtua yang mengalami luka batin di dalam interaksi dengan anaknya. Sementara pada kenyataannya, di dalam tiap relasi selalu terdapat kemungkinan yang sama besarnya bagi kedua pihak untuk saling melukai satu sama lain.
Pada tahun 60’an ada seorang tokoh psikiatri yang sangat terkenal karena kejeniusan dan juga sikap ekstrimnya; namanya adalah R.D. Laing. Di usia belia (awal 30-an tahun) ia sudah menerbitkan sebuah buku yang mendapatkan sambutan sangat hangat dan kemudian memiliki pengaruh besar di dunia psikiatri tahun 60an. Buku itu berjudul “The Divided Self”, yang pada intinya berisi analisis Laing tentang relasi pasien-pasien skizofrenia dengan orangtuanya. Untuk informasi bagi pembaca, skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sangat berat, di mana pasien kehilangan kontak dengan realitas dan menunjukkan perilaku yang sangat terganggu, misalnya halusinasi – mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada – ataupun waham – di mana ia memiliki keyakinan yang ganjil dan tidak nyata, namun sangat diyakininya. Dalam bahasa sehari-hari, penderita skizofrenia biasa disebut “gila”.
Dengan analisis eksistensial yang mendalam dan meyakinkan, Laing menggambarkan bahwa skizofrenia yang dialami pasien merupakan respon normal yang ditunjukkannya karena keberadaannya dinafikan oleh orangtuanya. Orangtua secara tidak sadar meniadakan atau bahkan menyerang keberadaan pasien. Penolakan dari orangtua membuat pasien menolak dirinya sendiri. Akibatnya kepribadian pasien mengalami keterpecahan dan ia tidak dapat mengalami kebersamaan dengan orang lain. Secara eksistensial ia merasa terasing dari dunia ini dan karenanya semakin menjauh dari realitas; sehingga pada akhirnya mengalami kegilaan.
Teori Laing mendapat sambutan luas dan mempengaruhi pandangan arus utama saat itu. Orangtua dianggap berperan besar dalam mengakibatkan salah satu anggotanya menjadi gila; oleh karena itu orangtua harus diterapi dan diubah agar anak mereka sembuh. Dalam tinjauan balik tentang teori Laing di masa kini, pada ahli pada umumnya berpendapat bahwa teori Laing tidak sepenuhnya salah; setidaknya untuk beberapa kasus, memang ada dinamika keluarga patologis yang berperanan pada munculnya skizofrenia dalam diri anak. Namun teori Laing kemudian sangat dikecam karena ia hanya mengisahkan setengah dari cerita yang ada. Ia menutup mata pada setengah cerita yang lain, di mana sebagian orangtua sangat dilukai oleh perilaku putera-puteri mereka yang sangat mereka kasihi.

Kisah ibu Dora
Bu Dora (bukan nama sesungguhnya) adalah ibu dari seorang pasien skizofrenia yang bernama Roby (bukan nama sesungguhnya). Dari pernikahannya, Dora dikaruniai tujuh orang anak, di mana Roby adalah anak keempat. Roby memiliki waham bahwa ia adalah titisan sang mesias, dan ia memaksa seluruh anggota keluarga lain untuk mengakui hal tersebut. Tidak jarang saat Roby dikuasai waham, ia melakukan terror dan kekerasan pada orangtuanya, terutama pada Dora sebagai ibunya. Selain menghadapi terror fisik dan verbal, Dora juga harus berjuang hampir seorang diri dalam upaya menyembuhkan Roby, karena suami dan anak-anak lain kurang sekali mendukungnya. Malang nasib Dora, karena bukan cuma Roby yang sedang menderita penyakit yang menterrornya, melainkan juga anak-anak yang lain. Karena sikap Dora yang tegas, termasuk dalam hal penggunaan uang, anak-anak memusuhi dan mengucilkan Dora, menganggapnya tidak mencintai mereka dan hendak menguasai sendiri harta ayah mereka. Salah seorang anak Dora bahkan pernah menjambak dan mencekik Dora, serta mengancam hendak membakar dirinya bilamana tidak mengabulkan keinginannya.
Dalam analisis tentang riwayat penyakit Roby, tidak ditemui data yang kuat yang menunjukkan bahwa Roby menjadi sakit skizofrenia karena Dora. Sebaliknya kita melihat bahwa Dora seringkali dilukai oleh Roby (sekalipun tanpa disadarinya karena ia sedang dikuasai penyakitnya) dan juga oleh anak-anak lainnya. Dora hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus, di mana orangtua bukan menjadi penyebab gangguan kejiwaan yang dialami anak mereka, melainkan menjadi pihak yang paling terbebani dan terluka oleh perilaku anak-anak mereka.
Kita dapat melihat beban serupa pada orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba, anak yang mengidap HIV-AIDS, anak yang hamil di luar nikah, dan banyak kasus lain. Kita pun dapat mendengar kisah yang serupa pada para orangtua yang “dibuang” anak mereka ke panti jompo, ataupun orangtua yang mengalami kekerasan baik secara verbal ataupun fisik oleh anak-anak mereka sendiri.

Beban berganda
Bilamana seorang anak mengalami luka batin oleh orangtuanya, memang potensi trauma psikologis menjadi lebih besar daripada bila kejadiannya sebaliknya, yaitu orangtua yang terluka batin oleh anaknya. Kerentanan anak-anak yang lebih besar dikarenakan mereka masih sedang dalam proses pembentukan kepribadian, sedangkan orangtua diasumsikan sudah memiliki kepribadian yang kokoh sehingga lebih mampu mengelola luka batin yang dialami. Namun di sisi lain, anak akan terus bertumbuh dan dalam proses perkembangannya, ia akan bergerak memisahkan diri dari orangtua dan menjalin relasi-relasi intim dengan orang lain. Dalam relasi yang baru, seorang anak berpeluang menyembuhkan luka batin yang pernah dialaminya. Namun, bilamana yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu orangtua yang terluka batin oleh anaknya, maka menjadi lebih sulit untuk menyembuhkannya. Karena bagi orangtua, anak adalah orang yang terkasih yang tak tergantikan. Perjalanan orangtua bukanlah gerakan memisahkan diri dari anak, melainkan justru kebalikannya, yaitu sejalan usia biasanya orangtua semakin mendambakan kehadiran anak yang biasanya semakin menjauh karena sibuk dengan kehidupannya sendiri. Orang pun sering melupakan bahwa orangtua juga mungkin sekali memiliki luka batinnya sendiri di masa lalu oleh orangtua mereka. Dan relasi yang buruk dengan anak-anak mereka di masa kini, seringkali akan menguak kembali luka lama yang masih tersisa.
Di dalam kasus-kasus semacam bu Dora, seringkali orangtua mengalami beban berganda. Bukan cuma mereka harus terluka karena perlakuan anak-anak mereka; mereka juga harus berjuang dan mengorbankan waktu, tenaga, emosi dan juga sumberdaya finansial untuk menyediakan pengobatan dan pertolongan bagi anak mereka. Orangtua seringkali pula terkena stigma dari masyarakat yang mempersalahkan mereka atas perilaku anak-anak mereka. Masih sangat sedikit dukungan yang tersedia bagi para orangtua ini. Kebanyakan dari mereka seringkali harus menanggung beban berganda ini seorang diri, dan menderita dalam kebisuan.

Pentingnya kelompok pendukung
Sekarang semakin disadari pentingnya memberikan ruang bagi para orangtua yang memiliki putera-puteri dengan gangguan jiwa berat, untuk didengarkan curahan hati mereka dan diteguhkan kembali. Penting pula bagi keluarga untuk mendapatkan informasi-informasi yang lengkap tentang gangguan jiwa yang dialami putera-puteri mereka. Untuk itu, kehadiran kelompok pendukung (self-help group) akan sangat bermanfaat. Kelompok pendukung yang saya maksud, yang biasanya disusun secara swadaya, terdiri atas sesama orangtua yang memiliki permasalahan yang hampir serupa. Para profesional seperti psikiater, psikolog atau social worker, dapat menjadi fasilitator di dalam kelompok-kelompok semacam itu, terutama untuk memberikan edukasi yang sangat mereka butuhkan tentang permasalahan yang dihadapi anak mereka.
Sekarang sudah semakin banyak kelompok-kelompok semacam itu; misalnya kelompok orangtua anak autis, kelompok orangtua penderita skizofrenia, kelompok orangtua pecandu narkoba, dll. Dan data menunjukkan bahwa saat orangtua tidak lagi diposisikan sebagai penyebab masalah, melainkan sebagai pendukung utama pemulihan anak-anak mereka, maka baik sang pasien maupun keluarganya menjadi lebih sejahtera dan lebih dapat menyesuaikan diri. Kiranya dukungan dan kepedulian yang lebih besar pada keluarga-keluarga yang memiliki beban berat ini, perlu lebih ditingkatkan.

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi
Dekan Fakultas Psikologi UKRIDA – Jakarta

Sabtu, 01 November 2008

Sabar? Hareee geeneee?!?!

Unedited version. Edited version appear on Intisari Nov 2008 

Krisis finansial global yang bermula dari daratan Amerika sudah memakan banyak korban; bukan cuma kerugian investasi yang secara global nilainya sudah trilyunan dollar, melainkan juga bertambahnya orang-orang yang mengalami stres, depresi dan bahkan melakukan bunuh diri. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika, melainkan korban mulai berjatuhan pula di daratan Asia, termasuk di Indonesia.

Semua orang gempar saat Rony (bukan nama sesungguhnya) terkena stroke. Ia adalah seorang wiraswastawan muda yang sukses dan tokoh masyarakat yang terkemuka. Saat ia baru menginjak usia 35 tahun, ia sudah berhenti dari posisinya sebagai top manager di suatu perusahaan mutlinasional, dan mendirikan perusahaannya sendiri. Perusahaannya pun segera meroket, dan Rony segera menikmati hidup impian ala Kiyosaki yang bagi kebanyakan orang hanyalah janji surga: Kebebasan (baca: keberlimpahan) Finansial; plus dikagumi kawan, disegani lawan  (competitor) dan dipuja serta menjadi sumber iri hati semua orang. “Karir” sosialnya pun segera menanjak, di mana ia menduduki posisi puncak di organisasi kemasyarakatan tempatnya bergiat, yang biasanya jarang sekali diduduki oleh orang yang belum putih semua rambutnya.

Dalam kehidupan pribadinya, Rony menjalani diet yang sehat dan seorang yang rajin – bahkan sangat kompetitif – dalam sport yang digelutinya. Ia pun jauh dari gossip dan menjalani hidup tanpa cela bersama keluarganya. Pendeknya, hidup Rony adalah contoh gemilang seorang “pemenang” sejati yang meraih semua ambisinya, karena disiplin dan kerja kerasnya sendiri, jauh meninggalkan semua teman-teman sebayanya. Sampai akhirnya…krisis finansial global menghantamnya tanpa sempat diantisipasinya. It’s a wake up call.

 

Citius, Altius, Fortius?

Kehidupan Rony sepintas tampak sebagai contoh sempurna penerapan semboyan Olympiade: Lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat (Citius, Altius, Fortius). Kehidupannya dibingkai seperti gelanggang pertandingan, di mana ia selalu memacu diri memecahkan record yang ada, di mana pemegang record sebelumnya adalah dirinya sendiri. Rony adalah perwujudan ideal etos kerja yang sering didengung-dengungkan para motivator yang menjual pemeo-pemeo tentang kesuksesan. Rony tidak pernah puas pada segala sesuatu yang sudah diraihnya, dan ia benci akan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia hanya dapat menerima excellence standard dalam apapun yang dikerjakannya. Ia tidak pernah terlena di zona kenyamanan dan selalu mencari tantangan baru. Ia bersikap keras pada semua orang yang bekerja kepadanya, namun semua orang pun tahu bahwa ia lebih bengis lagi pada dirinya sendiri. Menunggu, pasrah dan bersabar, tidak ada dalam kamus hidupnya; dan semua orang memujanya dan ingin menjadi seperti dirinya, justru karena sifat-sifat “positif” nya tersebut. Lalu kenapa orang “sebaik” itu terkena stroke?

 

Gading yang rapuh

Kebanyakan orang yang sudah terkena cuci otak oleh pengarang buku-buku laris tentang kesuksesan, akan mengamini gaya hidup seperti yang dijalani oleh Rony. Orang seperti Rony adalah pahlawan mereka. Namun, bila gambaran sempurna ini ditelaah lebih teliti, orang akan melihat hal-hal “kecil” yang sepintas akan terlewatkan: Rony bukanlah pendengar yang baik, ia seringkali bicara dengan cepat dan meledak-ledak; ia sangat tidak sabar akan kelambatan dan berbagai antrian, serta ingin melakukan berbagai kegiatan sekaligus; ia akan sangat gelisah bila tidak sedang sibuk, dan ia berpusat pada dirinya sendiri, tidak hirau pada perasaan orang lain selain menampilkan empati yang artificial. Orang-orang pun tidak tahu, kecuali istrinya,  bahwa Rony seringkali tidak bisa tidur sehingga ia semakin sering minum obat tidur saat masuk peraduan, dan kemudian harus memaksa diri bangun di pagi buta saat kantuk masih menggelayuti pelupuk mata. Tanpa disadarinya tekanan darahnya tinggi dan tingkat cholesterol-nya mulai melewati ambang toleransi. Kenyataannya adalah: dirinya sendirilah yang memacu tubuh dan jiwanya di luar batas sehingga stroke hadir dalam hidupnya. Krisis finansial yang dialami sekarang, hanyalah jalan untuk menggenapi konsekuensi dari pilihan hidupnya.

Meyer Friedman, seorang dokter ahli jantung ternama, membuat suatu istilah yang populer untuk pola perilaku sebagaimana ditunjukkan oleh Rony: Kepribadian tipe A, yaitu kepribadian yang terlalu ambisius dan selalu gelisah serta tak puas pada segala yang ada. Menurut teori mereka, dasar dari pola perilaku ini adalah self-esteem yang rendah dan rasa tidak aman yang akut, yang mungkin sekali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Kontras dari kepribadian tipe A adalah kepribadian tipe B yang biasanya digambarkan sebagai pribadi yang sabar, rileks, lebih nrimo dan nyantai (sifat-sifat yang konotasinya adalah ndeso dan tidak disukai oleh masyarakat kota yang hyper-competitive). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Friedman & Rosenman selama 9 tahun pada lebih dari 3000 pria sehat berusia 35-59 tahun, kepribadian tipe A terkait erat dengan sakit jantung koroner dan berbagai penyakit lain yang disebabkan oleh stres. Sekalipun ada studi lebih baru yang tidak mendukung penelitian Friedman dan Rosenman, tetapi bukan berarti penelitian mereka salah, karena stres dan gaya hidup yang serba cepat memang terkait erat dengan berbagai penyakit kronis, seperti sakit jantung koroner, darah tinggi, insomnia, dll – sekalipun mungkin korelasinya tidak selangsung dan sesederhana sebagaimana digambarkan oleh Friedman dan Rosenman.

Tetapi apapun juga, kalau kita bertanya pada kebanyakan orang-orang cosmopolitan seperti Jakarta, kepribadian manakah yang dianggap lebih baik, maka jawabannya akan jelas: kepribadian yang serupa dengan tipe A. Siapa kiranya yang tidak ingin menjadi orang yang tampaknya merupakan gambaran orang yang sukses dan disukai semua orang; ambisius, kompetitif, dan pemenang. Dan sebaliknya, siapa kiranya yang di hari-hari ini mau menjadi si Kabayan, yang santai, sabar dan nrimo?

 

Sabar? Hari gini? Are you nuts?

Kesabaran, sikap menerima (nrimo), kepasrahan, hidup yang rileks, adalah beberapa sifat yang hari-hari ini dijauhi orang bagaikan penyakit sampar. Sifat-sifat itu dianggap tidak adaptif – atau bahkan kontra produktif – bagi kepentingan survival of the fittest, sebagaimana dituntut oleh kehidupan di kota besar. Apakah anda dapat menyetir mobil dengan sabar di Jakarta – di tengah kepungan motor-motor yang berseliweran dengan ganasnya? Ha..ha..ha.. anda pasti sedang bermimpi. Apakah anda mau bersikap nrimo di tengah sikut-sikutan dan saling menjatuhkan dalam politik kotor di kantor anda? Selamat..Anda akan segera masuk surga..dalam arti sesungguhnya, yaitu mati konyol. Apakah anda mau bersikap pasrah pada perlakuan boss anda di kantor? Salut..anda baru saja mendaftarkan diri menjadi keset yang akan diinjak-injak kapan saja dibutuhkan.

Point-nya jelas: di dunia modern ini, di kota-kota besar seperti di Jakarta, kesabaran dan berbagai sifat mulia (virtue) lainnya, hanya akan dianggap sebagai suatu kebodohan dan sikap naïf yang kekanak-kanakan; warisan pendidikan feodal khas inlander, yang harus segera “dicerahkan” oleh cahaya pendidikan (Barat) yang modern. Bahkan mungkin sifat-sifat ini dianggap membahayakan sehingga harus segera dikikis, karena akan membuat anda digilas oleh deru kehidupan kota yang beringas. Paling banter sifat-sifat itu hanya dianggap suatu ideal yang dimuliakan di bibir, namun segera menguap saat menghadapi kenyataan hidup yang keras. Saya yakin, kebanyakan dari kita masih memberikan nasihat-nasihat pada anak kita untuk menjadi sabar, pengasih, menerima, dll dengan bibir kita; namun dengan perilaku kita, sesungguhnya kita mengajar mereka untuk jadi cerdik, licik, gesit, nyerobot, dan nyikut. Barangkali dalam hati kecil kita menganggap sifat-sifat mulia itu hanya dapat terlaksana di Surga mulia, nanti.. bukan sekarang di dunia ini.

 

Kesabaran vs. Ketergesaan

Namun justru kenyataan hidup yang penuh stres dan segala konsekuensinya yang merugikan pada kesehatan tubuh, kewarasan jiwa dan kejernihan spiritual, yang menyadarkan kembali orang-orang pada kebijaksanaan kuno itu. Sabar – bukanlah sifat yang maladaptif, sebaliknya mungkin merupakan salah satu benteng terkuat yang mungkin dimiliki seseorang menghadapi gerusan stres setiap harinya. Kehausan akan revitalisasi tubuh, jiwa dan roh mendorong manusia modern untuk menggali kembali sumber-sumber kebijaksanaan kuno yang lama terlupakan.

Salah seorang tokoh yang mengadaptasi dan mengarusutamakan kembali kebijaksanaan Timur yang terlupakan ini adalah Jon Kabat-Zinn. Dia adalah seorang psikolog dan Professor of Medicine Emeritus di University of Massachusetts Medical School. Sejak tahun 1979 ia mendirikan Stress Reduction Clinic untuk mengantisipasi fenomena stres yang makin marak di saat itu. Antisipasinya sangat tepat karena dewasa ini, stres sudah menjadi salah satu gangguan utama manusia modern. Jon mendasarkan metodenya pada spiritualitas dan falsafah Tibetan Buddhism dan berbagai spiritualitas Timur lain. Ia menyebut tekniknya sebagai Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR).

Falsafah dasar teknik ini adalah mengenal perbedaan antara “Doing” dan “Being”. “Doing” adalah suatu modus keberadaan di mana seseorang mengarahkan dirinya keluar untuk melakukan dan mencapai sesuatu. Dalam modus “Doing” seseorang memusatkan perhatiannya ke luar dirinya, yaitu pada objek yang dikehendakinya, dan mengerahkan segala daya upaya untuk meraih objek tersebut. Di dalam modus “Doing” seseorang berpikir bahwa dirinya tidak utuh dan tidak sejahtera bilamana tidak memiliki objek yang dikehendakinya; dan sebaliknya ia terjebak pada pandangan keliru bahwa ia hanya akan menjadi bahagia dan utuh kalau berhasil meraih objek tersebut; dan ia akan merana dan menderita bila gagal memperoleh objek tersebut. Fokus dan penempaan diri terus menerus pada “Doing” akan menjadikan orang pada akhirnya memiliki pola perilaku seperti kepribadian tipe A, yang rentan pada stres, selalu tergesa-gesa dan tidak puas pada apapun yang ada. Tokoh kita Rony adalah contoh sempurna orang yang terjebak pada “Doing”.

“Being” atau disebut juga “Non-Doing” (dalam istilah Taoism: “Wu Wei”) adalah modus keberadaan lain yang mengatakan bahwa hal-hal yang paling penting dalam hidup ini bukan dicapai dengan berusaha – apalagi berusaha keras – melainkan justru dengan tidak berusaha, atau dengan kata lain dengan membiarkannya terjadi secara alami. Seseorang yang berada dalam modus keberadaan “Being” ini, tidak menghendaki apapun juga, melainkan membiarkan segala sesuatu terjadi dan mengalir bersama semesta. Tentunya ini bukan berarti seseorang yang berada dalam modus “Being” tidak bekerja dan bermalas-malasan, menunggu segala sesuatu terjadi baginya. Ia tetap bekerja, namun dengan sikap batin yang berbeda dan dengan pengosongan diri. Justru karena ia mengosongkan dirinya, sepi ing pamrih, tidak menentang apapun juga, dan taat sepenuhnya pada hukum alam maka semesta alam mendukungnya dengan kekuatan tak terhingga. Ia sabar akan segala sesuatu dan menerima segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tunduk padanya. Di balik sikap sabar dan menerima ini, terdapat kesadaran penuh akan identitas diri yang sejatinya sudah baik; bahwa sesungguhnya ia tidak perlu pergi ke manapun, tidak perlu berupaya menjadi siapa pun, dan tidak perlu meraih apapun untuk menjadi utuh. Sejatinya ia sudah lengkap, utuh dan kebahagiaan sudah selalu ada dalam dirinya sendiri untuk ditemukan dan dibiarkan mekar, bukan diciptakan dan diusahakan dengan kekerasan. Dengan sendirinya muncul sikap sabar yang sekalipun lembut namun tak dapat dikalahkan oleh kekerasan apapun. Kesabaran, seperti juga iman, dapat memindahkan gunung. Leo Tolstoy mengatakan bahwa “The most powerful warriors are patience and time.”

 

Apa yang harus dilakukan untuk menjadi sabar?

Dengan semakin terbukanya kesadaran orang-orang tentang perlunya mengembangkan kesabaran, sikap menerima dan kelenturan dalam menghadapi kerasnya kehidupan maka marak pula gerakan untuk menggali kembali kebijaksanaan dan sifat-sifat mulia yang lama terlupakan. Ruang tulisan yang ada ini tentunya memang tidak ditujukan untuk dapat memberikan petunjuk yang lengkap tentang jalan dan proses yang harus dijalani untuk mencapainya. Saya harapkan ini hanya menjadi undangan bagi anda untuk melanjutkan mencari petunjuk-petunjuk yang lebih lengkap dan paling cocok untuk diri anda. Ada bermacam-macam teknik dan aliran yang dapat anda pilih, tetapi prinsipnya kesemuanya menekankan pada realisasi diri dalam tiga hal: Latihan Tubuh, Restrukturisasi Pikiran dan Pengembangan Spiritualitas.  

 

Latihan-latihan tubuh

Tubuh merupakan bagian penting dari diri yang tak dapat dikesampingkan bila anda bermaksud untuk merealisasikan diri dan mengembangkan kesabaran. Bila tubuh anda gelisah dan penuh dengan ketegangan maka upaya untuk menjadi sabar akan menjadi mustahil. Berbagai kebiasaan buruk dan stres yang dialami bertahun-tahun telah terekam dalam tubuh sehingga tubuh menjadi sangat reaktif dan tegang. Untuk menghapus pembelajaran yang keliru itu, berarti harus mendidik ulang respon tubuh anda. Daniel Goleman, pengarang buku laris Emotional Intelligence dan Social Intelligence telah menjelaskan dalam buku-bukunya bahwa berbagai emosi dan kecerdasan yang diperlukan untuk dapat mengelolanya, berakar pada tubuh. Melatih kesabaran – yang merupakan salah satu perwujudan kecerdasan emosional – berarti pula melatih tubuh. Anda tidak dapat menjadi sabar hanya dengan menanamkan dogma-dogma tentang kesabaran. Tubuh anda mesti menjadi sabar dan rileks; agar emosi dan kecerdasan anda dapat turut menjadi jernih pula. Latihan-latihan tubuh seperti relaksasi, meditasi, yoga, tai-chi, dll dapat membantu anda mendidik kembali tubuh anda.

 

Restrukturisasi pikiran

Psikologi Barat yang diwakili oleh tokoh-tokoh aliran Cognitive, dan Psikologi/Spiritualitas Timur seperti Zen Buddhism telah lama menyadari pentingnya pikiran sebagai nakhoda yang menggerakkan emosi dan tindakan. Sebelum ada tindakan yang nyata berupa tingkah laku, sudah ada gerakan internal berupa dialog dalam diri (Self talk), yang sekalipun mungkin tidak disadari, sangat besar pengaruhnya pada apa yang akan anda rasakan dan akan anda lakukan. Upaya menjadi sabar, berarti proses mengenali dan mengelola dialog dalam diri  ini. Dialog internal yang sifatnya negatif dan irasional akan mendorong anda menjadi gelisah, takut dan karenanya melakukan tindakan-tindakan yang akan anda sesali kemudian; sebaliknya dialog internal yang positif dan rasional akan menghasilkan perasaan yang tentram dan tindakan yang adaptif. Sabar atau tidaknya seseorang seringkali ditentukan oleh dialog apa yang berlangsung dalam dirinya. Biasanya, dibutuhkan bimbingan seorang terapis atau guru spiritual untuk membantu anda mengenali dan mengubah dialog internal dalam diri ini.

 

Pengembangan Spiritualitas

Latihan-latihan tubuh dan restrukturisasi pikiran pada akhirnya bermuara pada pengembangan spiritualitas. Spiritualitas adalah fondasi utama untuk membangun kesabaran dalam diri. Bila seseorang berakar dalam spiritualitas (baca: tidak selalu identik dengan ritual agama), maka hidupnya seolah dipancangkan pada fondasi yang sangat kuat, sehingga secara alami kesabarannya berkembang. Ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai peristiwa dalam hidup yang tidak kekal. Kata-kata dari St. Theresia Avilla berikut ini dengan tepat sekali menyampaikan bagaimana seseorang yang bertumbuh dalam spiritualitas akan menjadi sabar dan karenanya dapat menghadapi perubahan apapun dalam hidupnya. Let nothing disturb you, let nothing make you afraid. All things are passing. God alone never changes. Patience gains all things. If you have God you will want for nothing. God alone suffices.” Semoga kita semua dapat menemukan kembali mutiara yang terlupakan dalam diri kita, yaitu kesabaran; yang membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

 

Jakarta, 30 October 2008

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA).

Iman Setiadi Arif, M.Si., Psi  

Sabtu, 11 Oktober 2008

Doing dan Being: Mengatasi stres dengan teknik Mindfulness

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Mari kita akui…Stres adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam kehidupan modern ini. Dinamika kehidupan yang terasa begitu cepat, sangat menuntut dan terasa sangat kompetitif adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri oleh kebanyakan orang. Begitu banyak peran yang harus dijalankan, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan, dan begitu banyak hal yang ingin diraih; membuat manusia modern seperti banteng adu yang tergopoh-gopoh mengejar pancingan kain merah yang dikelebatkan sang matador; mengerahkan segala tenaga untuk menanduknya…untuk mendapati bahwa ia hanya menanduk ruang hampa, sementara dagingnya disengat luka yang ditancapkan sang matador.

Stres adalah konsekuensi dari kesalahan berpikir. Seorang filsuf Taoism bernama Zhuangzi mengatakan bahwa pada hakikatnya waktu adalah panjang dan abadi tetapi bagi seorang yang sesat berpikir maka waktu akan terasa sangat pendek dan tidak memadai. Mazmur 90:10 mengatakan hal yang hampir serupa “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita terpancing mengejar berbagai hal yang kita pikir akan membuat kita bahagia, meskipun nyatanya seringkali hal itu hanya ilusi saja. Kesalahan berpikir yang kita lakukan membuat kita tak dapat membedakan mana yang merupakan pokok asasi dan mana yang hanyalah ranting-ranting dan dedaunan semata.

Seorang bijak modern yang tidak disebutkan namanya berkata,”Hari-hari ini kita memiliki lebih banyak kenyamanan, tetapi makin sedikit waktu; lebih banyak ahli, tetapi lebih banyak masalah; lebih banyak obat, tetapi makin sedikit kesejahteraan. Kita belanja terlalu ceroboh, tertawa terlalu sedikit, mengendara terlalu cepat, menjadi marah terlalu mudah, tidur terlalu larut, bangun tidur terlalu lelah, terlalu sedikit membaca dan berdoa, terlalu banyak menonton TV; kita telah belajar untuk menghasilkan nafkah, tetapi bukan hidup yang bermakna; kita menambahkan tahun-tahun dalam kehidupan kita dan bukan hidup dalam tahun-tahun usia kita”. Dengan kata lain, manusia menjadi makin terasing dengan dirinya sendiri dan terputus relasinya dengan sesamanya. Ia menghabiskan apa yang dimilikinya untuk kesia-siaan sementara batinnya kelaparan dan badannya dipacu sehingga merusak kesehatan.

Menurut seorang psikolog bernama Jon Kabat-Zinn, kesalahan utama dalam berpikir itu terletak dalam ketidakmampuan membedakan “Doing” dan “Non Doing/Being”. Jon Kabat-Zinn adalah seorang psikolog dan Professor of Medicine Emeritus di University of Massachusetts Medical School. Sejak tahun 1979 ia mendirikan Stress Reduction Clinic untuk mengantisipasi fenomena stres yang makin marak di saat itu. “Doing” adalah suatu modus keberadaan di mana seseorang mengarahkan dirinya untuk melakukan dan mencapai sesuatu. Dalam modus “Doing” seseorang memusatkan perhatiannya ke luar dirinya, yaitu pada objek yang dikehendakinya, dan mengerahkan segala daya upaya untuk meraih objek tersebut. Di dalam modus “Doing” seseorang berpikir bahwa dirinya tidak utuh dan tidak sejahtera bilamana tidak memiliki objek yang dikehendakinya; maka ia berpikir bahwa ia akan menjadi bahagia dan utuh kalau berhasil meraih objek tersebut; dan kebalikannya ia akan merana dan menderita bila gagal memperoleh objek tersebut. Tidakkah cara berpikir seperti ini familiar bagi kita? Berapa sering kita secara tidak sadar berfungsi secara otomatis dalam modus “Doing” ini?

Bukannya “Doing” ini sepenuhnya keliru, hanya saja ia tidak lengkap tanpa pasangan satunya, yaitu “Non-Doing/ Being”. Modus keberadaan lain yang seringkali dilupakan orang ini mengatakan bahwa dalam hidup ini hal-hal yang paling penting bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan tidak berusaha. Contoh: Apakah anda pernah berusaha mendetakkan jantung anda? Saya rasa tidak..Jantung kita berdetak sendiri tanpa sedikitpun usaha kita. Bahkan kalau kita berusaha mengaturnya, kita akan mengganggu mekanisme alaminya. Apakah kalau anda menyukai/mencintai seseorang, itu karena usaha? Saya rasa tidak.. Anda menyukai seseorang begitu saja, bahkan mungkin menyukai seseorang yang anda pikir tidak sepantasnya anda sukai. Dan sebaliknya, kalau anda berusah menyukai/ mencintai seseorang yang sebenarnya tidak anda sukai, biasanya usaha ini akan sia-sia. Hal-hal yang paling penting bagi kesehatan kita, misalnya tidur, bukan dicapai dengan berusaha, melainkan justru dengan menghentikan usaha kita. Siapapun yang pernah tidak bisa tidur dan berusaha keras untuk tidur pasti sudah tahu bahwa semakin keras kita berusaha untuk tidur, semakin kita tidak bisa tidur. Di dalam modus “Non-Doing/ Being” seseorang bersentuhan dengan jati dirinya dan karena itu ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak perlu pergi ke manapun, tidak perlu berupaya keras menjadi siapa pun kecuali dirinya sendiri, dan tidak perlu meraih apapun untuk menjadi utuh. Sejatinya ia sudah lengkap, utuh dan kebahagiaan sesungguhnya sudah selalu ada dalam dirinya sendiri. Kabat-Zinn mengatakan bahwa itu sebabnya manusia disebut Human Being dan bukannya Human Doing; karena yang paling hakiki bagi manusia adalah untuk “mengada”, Being, To be; dan bukannya “melakukan”, Doing, to do.

Karena kebanyakan orang terlalu terpikat pada dunia dan objek-objek di dalamnya, maka ia jadi mengarahkan dirinya keluar dari dirinya sendiri; mengabaikan harta karun yang sesungguhnya sudah ada dalam dirinya sendiri, dan bagaikan pengemis yang miskin, mengejar berbagai kilau di luar sana yang belum tentu emas. Dan gejala utama kekacauan berpikir ini ditandai oleh ketidakmampuan manusia untuk menghayati kekinian. Karena kesalahan berpikirnya, manusia selalu terombang-ambing memikirkan ilusi masa depan yang dikejarnya, atau tenggelam di masa lalu yang diidealisasikan.

Jon Kabat-Zinn menyusun suatu latihan-latihan sederhana yang akan memulai proses pemulihan. Ia menyebutnya Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR). Inti dari latihan-latihan yang dikembangkannya adalah: melatih diri untuk kembali ke kesjatian diri dengan cara berhenti berusaha melakukan atau meraih apapun, melainkan menaruh perhatian pada saat ini tanpa bersikap judgmental. Seseorang berlatih untuk membuka diri pada apapun yang terjadi saat ini dan menghayatinya atau menikmatinya sepenuh hati. Dalam suatu meditasi sederhana, seseorang diminta untuk menaruh perhatian pada apa yang dilihatnya, didengarnya, dirabanya, dikecapnya, diciumnya saat ini; tanpa membeda-bedakan, mencari yang baik/enak dan menolak yang tidak baik/tidak enak.

Pada mulanya proses ini akan dirasakan tidak enak, karena pikiran telah begitu terbiasa melakukan dan berusaha, sehingga menjadi gelisah ketika diminta tidak lagi berusaha, tidak lagi mengendalikan, letting go, dan hanya menikmati kekinian. Namun setelah beberapa saat, seseorang akan mulai merasakan relaksasi pada pikiran dan juga tubuhnya, serta mulai merasakan bahwa waktu menjadi panjang dan tidak lagi mengejar-ngejarnya. Bilamana latihan ini sudah dilakukan secara rutin untuk beberapa bulan saja, maka ia akan menjadi kebiasaan sehingga semakin lama orang semakin hidup dalam kekinian, di mana keberadaannya menjadi utuh dan sejahtera. Stres tentu saja menjadi sangat berkurang, karena kesalahan berpikir tidak lagi dilakukan. Ia tidak lagi tenggelam dalam kesibukan “Doing” melainkan ia “Being”. Dengan “tidak berusaha” ia sampai pada hal-hal yang paling bermakna dalam hidup ini yang sesungguhnya tidak jauh untuk dikejar, melainkan begitu dekat untuk ditemukan.

Sebagai catatan akhir: seseorang yang keberadaannya di dalam modus “Being” bukanlah seorang yang malas, tidak mau melakukan apapun dan bersantai-santai saja. Ia tetap menceburkan diri dan terlibat aktif dalam dunia ini, hanya saja ia tidak keluar dari dirinya sendiri, ia tidak terpancing oleh kilau-kilau semu sehingga ia tidak melekat dan tidak dikecewakan oleh dunia ini. Ia sudah bebas.


Senin, 29 September 2008

Mengapa kau tak bahagia?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan 

Kebahagiaan adalah tujuan akhir semua orang. Apapun ideologinya, agamanya, sukunya, status ekonominya; tujuan hidup semua orang sama, yaitu untuk berbahagia. Namun dalam perjalanan hidup ini, sebagian orang “kesasar” sehingga tidak dapat menemukan tujuan aslinya tersebut. Orang menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan sehingga menghabiskan energinya untuk mengejar kesenangan. Tentu saja ia akan kecewa. Orang pun kemudian mengeluh bahwa hidup ini tidak adil dan menyalahkan orang lain, atau dirinya sendiri atau bahkan menyalahkan Tuhan atas ketidakbahagiaannya.

 

Perangkap ketidakbahagiaan

Ketidakbahagiaan bersumber dari pandangan-pandangan keliru yang kita pegang, sehingga mengaburkan arah tujuan kita dan membuat kita terjerembab dalam ketidakbahagiaan. Berikut adalah beberapa pandangan keliru yang seringkali menyebabkan ketidakbahagiaan.

1.      Kebahagiaan sama dengan kesenangan. Ini adalah perangkap paling umum yang menyesatkan perjalanan kita menuju kebahagiaan. Kesenangan dapat diibaratkan anggur yang nikmat, yang membuat kita semakin haus dalam tiap regukannya. Setiap keinginan yang terpenuhi akan membangkitkan keinginan-keinginan lain yang tiada hentinya. Kebahagiaan justru ditandai oleh semakin meredanya keinginan dan semakin mensyukuri apa yang ada.

2.      Kebahagiaan ada di masa depan. Daniel Gilbert dalam bukunya yang terkenal, yaitu “Stumbling on Happiness” mengungkapkan bahwa orang rela untuk melakukan apa saja, untuk menjamin bahwa di masa yang akan datang ia akan menikmati investasi dan pengorbanannya saat ini. Orang seringkali membayangkan betapa senangnya dirinya di masa yang akan datang bila dapat menikmati kesenangan-kesenangan yang ditundanya saat ini. Hal ini dilakukan karena manusia adalah mahluk satu-satunya yang memikirkan masa depan. Namun melalui penelitiannya, Gilbert membuktikan bahwa antisipasi orang akan masa depan ternyata tidak dapat diandalkan. Diri kita di masa yang akan datang seringkali kecewa pada apa yang dilakukan diri kita di masa lalu. Oleh karena itu, terpaku pada masa yang akan datang adalah salah satu perangkap ketidakbahagiaan yang sangat kuat.

3.      Tidak mengenal talenta dan kekuatan diri. Martin Seligman, psikolog yang mempelopori psikologi positif, mengungkapkan bahwa sumber kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup adalah bilamana seseorang dapat menggunakan talenta dan kekuatan unik yang dimilikinya secara konsisten. Namun, tidak semua orang cukup mengenal apa sesungguhnya kekuatan unik yang dimilikinya, sehingga mereka merasa hampa dalam menjalani hidupnya. Bila seseorang tidak mengenal harta terpendam yang dimilikinya, seringkali ia terjebak pada iri hati akan talenta dan kekuatan unik yang dimiliki orang lain.

 

Delapan langkah menuju hidup yang lebih berbahagia.

Sonja Lyubomirsky, psikolog dari University of California, bersama rekan-rekannya telah meneliti tentang cara-cara yang terbukti efektif meningkatkan kebahagiaan. Ia merekomendasikan delapan langkah ini.

1.      Hitunglah berkat-berkat yang kau terima. Sesungguhnya banyak berkat yang kita terima tiap hari, tetapi seringkali kita mengecilkan artinya dan melupakannya. Latihan pertama yang dianjurkan Sonja ini dilakukan dengan cara melatih diri untuk lebih menyadari dan mengingat berkat-berkat yang kita alami setiap hari. Setelah melatih ini sebentar saja, orang biasanya akan takjub pada betapa banyak berkat yang sudah diterimanya.

2.      Melatih diri berbuat baik. Saran ini bukan datang dari pendeta, pastor ataupun pemuka agama lainnya; melainkan dari hasil penelitian psikologi. Telah dibuktikan dalam penelitian bahwa berbuat baik dan menolong orang lain membangkitkan kebahagiaan dalam pelakunya. Berbeda dari pandangan keliru yang dipegang orang pada umumnya bahwa menerima dan mendapatkan akan lebih membahagiakan daripada memberi dan membagi; Sonja dan kawan-kawan membuktikan kebalikannya. Memberi dan membagi sesungguhnya memang lebih membahagiakan daripada menerima dan mendapatkan.

3.      Hidup pada saat ini dan nikmati tiap saat yang ada. Seringkali orang terlalu berfokus pada masa depan dan menanti-nantikan yang tidak ada. Atau orang tercekam oleh masa lalu sehingga melewatkan kebaikan yang ada saat ini. Dari penelitiannya, Sonja menyarankan untuk melatih diri untuk lebih fokus ke saat ini dan menghayati kenyataan yang ada.

4.      Berterimakasih pada orang yang membimbing kita. Dalam kehidupan tiap orang, pastinya ada orang-orang tertentu yang pernah menyentuh dan mengangkat kita hingga dapat sukses atau melewati saat-saat yang sulit. Ternyata, meluangkan waktu untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita dan menyatakannya langsung kepada orang tersebut, adalah salah satu pengalaman paling membahagiakan bagi kedua belah pihak.

5.      Belajar memaafkan. Kepahitan dan sakit hati yang pernah kita alami seringkali merupakan belenggu yang menghambat kita untuk melanjutkan kehidupan. Kadang kita lebih suka terus menyiksa diri dan mengunyah-ngunyah kepahitan masa lalu. Tetapi kebahagiaan hanya akan datang bila kita mau melepaskan keterpakuan kita pada kepahitan masa lalu.

6.      Menginvestasikan waktu dan tenaga pada keluarga dan sahabat. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa seseorang yang memiliki relasi yang erat dan bermakna dengan orang lain akan lebih tahan terhadap stres dan lebih sering merasakan kebahagiaan. Adanya dukungan sosial dari orang lain membuat kita tetap merasa berharga, diterima dan dikasihi, sekalipun sedang menghadapi permasalahan yang sukar.

7.      Merawat kesehatan dan kebugaran tubuh. Bila kita bicara soal kebahagiaan, seringkali konotasinya adalah pada kebahagiaan psikologis semata. Padahal, keberadaan manusia yang utuh mengindikasikan bahwa ada relasi yang erat antara tubuh dan jiwa. Kalau tubuh kita sakit, bukankah pikiran dan perasaan kita juga ikut sakit? Sebaliknya kalau kita tidur cukup, makan nutrisi yang berimbang, berolahraga teratur dan seimbang antara aktivitas dan relaksasi, maka pikiran dan perasaan kita akan menjadi lebih seimbang dan sejahtera.

8.      Mengembangkan strategi untuk mengatasi stres dan menghadapi kesulitan. Kebahagiaan bukan berarti tidak mengalami kesukaran. Melainkan suatu sikap berani menghadapi kenyataan dan kesukaran apapun yang ada dan secara rasional mencari pemecahan masalah. Ternyata, orang yang memiliki banyak sumberdaya dan alternatif dalam menghadapi situasi yang stressful, akan lebih berani menjalani kehidupan, mengambil resiko yang masuk akal, sehingga memperoleh lebih banyak kepuasan dalam hidupnya.

 

Iman Setiadi Arif

Dekan Fakultas Psikologi Ukrida 

Why don't you see me?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan
 

Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan menemui saya untuk konseling. Sebut saja namanya Seruni. Seruni adalah seorang business woman yang sukses, seorang istri dan seorang ibu dari dua orang anak. Kira-kira tiga tahun yang lalu, ia mengalami gangguan kecemasan yang cukup berat, disertai fase-fase depresi. Bila serangan kecemasan menerpanya, ia dipenuhi rasa panik. Tubuhnya menegang disertai keringat dingin, jantung berdebar-debar, nafas menjadi sesak dan Seruni merasa dunianya seolah hendak runtuh. Beberapa psikiater ternama telah dikunjunginya, dan pengobatan psikiatris terbaik sudah dikonsumsinya. Kondisinya tidak kunjung membaik. Salah seorang psikiater senior yang dikunjunginya, dengan bijak mengatakan bahwa ia tidak akan mengalami kemajuan bilamana ia belum menghadapi kenyataan pahit yang coba dihindarinya.

Kenyataan pahit apakah yang tak mau dihadapi perempuan cantik, cerdas dan sukses seperti Seruni? Yaitu kenyataan bahwa di mata suaminya, ia seolah tiada. Sekalipun mereka berduaan di rumah, suaminya jarang menegurnya ataupun menyentuhnya. Seruni merasa dirinya seolah tembus pandang dan suaminya dapat memandang melaluinya. Komunikasi di antara mereka terasa tawar dan mekanis. Seruni seringkali harus memancing pertengkaran dengan suaminya, hanya agar merasa ada masih kontak di antara mereka.

Text Box: The Invisible WomanSeruni akhirnya menyerah dan tidak lagi berupaya untuk menghangatkan kembali relasi di antara mereka. Maka ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas yang seabreg untuk mengisi kehampaan yang dirasakannya. Seruni pada dasarnya memang menyukai pekerjaannya, sehingga dengan mencurahkan diri sepenuhnya di pekerjaan, ia pun mencapai sukses melebihi yang diharapkannya. Namun sukses dan pencapaian yang hebat tidak dapat memenuhi rongga kosong dalam jiwanya. Eksistensinya terus menciut dan mencapai titik terendah ketika ia mulai diserang rasa panik. Panik yang sesungguhnya mencerminkan ancaman ketiadaan pada keberadaan dirinya.

Pengobatan medis ternyata tidak banyak meringankan derita Seruni. Ia baru merasa dirinya ada dan hilang gejala-gejala kecemasannya ketika ia menjalin suatu relasi ekstramarital dengan lelaki lain. Menurut Seruni, lelaki itu sebenarnya tidak dapat dikatakan lebih tampan, atau lebih hebat daripada suaminya. Tetapi lelaki itu dapat merespon keberadaan dirinya, dan bersamanya Seruni merasa dirinya ada. Seruni tahu bahwa relasi ekstramarital yang dijalinnya itu adalah keliru dan tak dapat diteruskan untuk selamanya, namun ia pun ragu untuk menghentikannya karena ia takut ia akan terlempar kembali pada ketiadaan seperti dahulu. Seruni datang konseling untuk memecahkan konflik tersebut.

 

Keberadaan manusia bersama manusia lain

Dalam analisisnya tentang keberadaan manusia, filsuf Martin Heidegger mengajukan dua postulat. Salah satunya mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan bersama manusia lain. Manusia tidak dapat mengada seorang diri, melainkan ia hanya dapat mengada dengan melangsungkan dialog dalam suatu kebersamaan dengan orang lain. Keberadaan manusia dapat diibaratkan tarian tango yang hanya akan tetap ada selama kedua penarinya berinteraksi secara harmonis dalam alunan musik. Kalau salah satu saja dari penari tersebut menghentikan tariannya, maka lenyap pula tarian tango yang indah itu.

Seseorang tidak dapat merasakan bahwa dirinya ada dan mengenal dirinya sendiri bila tidak melalui orang lain. Sebagaimana seseorang tidak dapat memandang wajahnya sendiri kecuali bila ia melihat pantulan dirinya dari kaca cermin, demikian pula seseorang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan merasakan keberadaannya kecuali bila ia mendapat respon dan cerminan dari orang lain. Respon dan cerminan tentang diri kita yang kita peroleh dari orang lain, memiliki pengaruh yang besar pada penghayatan kita tentang keberadaan diri dan bagaimana kita memandang diri sendiri. Misalnya: seorang anak akan memandang dirinya sendiri sebagaimana pantulan yang didapatkan dari ibunya. Sang bunda yang memandang wajah sang anak sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih seolah memantulkan pada anak itu suatu konfirmasi bahwa dirinya berharga dan dicintai. Dengan demikian terbentuklah citra diri yang positif dalam diri anak tersebut. Anak merasa dirinya ada dan berharga. Bila pantulan yang dilihat anak tentang dirinya dari ibunya adalah pantulan yang negatif, maka anak pun akan memandang dirinya negatif. Bila sang ibu tidak merespon kehadiran anak dan menganggapnya seolah tiada, maka penghayatan anak bahwa dirinya ada pun akan terancam.

 

Tatapan yang meneguhkan atau membekukan

Text Box: MedusaTatapan orang lain pada kita dapat meneguhkan keberadaan kita, dan sebaliknya dapat pula membekukannya. Saat seseorang memandang kita sebagai pribadi sebagaimana kita adanya, keberadaan kita diteguhkan. Kita merasa dimengerti dan diterima. Tatapan orang lain itu menghidupkan dan menumbuhkan. Namun, saat orang lain memandang kita bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai suatu objek, maka pandangannya tersebut membekukan keberadaan diri kita, bagaikan pandangan Medusa. Saat melakukan public speaking, mungkin kita semua pernah merasakan momen di mana kita berdiri dengan gemetar di muka banyak orang yang menatap kita. Tatapan mata mereka serasa menembus diri kita dan kita menjadi kecil di mata mereka. Saya pernah mendapatkan seorang klien yang selalu merasa lumpuh dan menjadi bodoh setiap kali ia berjumpa dan berinteraksi dengan ibunya; padahal klien itu sejatinya adalah seorang yang sangat cerdas dan berprestasi. Ibunya tak pernah memandang dan memperlakukannya sebagai pribadi sebagaimana adanya. Maka orang itu merasa dirinya adalah benda di mata ibunya dan pandangan ibunya itu membekukan kemungkinannya untuk mengada.

Dinamika yang sama terjadi dalam interaksi Seruni dan suaminya. Seruni merasa putus asa karena tidak pernah dapat melihat pantulan dirinya di mata suaminya. Keberadaan dirinya tidak direspon oleh suaminya. Tanpa respon dan pantulan dari suaminya, Seruni merasa dirinya tiada. Ia bagaikan hantu yang tembus pandang dan tidak memiliki bayangan di cermin. Kalaupun suami sesekali dapat memandang dirinya, tatapan mata suami tidak pernah memandang Seruni sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai objek. Tatapan mata yang mengobjektivikasi tersebut membekukan keberadaan dan kemungkinan Seruni untuk mengada.

Pelarian Seruni pada kesibukan di pekerjaan tidak dapat menyelamatkannya. Ia ingin mempertahankan eksistensi dirinya dengan berbagai pencapaian yang diperolehnya. Namun tidak pernah ada prestasi sebesar apapun yang dapat menatap balik padanya dan membuatnya merasa ada. Yang dicarinya adalah mata yang dapat melihat dirinya dan memantulkan siapa dirinya sebagaimana adanya.

 

Iman Setiadi Arif

(Dekan Fakultas Psikologi Ukrida – Jakarta